JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Aktivis kemanusian dan lingkungan Papua Selatan meminta Mahkama Agung mengabulkan kasasi masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel dan suku Moi dari Sorong untuk mempertahankan tanah dan hutan adat mereka.
Pada, Senin (22/7/2024), perwakilan masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi Sigin dari Papua kembali mendatangi gedung Mahkamah Agung (MA) di jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Masyarakat adat suku Moi dan Awyu pada kesempatan tersebut melakukan aksi damai dengan mendapat dukungan dari berbagai perwakilan organisasi dan masyarakat sipil.
Mereka kemudian secara bersama-sama menyerahkan petisi publik dengan jumlah total 253.823 tanda tangan yang kemudian akan diserahkan ke Mahkamah Agung (MA).
Petisi ini berisi desakan agar para hakim berpihak pada kelestarian hutan Papua yang selama ini menjadi ruang hidup yang dijaga oleh masyarakat adat Awyu dan Moi Sigin.
Agustina Omdoan aktivis kemanusian dari LBH Papua Pos Merauke melihat hal tersebut menyampaikan dukungan penuh perjuangan suku Awuyu dan Moi untuk berjuang mempertahankan hutan dan tanah adat mereka yang saat ini sudah sampai ditahapan kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Menurut Agustina hal tersebut didasari atas fakta bahwa masyarakat adat Papua sangat bergantung pada tanah dan hutan sebagai sumber kehidupan.
“Dari tanah dan hutan masyarakat bisa mendapatkan sumber makanan dan minuman yang langsung disediakan oleh alam. Karena itu jika hutan adat hilang maka masyarakat adat juga akan kehilangan sumber kehidupan mereka,” ujar Agustina dalam pernyataanya yang diterima Suara Papua.
Ia menambahkan bahwa salah satu hal penting yang dilupakan saat ini adalah para perempuan adat yang menjadi korban langsung.
“Jika hutan dan tanah adat di ambil perusahaan maka selain kehilangan sumber mata pencarian, perempuan adat juga akan kehilangan ruang hidup, mengingat perempuan Papua itu masih menggantungkan kehidupan mereka pada alam.”
“Bagi perempuan Papua sendiri hutan ialah ibu bagi mereka, di mana hutan tersebut dapat memberikan kehidupan bagi mereka seperti dari hutan mereka mendapatkan makanan, dari hutan juga sebagai akses obat-obatan alam yang mudah didapatkan langsung. Jadi ketika hutan adat habis maka otomatis kaum perempuan akan terkena langsung dampaknya” ujarnya
Perwakilan masyarakat adat Awyu dari kampung Anggai, Distrik Jair, Robertus Meanggi di Merauke menekankan bahwa sangat di sayangkan jika hutan dan tanah adat suku Awyu dan Moi dialihfungsikan menjadi investasi atau perkebunan besar yang kemudian akan merusak ekosistem, flora dan fauna yang ada di sana.
Bahkan menurutnya, masyarakat adat pun akan kehilangan sumber pangan dan juga obat-obatan yang ada di sana.
“Kami masyarakat adat suku Awyu sudah ada sejak dahulu sebelum adanya agama dan pemerintah masuk ke wilayah adat kami. Kehidupan kami itu sangat tergantung dengan alam atau hutan, karena bagi kami hutan adalah mama yang memelihara kami sejak kami lahir hingga kami besar pun hutan dan tanah masih tetap memelihara kami. Makan dan minum pun kami masih mengambilnya dari hutan dan tanah, bahkan kami matipun tanah atau mama akan menyimpan kami,” ungkapnya.
Oleh sebab itu Roberth mengatakan pihaknya mendukung penuh perjuangakan suku Moi dan Awyu.
“Saya atas nama Robertus Meanggi mewakili masyarakat adat Awyu khususnya marga Meanggi dari kampung Anggai, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel mendukung perjuangan suku Awyu dan Suku Moi Sigin yang saat ini sedang berjuang mempertahankan hutan dan tanah adatnya dan terlebih khusus menyelamatkan bumi dari ancaman deforestasi dan krisis iklim global,” tukasnya.
Sementara, Ketua LBH Papua Pos Merauke, Johnny Teddy Wakum dalam statemennya mengatakan, dengan kesewenan-wenangan pemerintah dalam pemberian izin secara sepihak kepada investor tanpa melibatkan masyarakat adat pemilik hak atas tanah seperti yang dialami oleh suku Awyu jelas-jelas melanggar hak-hak masyarakat.
Dalam gugatan awal di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura kata Wakum, Majelis Hakim menolak gugatan masyarakat adat Awyu dengan tidak mempertimbangkan alat bukti yang diajukan oleh kuasa hukum masyarakat adat Awyu sebagai penggugat, begitupun dalam melakukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Manado, di mana Majelis Hakim tidak mempertimbagkan semua dalil dan alat bukti dari pemohon sehingga banding dari Masyarakat adat Awyu ditolak.
Sehingga lanjutnya harapan terakhir masyarakat adat Awyu ada di Mahkamah Agung, sehingga dengan diserahkanya petisi publik dengan jumlah total 253.823 serta dukungan penuh dari seluruh organisasi masyarakat sipil, aktivis lingkungan dan juga semua gerakan solidaritas sekiranya menjadi pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung yang menangani perkara tersebut, agar memberikan putusan yang adil bagi masyarakat adat Awyu dan Moi Sigin.