SORONG, SUARAPAPUA.com — Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyoroti Satgas Pamtas RI-PNG kewilayahan Papua Barat Daya 762/VYS pos Bori yang gencar melakukan aktivitas mengajar di SD YPPK Bori Timur, kampung Bori, distrik Aifat, kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya.
Emanuel menilai fakta anggota TNI sembari menenteng senjata api mengajar anak-anak di bawah umur 11 tahun adalah suatu tindakan kekerasan, yakni kekerasan psikologi yang dialami murid SD YPKK Bori Timur.
Melalui siaran persnya, Senin (5/8/2024), Emanuel menyatakan, dalam pendekatan terhadap para murid ada prinsip yang harus dikedepankan agar tidak mengganggu psikologi anak-anak berdasarkan perintah ketentuan pada Pasal 13 ayat (1) Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Bunyinya: “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 1. diskriminasi; 2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; 3. penelantaran; 4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; 5. ketidakadilan; dan 6. perlakuan salah lainnya.
Ia menyebutkan salah satu contoh perlakuan khusus terhadap anak guna melindungi psikologi anak sebagaimana ditetapkan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diatur dalam sistem peradilan anak, sebagai berikut:
1. Sejak anak diproses pada tahapan penyidikan dan penyelidikan di kantor polisi, si penyidik maupun advokat wajib menggunakan pakaian bebas rapi dan tidak menunjukkan seragam dinas maupun peralatan senjata api dan lain sebagainya.
2. Sejak anak diproses pra penuntutan di kantor kejaksaan, jaksa maupun advokat wajib menggunakan pakaian bebas rapi dan tidak menunjukkan seragam dinas maupun peralatan lainnya.
3. Sejak anak diproses penuntutan di pengadilan negeri, majelis hakim maupun advokat wajib menggunakan pakaian bebas rapi dan tidak menunjukkan seragam dinas maupun peralatan lainnya.
Emanuel mengungkapkan, semua praktek pendekatan dalam sistem peradilan pidana anak tersebut dilakukan semata-mata untuk melindungi psikologi anak agar tidak terganggu dan selanjutnya anak dapat tumbuh dan berkembang tanpa ada tekanan psikologi dalam diri anak.
Agak berbeda ketika memperhatikan foto, ada tiga orang anggota TNI lengkap dengan seragam dan membawa senjata api dalam ruang kelas ajarkan tiga anak sekolah dasar, menurut Gobay, tentunya memperlihatkan fakta hukum bahwa hal itu akan mengganggu psikologi anak apabila dikaji menggunakan pendekatan sistem peradilan pidana anak tadi.
Gobay berpendapat, dengan dasar fakta adanya 3 anggota TNI dalam ruang kelas SD tersebut telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak tersebut.”
Sementara itu, dikutip dari satukanindonesia.com, Dansatgas Yonif 762/VYS Letkol Inf Dwi Haryanto, mengatakan, kehadiran Satgas Yonif 762/VYS sebagai bentuk kepedulian dalam mencerdaskan anak-anak di wilayah penugasan operasi di Papua Barat Daya.
“Kami berharap dengan kehadiran personel Satgas Yonif 762/VYS di sekolah-sekolah, dapat meningkatkan motivasi dan semangat siswa dalam mengikuti pelajaran serta dapat berperan untuk memajukan pendidikan di daerah penugasan operasi sama seperti pendidikan yang ada di perkotaan,” kata Haryanto.
Alasan TNI mengajar menurut Dansatgas, karena keterbatasan tenaga guru, sehingga mereka turut membantu pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas di daerah perbatasan.
Berita tentang TNI mengajar murid SD itu dapat diakses di laman satukanindonesia.com dengan judul “Cerdaskan Generasi Bangsa, TNI Mengajar di SD YPPK Bori Timur”. []