Oleh: Thomas Ch. Syufi
*) Direktur eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR)
Kamis, 15 Agustus 2024, kita menyaksikan berbagai aksi demonstrasi damai di sejumlah daerah di Tanah Papua, termasuk Jayapura dan Nabire untuk memperingati hari Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Unjuk rasa yang disinyalir dimotori oleh sebuah faksi perjuangan damai Papua, yakni Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang direspons secara vulgar, represif, eksesif oleh aparat keamanan (kepolisian) itu bertujuan untuk menyatakan bahwa Perjanjian New York atau New York Agreement yang dilakukan saat itu adalah ilegal. Tidak sah!.
Para demonstran juga mengklaim bahwa momentum tersebut juga diperingati sebagai hari Anti-Rasisme Papua, yang mana terjadi peristiwa rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, 15 Agustus 2019, yang memicu gelombang protes di seluruh Tanah Papua.
Hingga berujung pada sejumlah aktivis pun ditangkap dan dipenjara pada tahun itu, antara lain, Buchtar Tabuni, Agus Kossay, Paulus Surya Anta Ginting, dan Ambrosius Mulait, termasuk yang terakhir Victor Yeimo (2021).
Namun, pada kesempatan ini, penulis ingin membatasi diri untuk tidak membahas panjang lebar terkait isu rasisme, tetapi lebih fokus mengelaborasi tentang Perjanjian New York, yang menjadi sumber utama dari segala polemik dan konflik tak berkesudahan selama 60-an tahun di Tanah Papua. Sebagaimana secuil narasi para demonstran yang termuat dalam selebaran berbentuk pamflet dan dikutip oleh sejumlah media yang berseliweran di jagat maya mengatakan, 62 tahun lalu, tepatnya 15 Agustus 1962, Belanda dan Indonesia di bawah tekanan (pengawasan/fasilitator) Amerika Serikat menyepakati sebuah perjanjian tentang status Papua Barat (Papua) dilakukan di New York, Amerika Serikat, yang kemudian disebut sebagai New York Agreement (Perjanjian New York).
Termuat dalam Pasal 12 dan 13 Perjanjian New York menjadi dasar terjadinya pemindahan kekuasaan atas Papua dari Belanda ke Indonesia melalui Badan Administrasi Sementara PBB (United Nation Temporary Executive Authority/UNTEA), 1 Mei 1963.
“Ini adalah peristiwa bersejarah yang memberi “karpet merah” kepada Indonesia dan Amerika Serikat melanggengkan praktik kolonialisme di West Papua (Papua) sampai saat ini. Sebab isi perjanjian itu mengatur penyerahan administrasi jajahan Papua dari tangan kolonial Belanda ke genggaman kolonial Indonesia,” demikian bunyi penggalan kalimat dari pamflet tersebut.
Perjanjian New York merupakan sebuah usaha terselubung pemerintah Indonesia untuk merebut Papua, dengan pemahaman bahwa seluruh daerah jajahan Belanda (Hindia Belanda) harus dikuasai atau masuk dalam wilayah Indonesia sebagai bekas koloni Belanda berdasar pada asas uti possidetis juris.
Artinya, suatu negara baru dapat mewarisi kekayaan dan wilayah negara penguasa (penjajah) sebelumnya. Padahal, secara logika hukum jika merujuk alasan prinsip asas uti possidetis juris, Indonesia tidak harus menggunakan intrik dan siasat politik untuk merebut Papua secara paksa, karena asas tersebut mengharuskan semua daerah yang menang dalam perang atau sukses mengakhiri penjajahan, maka secara conditio sine qua non atau otomatis menguasai seluruh daerah bekas jajahan dari negara penjajah sebelumnya. Namun, karena prinsip ini tidak berlaku dalam status Papua yang merupakan wilayah bekas jajahan Belanda yang terpisah dari Hindia Belanda (Indonesia) yang dikuasai Belanda selama sekitar 350 tahun dengan berkedudukan di Batavia (Jakarta).
