SORONG, SUARAPAPUA.com — Perampasan tanah adat, eksploitasi sumber daya alam, dan pelanggaran HAM masih terus berlangsung di Tanah Papua.
Sayang Mandabayang, salah satu aktivis HAM, dalam orasinya saat peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 9 Agustus 2024 di Sorong, menyatakan pentingnya menyelamatkan hutan dan manusia Papua demi masa depan manusia seluruh dunia.
“Dunia memperingati HIMAS yang jatuh pada tanggal 9 Agustus 2024, dan sejak pertama kali diperingati pada tahun 1995, tahun yang sama ketika dimulainya dekade internasional untuk masyarakat adat,” ujarnya.
Mandabayang mengungkapkan, masyarakat adat Papua sejak kedatangan bangsa-bangsa penjajah di Tanah Papua saat itulah mulai terjadi perampokan, penghancuran, pembunuhan, pemerkosaan, pencaplokan dengan melakukan berbagai perjanjian tanpa melibatkan masyarakat adat Papua.
“Semenjak masyarakat adat Papua dipaksakan bergabung dengan kolonial ini, setidaknya telah terjadi perampasan, penghancuran, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap hak-hak masyarakat adat,” tegasnya.
Mantan tahanan politik itu menyebutkan, negara-negara asing yang memiliki kepentingan ekonomi politik di Papua, seperti Belanda, Inggris, Amerika, termasuk Indonesia tidak pernah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat di Tanah Papua.
“Pemerintah terus melakukan kerja sama dan memberikan akses bagi negara asing untuk berinvestasi di Indonesia. Sudah dan sedang berlangsung kekejaman dan ketidakadilan dari kapitalisme, kolonialisme dan militerisme yang masif menghancurkan, mengambil alih tanah-tanah adat menggunakan undang-undang negara kolonial Indonesia, tidak pernah menghormati dan mengakui keberadaan masyarakat adat Papua,” lanjut Mandabayang.
Menurutnya, pemerintah Indonesia ikut aktif mendukung standar internasional dalam isu HAM maupun dalam isu pembangunan berkelanjutan yang melingkupi isu masyarakat adat. Dan yang terpenting adalah ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (UNCERD) dan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (UNCBD).
“Pemerintah Indonesia juga mendukung pengesahan deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP).”
Pemerintah Indonesia juga dinilai melanjutkan reformasi hukum nasional dalam memulihkan hak-hak konstitusional masyarakat adat telah dituangkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014 yang di dalamnya mengagendakan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dan RUU revisi UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Tetapi semua itu dalam praktiknya sekadar upaya pemerintah membangun pencitraan di tingkatan internasional dengan berbagai program yang selalu saja menguntungkan kapitalisme, negara Indonesia dan militerisme di atas tanah adat Papua.
“Pengesahan RUU Masyarakat Adat dan keluarnya Inpres Percepatan Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya semua itu hanya janji yang tidak pernah ditepati,” lanjut Sayang.
Terkait pembahasan RUU masyarakat adat yang tak kunjung disahkan, Jener Naa, salah satu mahasiswa di Sorong mengatakan, pembahasan di DPR RI terancam macet karena pemerintah Indonesia tidak serius untuk melindungi masyarakat adat.
“Salah satu sumber penjajahan dan penderitaan berkepanjangan bagi masyarakat adat adalah Undang-undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 yang dilanjutkan dengan Undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 yang telah merampas 80% tanah-tanah di wilayah adat menjadi hutan negara,” tegas Jener.
Jener menilai proses dalam pembuatan Undang-undang yang mengatur pengakuan dan perlindungan hak-hak konstitusional masyarakat adat semakin sulit.
“Semua ini semakin sulit diterima akal sehat dan sungguh mengecewakan. Putusan MK nomor 35 yang mengakui hak-hak konstitusional masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam sama sekali tidak diindahkan dalam penyusunan dan pembahasan RUU masyarakat adat. Tahun ini merupakan catatan tersendiri bagi masyarakat adat yang mengalami kekalahan menghadapi kapitalisme, pemerintah dan militerisme,” urainya.
Apey Tarami, salah satu massa aksi dalam orasinya mengatakan, gelombang protes masyarakat adat Papua berhadapan dengan investor telah terjadi di berbagai wilayah tanah adat Papua. Ia sebutkan kasus terkini, protes masyarakat adat suku Awyu yang melakukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.
“Akibat masifnya perampasan tanah untuk kepentingan kapitalis dan kolonial akan berakibat pada ancaman ekosida kepada masyarakat adat Papua dalan wujud hilangnya hutan dan tanah adat, rawa dan gambut, sejarah kehidupan, sumber pangan, sumber mata pencaharian dan penghasilan ekonomi, termasuk hilangnya pusat belajar dan pengetahuan adat, tempat bersejarah, dan tempat ritual,” tutur Apey.
Ekosida Menghancurkan
Ekosida secara umum memiliki arti sebagai tindakan terencana baik langsung atau tidak untuk menguras dan menghancurkan serta memusnahkan eksistensi sebuah tata kehidupan semua makhluk.
Ekosida adalah prakarsa internasional. Setelah PBB menyepakati Statuta Roma pada 17 Juli 1998, yang memungkinkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengadili kejahatan kemanusiaan dan mencabut kekebalan hukum. Ada empat kejahatan yang ditangani ICC, yaitu kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi.
Pada 2011, Polly Higgins, seorang pengacara dari Inggris menginisiasi amandemen Statuta Roma. Dia ingin ekosida menjadi kejahatan yang bisa dibawa ke ICC, tetapi upaya itu belum berhasil hingga kini dan Higgins meninggal pada 2019.
ICC sebenarnya memberi respons dan mengajak masyarakat global untuk memberikan perhatian serius kepada konflik agraria dan kejahatan lingkungan. Karena itulah, kampanye mengenai ekosida menjadi penting, khususnya di Tanah Papua. []