JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Mahasiswa dan masyarakat adat kampung Turiram dan kampung Webu distrik Kimaam Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan Menolak dengan tegas semua perusahaan yang akan masuk di atas wilayah adat mereka.
Penolakan itu dilakukan pihaknya dengan menggelar aksi di Dusun Payum kelurahan Samkai distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua selatan, Minggu (11/8/2024).
Dalam aksi itu masyarakat masyarakat adat Malind Anim dari Kondo sampai Digul tegas menolak masuknya investasi berskala luas yang sedang di jalankan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Proyek Strategis Nasional berupa Swasembada Gula dan Bioetanol serta Proyek Lumbung Pangan yang akan menggunakan jutaan Hektar di Merauke.
Berdasarkan pada hasil penolakan tersebut maka masyarakat adat di pulau Kimaam khususnya kampung Turiram dan kampung Webu telah menyatakan sikap untuk bersatu dengan seluruh masyarakat adat Malind dari Kondo sampai Digul Kabupaten Merauke guna menolak segala bentuk investasi di atas tanah adatnya masing-masing.
Pada 11 Agustus 2024, mahasiswa, pemuda, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh agama dan seluruh masyarakat adat kampung Turiram dan kampung Webu distrik Kimaam Kabupaten Merauke melakukan pertemuan untuk menyatakan keputusan mereka di balai kampung Webu.
Dalam pertemuan tersebut semua elemen masyarakat bersepakat dan menyatakan sikap tegas untuk menjaga tanah adatnya dan menolak segala bentuk investasi di atas tanah adat mereka.
Tokoh Masyarakat Kampung Turiram, Soter Guruba menegaskan bahwa masyarakat Turiram dan Webu hari ini waspada dan harus mencurigai semua aktivitas pihak-pihak yang hari ini beraktivitas di Kimaam.
“kita harus cek baik proyek penanaman bakau di pesisir selat Mariana, jangan sampai ada perusaahn yang mau sisip dalam proyek tersebut dan kalau ada, kita harus tolak,” tegas Guruba.
Serupa disampaikan Ketua Adat Kampung Turiram Hilarius Kampi, yang mana ia menegaskan bahwa saat ini semua masyarakat adat dari kampung Turiram dan Webu harus pikirkan baik-baik tentang masa depan anak cucu.
“Besok kalau perusahaan masuk ke sini, kita dan anak cucu semua mau kemana, dan mau mencari makan dimana? Kalau tanah dan hutan suda dirampas oleh perusahaa. Jadi saya selaku ketua adat menyatakan bahwa masyarakat adat kampung Turiram dan kampung Webu di distrik Kimaam Kabupaten Merauke dengan tegas menolak segala bentuk perusahaan yang mau masuk di atas tanah adat kami,” tukasnya.
Kampi lalu menyatakan bahwa pernyataannya itu mendukung masyarakat Adat Malind-Anim dari Kondo sampai Digul untuk menolak segala macam perusahaan- perusahaan di Kabupaten Merauke, karena belajar dari masa lalu yang kelam bersama perusahaan.
Ketua Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM) kampung Webu Anakletus Kornelis Yatawa menyatakan, “kalau kita menerima perusahaan yang mau masuk di wilayah kami, pertama tanah kami akan dirampas, hutan kami dibabat atau digusur habis terakhir masyarakat adat akan tersingkir.”
“Saya tidak mau berdosa terhadap anak cucu dan saya, sehingga saya mengajak masyarakat dari dua kampung baik Turiram maupun Webu untuk menolak proyek penanaman bakau yang sedang dilakukan dan menolak segala macam investasi di atas tanah adat kami dalam betuk apapun,” ujarnya.
Pihaknya juga dalam rapat menyepakati beberapa poin diantaranya, menolak proyek penanaman bakau di pesisir selat mariana, menolak semua rencana investasi di atas pulau Kimaam, menolak perushaan yang akan berinvestasi di distrik Ilwayab (Tanah adat Makleuw) dan menolak semua bentuk investasi di atas tanah adat Malind
Sementara itu Arnold Anda, Ketua Devisi Ekosob LBH Papua Pos Merauke yang juga putra asli Marind yang ikut memantau aksi penolakan tersebut menyampaikan bahwa aksi-aksi masyarakat adat dari kampung Turiram dan Webu wajib menjadi atensi dari Majelis Rakyat Papua Selatan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Merauke untuk berperan aktif memantau situasi dan meneruskan aspirasi kepada pemerintah Pusat.
Aga segera menghentikan proyek strategis nasional yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
“MRP Papua Selatan, DPR Kabupaten Merauke wajib untuk mendengar aspirasi penolakan masyarakat adat dan meneruskan ke Jakarta. Sehingga DPRI bisa memainkan fungsi pengawasan dan memanggil pemerintah pusat untuk mengevaluasi maupun menghentikan proyek strategis nasional yang berpotensi melanggar hak asai manusia,” pungkasnya.