![WhatsApp Image 2024-01-11 at 17.22.10](https://ewr1.vultrobjects.com/suarapapuaweb/2024/01/WhatsApp-Image-2024-01-11-at-17.22.10-696x621.jpg)
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sejumlah langkah konkrit dalam upaya pemenuhan dan peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan (GTK) di Tanah Papua dibeberkan Yulianus Kuayo, kepala bidang pembinaan sekolah menengah kejuruan pada Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah provinsi Papua.
Kepada Suara Papua, Jumat (2/8/2024), Yulianus Kuayo mengungkapkan langkah-langkah konkrit pemenuhan dan peningkatan kapasitas GTK perlu dilakukan dalam rangka percepatan pemenuhan guru yang bersifat menyeluruh, kolaboratif dan berkelanjutan.
Kuayo menyebut beberapa upaya dimaksud antara lain dengan pemenuhan guru dan tenaga kependidikan baik PAUD, TK, SD, SMP, SMA dan SMK di Tanah Papua. Selain itu, yang kedua adalah peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan di semua jenjang pendidikan.
Pertama, kata Kuayo, terkait pemenuhan GTK antara lain dengan cara menyiapkan calon mahasiswa guru. Juga menyiapkan calon guru dan perhitungan kebutuhan guru.
Kata Kuayo, untuk penyiapan calon mahasiswa guru memang hal paling penting. Hanya saja, menjadi menjadi guru, kadang bukan menjadi pilihan utama bagi lulusan SMA dan SMK untuk melanjutkan pendidikan keguruan di perguruan tinggi.
“Banyak anak berprestasi di SMA dan SMK sudah tidak menarik dan tertarik mau menjadi guru. Guru adalah pekerjaan yang sudah bukan lagi pilihan anak-anak kekinian,” tuturnya.
Kuayo bertanya, apa yang membuat lulusan SMA dan SMK berprestasi tak tertarik lagi menjadi guru?
Pertanyaan ini menurutnya ternyata ada beberapa penyebabnya.
Hal pertama, keterpanggilan hati mau menjadi guru belum terbentuk dalam diri anak-anak Papua.
Faktor kedua lantaran adanya banyak masalah yang menghantui profesi guru di lapangan. Hal itu akibat kebijakan soal kesejahteraan seperti gaji kecil, tak ada honor kelebihan beban mengajar, masalah pengembangan karir guru seperti urus naik pangkat lama, administrasi yang membebani guru dalam DAPODIK seperti PMM, SKP, masalah administrasi guru yang berbelit-belit, juga masalah keamanan baik menyangkut tiadanya rumah guru dan tiada jaminan keamanan fisik.
Selain itu, masalah politik seperti guru menjadi tim sukses kandidat tertentu yang jika menang ditarik ke birokrasi untuk menempati jabatan struktural, atau menjadi pengurus partai politik dan anggota legislatif, serta sejumlah masalah lainnya.
Kuayo akui ada solusi yang pernah dilakukan oleh pemerintah daerah di era Otsus jilid pertama.
Satu solusinya, Kuayo sebutkan, pemerintah provinsi Papua telah membangun 4 Kolese Pendidikan Guru (KPG) Khas Papua dengan sebaran di 4 kabupaten/kota yakni di kota Sorong (Papua Barat Daya), kabupaten Merauke (Papua Selatan), kabupaten Nabire (Papua Tengah), dan KPG Khas Papua kabupaten Mimika (Papua Tengah).
KPG Papua menampung lulusan SMP utusan kabupaten/kota mewakili kampung asal peserta didik. Setelah lulus, mereka kemudian ditempatkan ke sekolah dasar di kampung asal peserta didik.
“Kebijakan ini tidak sesuai dengan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Sebab menjadi guru wajib memiliki kualifikasi sarjana pendidikan dan memiliki sertifikat profesi sebagai pendidik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui lembaga keguruan dan tenaga kependidikan terpilih,” bebernya.