Memang penerapan uti possidetis juris menandai berakhirnya terra nullius, tanah tak bertuan atau wilayah tanpa kepemilikan dari suatu negara. Wilayah terra nullius dapat dikuasai suatu negara melalui pendudukan. Dengan berlakunya uti possidetis juris, maka berakhir juga konsep terra nullius, dengan mengakui negara-negara yang didekolonisasi sebagai pemilik semua wilayah yang telah dianggap dimiliki oleh pendahulu kolonial mereka (Sehrenneta Bella Fiona, Retno Kusniati: 2020).
Tetapi, untuk kasus Papua tidak demikian, berbeda. Fakta sejarah, hukum, maupun politik menjelaskan bahwa Papua bukan wilayah Hindia Belanda, tetapi sebuah wilayah yang dijajah oleh penjajah yang sama (Belanda), namun tidak ada kaitannya dalam satu ikatan wilayah jajahan, dengan didukung oleh beberapa alasan pembeda, seperti waktu, lokasi, dan sistem penyelenggaraan administrasi pemerintahan, keuangan, dan berakhirnya masa penjajahan.
Jadi, upaya Indonesia merebut Papua melalui Perjanjian New York dianggap tidak sah secara etika, moral, hukum, historis, sosiologis, antropologis, maupun geneologis. Terutama dua hal prinsipil yang dilanggar oleh Perjanjian New York adalah fakta sejarah dan asas hukum uti possidetis juris, di mana Papua bukan merupakan bekas teritorial jajahan Hindia Belanda, tetapi Papua merupakan provinsi terpisah yang beribukota di Hollandia Binnen (Jayapura) dan memiliki komunikasi langsung atau dalam segala urusan administrasi pemerintahnya dengan Den Haag (ibu kota Belanda).
Jadi, Papua merupakan sebuah provinsi di seberang lautan, seperti Suriname (sebuah negara bekas jajahan Belanda di Kepulauan Karibia/Amerika Latin). Bukan menjadi bagian dari kesatuan wilayah Indonesia yang dijajah oleh Belanda sekitar tahun 1602-1942 dan meraih kemerdekaan penuh tahun 1945 setelah dijajah Jepang kurun 3,5 tahun.
Ini selaras dengan salah satu dari enam isi pokok Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 2 November 1949, yang membicarakan pengakuan kedaulatan Indonesia. Yaitu penyerahan kedaulatan atas wilayah bekas Hindia Belanda kepada Indonesia akan dilakukan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, terkecuali kedaulatan atas Irian Barat (Papua) yang akan ditentukan kemudian (berarti tetap berada dalam kekuasaan Belanda).
Atas dasar itu, Belanda menyerahkan kemerdekaan Papua, 1 Desember 1961. Namun embrio negara Papua itu disabotase oleh Soekarno melalui Maklumat Trikora, 19 Desember 1961, kemudian direkayasa melalui Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dan Pepera 1969.
Maka, Perjanjian New York dianggap sebuah penyelundupan hukum yang dilakukan oleh Indonesia, Amerika, dan Belanda, dengan menjadikan Indonesia sebagai penguasa baru setelah sukses menginvasi Papua melalui Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961.
Semuanya terjadi karena pengaruh geopolitik dunia Amerika yang saat itu tengah menghadapi masa Perang Dingin (the Cold War); dengan Uni Soviet yang berbendera komunis, dengan sekutu dekatnya, Kuba juga menghadapi kemelut politik yang disebut “Krisis Misil Kuba” (Oktober 1962). Kecemasan dan fobia “Paman Sam” atas pengaruh komunisme ke Indonesia yang telah menampakkan wajahnya di beberapa negara Asia Tenggara, Vietnam, masalnya. Karena itu, Presiden AS John F Kennedy terpaksa menerima ajakan Presiden Indonesia Soekarno untuk menangkal isu komunisme agar tidak merebak ke Indonesia.
Kennedy menyetujui atau mendukung apa pun ambisi Indonesia untuk mengokupasi Papua, asal Indonesia bersih dari paham dan praktik komunisme sekaligus bersedia menjadi sekutu baik Amerika di Asia Tenggara.
“Indonesia jika perlu akan menempuh jalan kekerasaan untuk mendapatkan kembali (merebut) Irian Barat”. Begitu isi sepucuk surat Soekarno kepada Presiden John F Kennedy, dua hari setelah tanggal 19 Desember 1961 (mengeluarkan Maklumat Trikora), yang bertepatan juga dengan pidato Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio di depan parlemen, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan mengadakan konfrontasi dengan Belanda di segala bidang: politik dan ekonomi, bila perlu termasuk militer.
