JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Proyek pembuatan sebuah film yang mengisahkan kembali sejarah operasi militer dalam rangka pembebasan sandera Mapenduma tahun 1996, diprotes keras para pelajar dan mahasiswa asal kabupaten Nduga, provinsi Papua Pegunungan.
Casting dan syuting film itu jika dilakukan dan berhasil dirilis tentunya akan mengorek kembali luka lama, trauma mendalam masyarakat Papua khususnya Nduga.
Hal tersebut dikemukakan Erson Kerebea, ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa se-Indonesia (IPMNI) Salatiga-Semarang, saat jumpa pers, Rabu (7/8/2024).
Erson Kerebea didampingi Manemas Gwijangge, Narik Yimin Tabuni beserta sejumlah anggotanya, mencurigai misi terselubung dalam proyek pembuatan film tersebut berbau politis, tidak berfaedah bagi masyarakat Papua.
Apalagi dengan melibatkan generasi muda sebagai pemeran, meski tak jelas misinya. Karena itulah IPMNI bersama Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Papua (HIPMAPA) Salatiga tegas tolak proses pembuatan film tersebut.
“Casting filmnya melibatkan adik-adik pelajar dan mahasiswa Nduga. Kami tidak terima. Apalagi tujuannya tidak jelas,” ujar Kerebea.
Penyanderaan terjadi 8 Januari 1996 di desa Mapenduma, kecamatan Tiom, kabupaten Jayawijaya, yang kini distrik Mapenduma, kabupaten Nduga, provinsi Papua Pegunungan.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) pimpinan Kelly Kwalik menyandera para peneliti yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Lorentz ’95. Daniel Kogoya dan Silas Kogoya turut dalam aksi penyanderaan.
Terdapat 26 orang yang disandera. Tujuh orang diantaranya warga negara asing (WNA). Empat orang Inggris, dua Belanda, dan seorang warga Jerman.
Dalam merespons insiden itu, tepat 13 Januari 1996, Indonesia langsung menurunkan Kopassus yang dipimpin Danjen Prabowo Subiyanto, saat itu sebagai komandan dalam operasi pembebasan sandera Mapenduma.
Terbang ke Mapenduma, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mengirim dua helikopter dengan militer. Mediasi berhasil membawa pulang Frank Momberg, warga Jerman, anggota WWF. Para penyandera sengaja membebaskan Frank Momberg untuk menjadi penyampai pesan, mewakili lidah para penyandera.
Dari Frank Momberg, diketahui kemudian bahwa seorang peneliti dari UNESCO, Martha Klein tengah hamil. Kemudian penyandera kembali membebaskan dua orang sandera, Ola Yakobus Mindipa bersama sang bayi. Ola merupakan istri dari Jakobus, pendamping para peneliti di Mapenduma.
Tanggal 19 Januari 1996, PBB mulai melibatkan diri. Aksi penyanderaan yang dilakukan TPNPB OPM berhasil mencuri perhatian lembaga perserikatan tertinggi bangsa-bangsa di dunia. Kepada para penyandera, Sekjen PBB ketika itu, Boutros Boutros Ghali meminta agar para sandera segera dibebaskan.
Pada 7 Februari 1996, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengirim sebuah tim untuk membantu upaya pembebasan sandera. Saat itu, dilaporkan bahwa lokasi penyanderaan telah berpindah, dari Mapenduma ke Geselema, desa lain di kecamatan Tiom. Mediasi berbuah manis. ICRC berhasil menemui Kogoya di lokasi penyanderaan. Pertemuan ini menjadi pertemuan yang pertama sejak Kogoya dan Kwalik memutuskan hubungan mediasi dengan ABRI pada 25 Januari 1996.
Dalam pembebasan sandera Mapenduma, dampak konflik terhadap masyarakat sipil sangat brutal dan keji. Masyarakat di kampung Mapenduma, Geselema, Soroama, dan kampung di sekitar lainnya mengungsi. Dan, banyak orang ditembak mati pasukan Kopassus saat proses pembebasan sandera. Masyarakat ditembak, dibunuh, diculik, dianiaya, rumah dibakar, ternak dibunuh, perempuan diperkosa dan masyarakat melarikan ke hutan-hutan. Banyak mama-mama melahirkan anak dari tengah hutan. Mereka memberikan anak nama Sandera.
Kejadian tersebut meninggalkan trauma bagi masyarakat, juga generasi berikut yang kini sedang studi, baik pelajar maupun mahasiswa Nduga, yang tentu saja karena diceritakan orang tua mereka. Kala itu banyak orang tua dibunuh, ditembak, diculik, dianiaya, diperkosa, juga korban harta benda.
Oleh sebab itu, IPMNI Salatiga-Semarang dan HIPMAPA menyatakan sikapnya dengan berbagai alasan mendasar.
Pertama, kepada tim produsen, manajemen film operasi Mapenduma 1996, berhenti dan stop mengambil untuk mengikutsertakan pelajar dan mahasiswa Papua untuk berperan dalam film dengan mengatasnamakan kami pelajar dan mahasiswa Nduga.
Kedua, keluarga korban operasi Mapenduma meminta jangan libatkan adik-adik pelajar dan mahasiswa asal kabupaten Nduga untuk ikut casting maupun syuting film.
Ketiga, kami menolak dengan tegas kepada pelajar dan mahasiswa Papua jangan mengatasnamakan suku Nduga, pelajar Nduga, mahasiswa Nduga, sebagai orang yang merasa diri tahu dengan kasus Mapenduma.
Keempat, kami tahu dan sadar bahwa film yang diangkat merupakan bagian dari merubah citra oknum elit negeri ini dan merubah nama baik oknum pemimpin sebagai orang yang memimpin dalam operasi pembebasan sandera Mapenduma sebagai komandan operasi.
Kelima, kami meminta kepada pihak sekolah, asrama dan panti asuhan, jangan jadikan adik-adik pelajar yang tidak tahu apa-apa untuk dijadikan alat kampanye negara dan obyek untuk mengikuti kemauan panti, sekolah dan yayasan sesuai pesan sponsor. Kami minta berhenti dengan tindakan itu. Jangan libatkan adik-adik kami dalam casting film operasi pembebasan sandera Mapenduma 1996.
“Sangat kental dengan unsur politis, sebagai upaya pencitraan, sehingga kami tolak pembuatan film itu. Stop peralat adik-adik pelajar asal Nduga dan Papua umumnya terlibat dalam casting dan syuting film,” tegasnya.
Sikap tolak disampaikan setelah beberapa saat sebelumnya mereka mendatangi salah satu panti asuhan yang diduga tengah melakukan casting film tersebut.
Pengurus bersama anggota IPMNI dan HIPMAPA mendesak pimpinan bersama pembina dan guru tidak melanjutkan kegiatan casting.
Tak terima diprotes, bahkan karena emosi, pengurus panti asuhan mengeluarkan dua siswa SMA asal kabupaten Nduga. []