Langkah selanjutnya empat KPG Papua mulai merangkul Uncen untuk kelanjutan kualifikasi sarjana pendidikannya. Sedangkan sertifikasi profesi dilakukan melalui kebijakan dan mekanisme yang ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi. Sehingga banyak guru di Papua sulit memenuhi persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi profesi.
Lanjut diuraikan, dengan semangat Undang-undang Otonomi Khusus Papua, KPG Khas Papua direvitalisasi menjadi jenjang menengah kejuruan, sebagai pusat penyiapan calon mahasiswa guru, peserta didik KPG Khas Papua adalah lulusan SMP utusan kabupaten/kota yang mewakili kampung dengan SOP mekanisme seleksi yang ditetapkan oleh LPKP pendamping, dan KPG Khas Papua dijadikan pusat pembentukan karakter menjadi seorang pendidik untuk melanjutkan ke LPTK mitra.
“Kemudian, lulusan KPG Khas Papua melanjutkan ke LPTK sesuai aturan dan SOP penerimaan mahasiswa baru. Dan pemerintah pusat menunjuk LPTK pendamping masing-masing KPG Khas Papua, serta input peserta didik di KPG Khas Papua dengan output lulusan LPTK terkoneksi dengan kebutuhan dan formasi guru jenjang PAUD, TK, SD, SMP dari masing-masing satuan pendidikan baik negeri maupun swasta di Papua,” urai Kuayo.
Upaya konkrit berikut adalah penyiapan calon guru melalui perguruan tinggi. Kata Kuayo, itu jelas melalui perguruan tinggi yakni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), seperti FKIP Uncen. Pesertanya adalah siswa lanjutan lulusan SMA dan SMK. Hal ini dengan mengacu pada peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 44 tahun 2023.
Selain itu, melalui perguruan tinggi umum yang ada di Papua, kata Kuayo, pesertanya siswa-siswi lanjutan lulusan SMA dan SMK. Hal ini juga mengacu Permendikbudristek nomor 44 tahun 2023.
Tetapi juga melalui LPTK lanjutan dari lulusan KPG Khas Papua. Dengan mengacu Undang-undang nomor 14 tahun 2005.
“Kedua kebijakan terkait penyiapan calon guru untuk memenuhi kekurangan guru di Papua, perlu pembahasan khusus dari semua aspek yang berhubungan dengan guru dan tenaga kependidikan,” imbuh Kuayo.
Upaya ketiga menurut Kuayo yakni perhitungan kebutuhan GTK.
“Dalam perhitungan kebutuhan guru, kebutuhan guru dihitung berdasarkan kebutuhan guru sesuai sebaran sekolah negeri.”
Praktisi pendidikan ini menyebutkan beberapa solusi perhitungan kebutuhan GTK bagi Papua ke depan.
“Perhitungan kebutuhan guru ASN di Tanah Papua perlu ada menu khusus dalam perhitungan kebutuhan guru sesuai sebaran sekolah swasta atau yayasan. Atau disamakan dengan sekolah negeri,” katanya.
Sedangkan terkait dengan perhitungan formasi GTK, ia menjelaskan, hal itu dihitung berdasarkan kebutuhan guru sesuai sebaran sekolah negeri, maka formasi kebutuhan guru pada sekolah swasta di Papua tidak terakomodir.
“Maka ketika seleksi guru ASN, baik PNS maupun P3K, guru-guru honorer pada sekolah swasta yang memenuhi syarat sesuai formasi guru mengikuti tes GTK ASN (PNS dan P3K) pada sekolah-sekolah negeri.”
Kuayo memberikan solusi formasi GTK bagi Papua ke depan, yakni perhitungan formasi guru ASN di Tanah Papua perlu ada menu khusus dalam perhitungan formasi guru sesuai sebaran sekolah swasta/yayasan atau disamakan dengan sekolah negeri.
