Oleh: Victor Yeimo
*) Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
Pembunuhan pilot helikopter Glen Malcolm Conning di kampung Alama, Mimika, Papua, Senin (5/8/2024), mengingatkan kembali kisah tragis di kampung ini pada tahun 1996. Operasi pembebasan sandera “Tim Lorentz 95” dipimpin Danjen Prabowo Subianto melakukan pembunuhan massal, penghilangan, pengungsian dan pembakaran gereja dan rumah di Bela, Alama dan Mapenduma.
Laporan Jawa Pos 1997 menyebut saksi korban sandera Daniel Start bersaksi bahwa pasukan komando dari Inggris Special Air Service (SAS) dan pasukan keamanan ternama Executive Outcome (EO) ikut menyamar sebagai petugas International Red Cross (Palang Merah Internasional) bersama Kopassus melakukan penyerangan dari helikopter di tiga kampung ini. Laporan Gereja menyebut 20 warga sipil terbunuh, 5 orang hilang, 182 rumah penduduk dibakar, termasuk 15 Gereja dan 2000 lebih penduduk mengungsi.
Kejahatan tersebut meninggalkan trauma bagi anak-anak yang lahir besar menyaksikan orang tuanya dibunuh, rumahnya dibakar di depan mata mereka. Memori penindasan itu meninggalkan dendam, bukan saja bagi Egianus Kogeya dkk yang adalah keluarga TPNPB, tetapi banyak 2.000-an keluarga korban warga sipil. Pasalnya, penyerbuan dengan helikopter yang menyamar sebagai Palang Merah itu dilakukan saat TPNPB Kelly Kwalik, Daniel Kogeya dan Silas Kogeya hendak menyerahkan sandera secara baik-baik di lapangan terbuka.
Pembunuhan pilot helikopter Glenn kali ini juga terjadi setelah Panglima Kodap III TPNPB, Gen. Egianus Kogeya menyatakan akan segera membebaskan pilot Phillips Mark Mehrtens. Hingga hari ke-4, pihak TPNPB belum menyatakan bertanggungjawab dan justru menuduh TNI mendalangi pembunuhan untuk menggagalkan pembebasan sandera. Begitu pula sebaliknya, TNI menuduh TPNPB pelakunya.
Jika keduanya tidak, maka apakah bisa diduga pelakunya adalah para korban yang trauma dari kebrutalan operasi 1996 di kampung Alama? Tentu perlu diinvestigasi.
Apabila dihitung untung rugi politik kedua pihak, pihak TPNPB paling dirugikan dan tidak ada keuntungan politik dari penembakan ini. Maka, sangat tidak mungkin TPNPB secara komando melakukan tindakan ini, karena buktinya pilot Phillips tidak ditembak, tapi diamankan dan hendak dibebaskan TPNPB dari ancaman pembunuhan TNI yang berulang kali menargetkan pilot dengan penembakan bom di persembunyiannya.
Pihak TNI dan negara sangat berkepentingan untuk memperkuat citra buruk pada TPNPB OPM sebagai teroris di mata dunia. Hampir dua tahun operasi pembebasan sandera gagal dilakukan Indonesia yang hendak mendulang dukungan dari Pasifik terutama New Zealand. Pengumuman pembebasan sandera oleh Gen. Egianus Kogeya jika terjadi akan menjatuhkan citra pasukan TNI dan negara yang punya kepentingan menghancurkan citra perjuangan bangsa Papua di forum internasional, seperti Pacific Islands Forum (PIF) yang akan berlangsung dalam waktu dekat.
Dapatkah kita curigai penembakan ini bertujuan membunuh niat baik TPNPB dalam pembebasan pilot dan perjuangan bangsa Papua? Jika benar, maka bisa jadi ini merupakan strategi yang dalam ilmu intelijen disebut “false flag” atau operasi bendera palsu. Suatu strategi penyerangan atau tindakan keji yang dilakukan pada warga sipil untuk mengarahkan tuduhan kepada pihak lawan sebagai pelakunya. Tujuannya adalah untuk mendiskreditkan musuh, memicu respons publik atau militer terhadap musuh, dan memperoleh keuntungan strategis atau politik.
Ada juga istilah “proxy war”. Dalam skenario ini, suatu pihak tidak terlibat secara langsung dalam aksi kekerasan tetapi menggunakan pihak ketiga, atau “proxy“, untuk melaksanakan tujuan mereka. Proxy war sering digunakan untuk menghindari keterlibatan langsung, mengurangi resiko bagi pihak utama, dan tetap menjaga deniability (penyangkalan yang masuk akal). Jika TPNPB tidak tahu menahu pembunuhan ini, maka bisa saja TNI menggunakan tangan ketiga yakni kelompok bayaran yang menyamar sebagai TPNPB. Tentu ini hanya dugaan, tetapi dalam dunia intelijen operasi seperti ini sudah biasa diterapkan.
Terlepas dari siapapun yang harus dibuktikan bersalah dalam segala konflik berdarah-darah di West Papua, kolonialisme dan kapitalisme yakni Indonesia dan PT Freeport ingin menjaga Papua tanah darah tanpa penyelesaian. Tanah Papua memang ladang bisnis TNI-Polri dan para kapitalis elit birokrat di Jakarta. Keduanya ingin konflik dijaga untuk bisnis.
Papua saat ini tersisa 2.971.340 jiwa dari 5,4 juta penduduk Papua menurut data BPS tahun 2022. Jumlah non Papua lebih besar dengan laju 6,39% pendatang baru per tahun di 6 provinsi pemekaran. Dari kota ke kampung-kampung, migrasi pendatang dengan kekuatan perusahaan dan militer mendominasi semua sektor produktif.
Sementara hutan adat yang merupakan benteng terakhir bumi dari ancaman pemanasan global terancam habis. Dari 34,3 juta hektare hutan primer di Tanah Papua, sudah 793.623 hektare habis sejak 2021-2022. Dalam kurun waktu dua bulan saja (Januari-Februari 2024), Yayasan Pusaka menemukan 765 hektare hutan habis di Papua. Menurut data Greenpeace, sekitar 12,9 juta hektare hutan Papua akan dikonversi perusahaan-perusahaan yang diizinkan Indonesia.
Baru saja 23 Juli 2024, 2 juta hektare hutan di Merauke diresmikan presiden Jokowi untuk diubah menjadi lahan tebu. Artinya, masyarakat adat dipinggirkan, hutannya dihabisi demi nafsu serakah para penjajah dan perampok di Tanah Papua.
Jadi, apakah orang Papua mesti dinafikan dengan membentuk citra buruk terus menerus pada perjuangan bangsanya? Saya kira seperti perjuangan bangsa Palestina di bawah kuasa media imperialis, itu pula yang dihadapi bangsa Papua saat ini.
Benar kata Malcolm X: “Media adalah entitas paling kuat di dunia. Mereka memiliki kekuatan untuk membuat orang yang tidak bersalah menjadi bersalah dan membuat orang yang bersalah menjadi tidak bersalah.”
Semua kebenaran perjuangan bangsa Papua ditutupi dengan segala bentuk propaganda dan agitasi penjajah. (*)