JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pemerintah segera menghentikan segalah bentuk investasi bersakala makro di atas Wilayah masyarakat adat Papua karena berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Pernyataan itu disampaikan Aliansi Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua Selatan (AMPERA-PS) peringati hari masyarakat adat sedunia, yang dilakukan dengan aksi penolakan di lingkungan Mangga 2 Kimaam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan pada, Jumat (9/8/2024).
Dalam aksi tersebut massa aksi memegang poster-poster yang berisi pesan-pesan tegas yang menyatakan penolakan atas segala bentuk investasi di seluruh tanah adat yang ada di Papua Selatan, karena investasi perkebunan bersakala makro di Papua Selatan dianggap telah merampas ruang hidup masyarakat adat Malind.
Ambrosius Nit, Ketua AMPERA mengatakan masyarakat adat Papua dan Indonesia pada umumnya wajib memperingati hari masyarakat adat sedunia guna membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga dan mempertahankan tanah-tanah adat dari ancaman investasi berskala makro yang membuat masyarakat adat kehilangan hak atas tanah.
Ambrosius kemudian menyoroti berbagai persoalan masyarakat adat Papua Selatan yang kini terancam kehilangan tanah-tanah adat khususnya Kimahima dan Maklew karena hadirnya proyek strategis nasional seperti gula dan bioetanol yang diduga akan memakai jutaan hektar di Merauke.
“Aksi ini dilakukan karena akan berdampak pada hilangnya kepemilikan tanah-tanah adat serta pengrusakan lingkungan,” ujar Ambrosius.
Kata Ambrosius, yang saat ini dibutuhkan masyarakat adat Papua adalah pelayanan Publik seperti, ekonomi kerakyatan, pendidikan, akses kesehatan, akses jalan ke kampung-kampung lokal Papua.
“Kami di Papua Selatan tidak butuh Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti perkebunan gula, perkebunan Sawit dan Hutan Tanah Industri (HTI) serta investasi makro lainnya, karena semua itu tidak menjamin kehidupan masyarakat adat.”
“Mengingat fakta hari ini masyarakat adat yang telah menyerahkan tanah-tanah adat ke perusahaan menghadapi berbagai masalah seperti minimnya fasilitas pendidikan, angka putus sekolah yang sangat tinggi, keterbelakangan ekonomi dan terjadi mal nutrisi pada anak-anak,” tuturnya.
Katanya, masyatrakat betul terancam akan hilang di atas negerinya sendiri jika tidak mampu mempertahankan tanahnya.
Pemerintah Indonesia harus menghargai hak-hak masyarakat adat Papua, sehingga jika masyarakat adat menolak setiap perusahaan yang ingin masuk di atas tanah adat maka pemerintah wajib untuk mendengar, melindungi dan menghormati setiap suara penolakan.
Sebab apabila negara mengabaikannya maka berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak masyarakat adat.
Serupa disampaikan aktivis kemanusian dan lingkungan Papua Selatan, Maria Goreti Mekiuw yang juga berasal dari Suku Yeinan mengatakan bahwa dirinya bersama semua perempuan suku Yeinan yang ada di pesisir kali Maro menolak segala bentuk investasi yang merusak hutan adat suku Yeinan.
Menurut Mekiuw perempuan Yeinan tidak membutuhkan Investasi berskala makro, tetapi yang menjadi kebutuhan mendesak hari ini adalah fasilitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan untuk masyarakat adat Papua di Merauke, bukan investasi yang merusak lingkungan dan mengambil tanah-tanah masyarakat Adat.
“Kami perempuan Yeinan sangat terikat dengan hutan, karena hutan adalah tempat kami para perempuan mencari makan, obat-obatan dan juga semua atribut adat,” pungkasnya.