Tidak sampai di situ. Perjanjian New York juga dibuat secara sepihak, bahkan tanpa sepengetahuan atau dilibatkan orang Papua di dalam kesepakatan yang menjadi dasar hukum atas penguasaan Indonesia di Tanah Papua sekaligus sebagai pedoman pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang prosesnya penuh rekayasa dan cacat hukum alias ilegal.
Padahal, Papua merupakan objek sengketa antara Belanda dan Indonesia yang suka atau tidak, orang Papua harus dilibatkan dalam kesepakatan itu untuk membicarakan tentang masa depan politiknya.
Apalagi saat itu Belanda sudah membentuk sebuah badan politik orang Papua, yakni Dewan Papua atau Nieuw Guinea Raad (NGR) yang diketuai oleh Frits Sollewijn Gelpke (Belanda) dan Nicolas Jouwe (Papua) sebagai wakil ketua, yang tugasnya menyiapkan berbagai hal untuk proses kemerdekaan Papua dari Belanda.
Sesuai konsensus internasional pasca-Perang II (1939-1945) yang mengharuskan semua daerah jajahan harus dekolonisasi, baik di Afrika, Karibia, Amerika Latin, dan Pasifik, termasuk Papua sebagai salah satu wilayah tak berpemerintahan sendiri (non-self governing teritorries) yang berhak menentukan nasib sendiri sendiri, sebagaimana diatur dalam Bab XI (Pasal 73-74). Dan rumusan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 55 dari piagam yang disahkan di San Francisco 26 Juli 1945, Amerika Serikat, itu juga membahas tentang hak penentuan nasib sendiri (right to self determination).
Padahal seharusnya dilibatkan wakil Papua yang telah mendapat mandat resmi dari masing-masing partai politik di seluruh Tanah Papua yang duduk sebagai anggota NGR untuk ikut merumuskan dan menyepakati Perjanjian New York.
Bukan sebaliknya, Indonesia menyodorkan individu-individu orang Papua yang mungkin saja menurut perspektif para nasionalis Papua sebagai kelompok “Papindo” (Papua-Indonesia) yang membonceng misi politik Jakarta untuk mempertahankan Papua dalam Indonesia, seperti J. A Dimara, M. Indey, Albert Karubuy, Frits Kirihio, Silas Papare, dan Efraim Somisu, yang mengklaim diri sebagai representasi orang Papua dalam kesepakatan New York. Ketiadaan perwakilan resmi orang Papua dalam Perjanjian New York merupakan sebuah konspirasi politik internasional yang serius dan sangat bertentangan dengan asas konsensualisme yang lazim digunakan dalam praktik hukum perjanjian yang mengatakan bahwa suatu perjanjian sah apabila disepakati oleh para pihak.
Jika salah satu pihak tidak setuju atau absen, maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah atau tidak pernah ada perjanjian sama sekali. Tampak PBB sebagai badan perdamaian dunia justru menjadi sapi perah Amerika untuk ikut menyetujui skandal New York Agreement dengan mencatat persetujuan tersebut dalam resolusinya pada 21 September 1962, nomor 1752 (XVII).
Tidak terputus. Perjanjian New York yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 pun tidak konsisten dilaksanakan oleh Indonesia.
Di mana termuat dalam Pasal 14-21 Perjanjian New York 15 Agustus 1962 mengatur tentang hak penentuan nasib sendiri (self determination) yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 harus dilakukan sesuai prinsip dan mekanisme internasional, yaitu “one man, one vote” (satu orang, satu suara).
Artinya, penentuan nasib sendiri merupakan hak kolektif semua warga Papua, maka harus diberikan ruang dan kesempatan penuh kepada mereka untuk memilih sesuai dengan kehendak bebasnya, apakah memilih merdeka sendiri atau bergabung dengan Indonesia.
Namun, praktik plebisit tahun 1969 di Papua tidak dilaksanakan secara adil, jujur, demokratis, dan transparan sesuai amanat Perjanjian New York, one man, one vote (satu orang, satu suara), tetapi banyak orang mewakili satu suara, dalam kontrol militer Indonesia.
