JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) berpandangan bahwa Perjanjian New York yang telah ditandatangani pada 15 Agustus 1962 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York Amerika Serikat merupakan perjanjian yang dilandasi oleh sikap rasisme terhadap bangsa Papua oleh pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB.
Menurut ULMWP hal itu terlihat dari proses awal hingga penandatanganan New York Agreement itu yang tidak melibatkan wakil dari bangsa Papua – yang duduk di lembaga New Guinea Raad yang terbentuk pada 5 April 1961.
Peresmian New Guinea Raad sebagai lembaga representasi bangsa Papua jelas ULMWP waktu itu dihadiri oleh perwakilan Australia, Perancis, Belanda, Selandia Baru, Inggris dan perwakilan dari Pasifik.
Sementara pemerintah Indonesia maupun Belanda menjadikan pemimpin Papua sebagai objek untuk menyetujui perjanjian New York.
Dalam delegasi pemerintah Belanda, selama proses negosiasi berlangsung hadirkan Nicolas Youwe, Markus Kaisiepo, Cs demikian juga dari delegasi Pemerintah Indonesia menghadirkan A.Y. Dimara Cs, tetapi mereka hanya dijadikan sebagai objek pelengkap penderitaan dalam persetujuan ini. Seharusnya kedua pihak menghadirkan pimpinan Dewan New Guinea Raad.
Dalam proses pelaksanaannya, Pemerintah Indonesia melanggar isi Pasal XXII ayat 1 New York Agreement dengan jelas mengatur hak-hak bangsa Papua untuk bebas berbicara, bergerak, berkumpul dan bersidang.
Hak-hak ini dipasung dan dimatikan, sehingga orang Papua tidak pernah dapat melaksanakan oleh bangsa Papua sendiri.
Di mana contohnya adalah pasal XVIII ayat d New York Agreement mengatur Penentuan Nasib Sendiri yang harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun ternyata hal ini tidak dilaksanakan.
Isi New York Agreement, termasuk pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua untuk memilih: (a) Apakah mereka ingin bergabung dengan Indonesia, atau (b) Apakah mereka ingin memutuskan hubungan mereka dengan Indonesia, tidak pernah dipersoalkan.
Sebaliknya, pemerintah Indonesia membubarkan semua organisasi sosial dan politik yang dibentuk sebelum 1963. Dengan sikap yang dilandasi rasisme, pemerintah Indonesia membubarkan dan melarang untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya. Pelarangan itu dilakukan melalui Dekrit Presiden RI tanggal 15 Mei 1963.
New Guinea Raad yang adalah badan perwakilan rakyat tertinggi yang dipilih secara langsung oleh rakyat Papua melalui proses yang demokratis dibubarkan dan digantikan dengan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang keanggotaannya tidak melalui suatu proses pemilihan yang demokratis, tetapi ditunjuk dan atau diangkat oleh penguasa pemerintah Indonesia.
Kemudian pemerintah Indonesia secara ilegal mengambil alih administrasi wilayah West Papua pada 1 Mei 1963.
Sejak itu pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan-pasukan meliternya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua.
Mereka berasal dari semua Kodam dan seluruh Angkatan TNI dan Polri. Akibatnya, hak-hak politik dan hak-hak asasi manusia Papua telah dilanggar secara brutal di luar batas-batas perikemanusiaan.
Beberapa di antaranya adalah pembunuhan secara kilat, penguburan hidup-hidup, penembakan terhadap korban yang terlebih dahulu disuruh menggali kuburnya sendiri, pembunuhan ayah yang kemudian dagingnya dibakar dan dipaksakan untuk dimakan oleh istri dan anak-anaknya, dan berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan pada orang Papua.
Sikap dan kebijakan rasisme ini masih dipratekkan pemerintah Indonesia selama 61 tahun pendudukannya atas West Papua.
Peristiwa ujaran rasisme pada 15-16 Agustus 2019 di Asrama Kamasan Surabaya Jawa Timur kemudian terjadi aksi protes perlawanan oleh rakyat Papua adalah salah satu bukti nyata yang tidak dapat disangkal oleh publik Indonesia dan Internasional.
Demikian juga masifnya pembungkaman ruang demokrasi, penembakan, pembunuhan, penculikan, operasi di beberapa wilayah, pelarangan jurnalis dan diplomat asing, pelarangan kunjungan Dewan HAM PBB, kunjungan para pemimpin Melanesia dan pacifik ke West Papua merupakan satu kesatuan kebijakan dan aksi rasisme Pemerintah Indonesia pada bangsa Papua.
Kebijakan secara sepihak dengan sikap otoriter dan rasismepemerintah Indonesia pertontonkan jugadengan memperpanjang Otonomi Khusus jilid IIsecera sepihakpada 2021 serta pemekaran Papua menjadi 6 provinsi.
Karena itu, ULMWP dengan tegas menyatakan, “menolak perjanjian New York, karena perjanjian ini cacat moral dan hokum dan mendesak PBB, pemerintah Belanda, pemerintah USA dan pemerintah Indonesia serta berbagai negara di dunia untuk mendorong dilakukannya perjanjian internasioanal dengan melibatkan ULMWP sebagai wadah representasi bangsa Papua yang berjuang untuk menentukan nasib sendiri,” tukas Presiden Eksekutif ULMWP, Menase Tabuni dalam pernyataannya pada 15 Agustus 2024.
Tabuni juga, “mengutuk keras semua bentuk tindakan rasisme Pemerintah Indonesia dan negara-negara kapitalis, perusahaan multi Nasional yang berdampak pada terjadinya slow motions genosida, Etnosida dan Ekosida kepada bangsa Papua.”
Sementara Wakil Presiden Eksekutif ULMWP, Octovianus Mote meminta kepada para pemimpin MSG supaya pasca tidak diijinkannya kunjungan PM Fiji, Sitiveni Rabuka dan PM PNG James Marabe ke Indonesia dan West Papua dapat dievaluasi total keberadaan Indonesia di forum MSG sebagai anggota asosiasi,” pungkasnya.