Sedangkan tentang pengangkatan dan penempatan GTK, kata Yulianus, bagi guru ASN (PNS dan P3K) yang telah lulus seleksi sesuai formasi guru, maka dalam pengangkatan dan penempatan mengacu sesuai aturan ditempatkan sesuai formasi pengangkatan pada sekolah negeri.
“Kebijakan ini yang menjadi masalah bagi sekolah swasta di Papua. Karena guru swasta yang selama ini menjadi guru profesional pada sekolah swasta mengikuti regulasi ke sekolah negeri.”
Akibatnya, lanjut Kuayo, sekolah swasta mengalami kekurangan guru, kualitas pembelajaran menurun, siswa yang rata-rata orang asli Papua (OAP) tak mendapat pendidikan secara maksimal lagi.
“Bahkan dampak terhadap anggaran juga menjadi beban bagi sekolah-sekolah swasta karena harus seleksi merekrut dan membiayai guru honorer baru lagi, dan masalah-masalah lainnya.”
Kuayo menguraikan solusi penempatan GTK ASN (PNS dan P3K) di Papua saat ini dan ke depan, antara lain kebijakan untuk menempatkan kembali guru ASN (PNS dan P3K) ke sekolah swasta/yayasan sesuai kebijakan otonomi khusus di Tanah Papua. Selain itu, kebijakan penambahan menu sekolah swasta/yayasan pada aplikasi Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara (SIASN).
Solusi kedua menurutnya, penguatan kelembagaan swasta/yayasan di Tanah Papua sesuai semangat otonomi khusus Papua dan guru P3TK yang sudah terlanjur ditempatkan ke sekolah negeri, ada kebijakan khusus untuk pengembalian penempatan pada sekolah swasta/yayasan.
Kedua, upaya peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan di Tanah Papua. Kuayo membeberkan empat upaya urgen.
Pertama, peningkatan kualifikasi GTK. Ini diperuntukkan bagi guru ASN (PNS dan P3TK) yang kualifikasinya masih diploma untuk melanjutkan ke jenjang sarjana (S1), juga bagi GTK yang saat ini sarjana (S1) untuk melanjutkan pendidikan ke program magister (S2).
Kedua, peningkatan kompetensi GTK. Diantaranya dengan kegiatan-kegiatan seperti pelatihan, magang, workshop, study tour, seminar, diseminasi, dan sejumlah kegiatan lainnya. Juga, pemberdayaan dan penguatan kelompok musyawarah kerja pengawas, kelompok musyawarah kerja kepala sekolah, musyawarah guru mata pelajaran, kelompok kerja guru jenjang dasar, dan kegiatan profesi guru lainnya.
Ketiga, peningkatan kesejahteraan GTK. Antara lain gaji, tunjangan tambahan penghasilan, dana sertifikat profesi, biaya kemahalan, penataan tata kelola keuangan agar hak-hak diterima tepat waktu.
Keempat, jaminan keamanan dan perlindungan bagi GTK. Antara lain penyediaan rumah dinas guru, keamanan fisik bagi guru di tempat tugas dengan melibatkan masyarakat kampung, kepala kampung, gereja, pemerintah, pihak keamanan. Hal penting berikut adalah jaminan BPJS guru.
Solusi
Yulianus Kuayo menyampaikan beberapa solusi mengatasi persoalan tersebut.
Pertama, revisi UU Kepegawaian dan regulasi lain yang mengatur perhitungan kebutuhan guru, kebutuhan formasi guru, pengangkatan dan penempatan guru, mutasi, pensiun dan gaji guru di sekolah swasta diperlakukan sama dengan sekolah negeri.
Kedua, jika poin satu tak bisa dilakukan, maka diatur dalam peraturan bersama MENPAN-RB, BKN, Kemendikbudristek, dan Menteri Agama tentang status guru ASN pada sekolah swasta di Tanah Papua.
Ketiga, aturan turunan dari poin satu dan dua diatur khusus dalam Perdasi dan Perdasus agar menjadi acuan bagi BKN, BKD provinsi, dan kabupaten/kota di Tanah Papua. []