Dari 800.000 penduduk asli Papua saat itu, hanya sekitar 600 orang asli Papua (OAP) yang mengikuti Pepera dari 1.025 peserta yang diseleksi oleh militer Indonesia. Misalnya, pelaksanaan Pepera yang dimulai dari Merauke 14 Juli 1969, hanya sekitar 90 orang asli Papua yang terlibat dalam pemilihan kontroversial tersebut dari 175 orang. Sepanjang pelaksanaan Pepera diwarnai dengan kekerasan, intimidasi, teror, ancaman terhadap orang asli Papua, termasuk peserta Pepera untuk tidak memilih Papua merdeka, tetapi memilih bergabung dengan Indonesia.
Dan hasil Pepera yang direkayasa Indonesia itu secara sepihak dilegitimasi oleh PBB melalui Resolusi PBB 2.504, tanpa berkonsultasi atau mendengar pendapat orang Papua sebagai pemilik sah wilayah yang dipersengketakan.
Menurut John Saltford yang dikutip oleh Yan Christian Warinussy, resolusi PBB yang dikeluarkan oleh PBB pada 19 November 1969 tersebut tidak sama sekali membicarakan status politik Irian Barat (Papua), atau mengakui dan mengesahkan hasil act of free choice (tindakan bebas memilih/jajak pendapat) 1969.
Tetapi resolusi itu hanya mengatur dua hal penting, yaitu mencatat (take note) laporan Sekjen PBB melalui wakilnya tentang Pepera, dan penghargaan atas perjanjian ekonomi. PBB hanya mencatat solusi tersebut dalam buku agenda PBB dengan nomor 2.504 (XXIV) (suarapapua.com, 26 Juli 2019).
Bahkan, Pepera seharusnya digelar dan disupervisi oleh sebuah lembaga internasional independen dan imparsial, bukan oleh Indonesia yang diragukan integritasnya untuk menjadi penyelenggara Pepera yang ia sendiri berkepentingan di dalamnya.
Fakta politik ini semacam anomali sekaligus contradictio in terminis, yaitu Indonesia berkeinginan menyelesaikan persoalan Papua, sementara dirinya sendiri bagian dari persoalan itu.
Memang diakui bahwa Pepera 1969 tidak digelar secara jujur, adil, dan demokratis, sarat kecurangan, dan penuh rekayasa. Maka, premis dari semua rangkaian fakta sejarah dan hukum tersebut di atas, baik Perjanjian New York 15 Agustus 1962 maupun hasil Pepera 1969 dapat dikatakan tidak sah, ilegal, karena melanggar nilai-nilai hak asasi manusia, hukum, demokrasi, dan sejarah orang Papua.
Juga dua perkara ini menjadi sumber dari segala polemik dan konflik yang membuat Papua terus membara selama 62 tahun menjadi bagian dari NKRI, meski Jakarta telah berikhtiar memadamkan bara api tersebut melalui berbagai kebijakan politik, seperti Otonomi Khusus (Otsus) yang mulai berlaku sejak tahun 2001 dan pemekaran daerah otonom baru (DOB).
Maka, sudah waktunya, pemerintah Indonesia harus melakukan otokritik, evaluasi diri atas berbagai kegagalan tersebut, dan segera mencari solusi lain yang lebih tepat, elegan, dan dapat diterima oleh kedua pihak, sekaligus memberi dampak yang signifikan sebagai jalan damai untuk mengakhiri konflik, mencegah pertumpahan darah, pelanggaran HAM yang berkelanjutan, dan mewujudkan perdamaian Papua.
Juga atas pertimbangan kondisi hak asasi manusia, PBB bisa menggunakan kewenangannya sebagai badan eksekutif (administrasi) untuk mencabut resolusi PBB atau take note bernomor 2.504, sebagai implementasi dari persamaan asas contrarius actus (siapa pejabat tata usaha negara yang membuat keputusan tata usaha negara dengan sendirinya berwenang mengubah, mengganti, mencabut, atau membatalkan dokumen yang dibuatnya), tanpa harus menunggu kepastian hukum dari putusan pengadilan (Mahkamah Internasional) yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
Ini sebagai pengejawantahan dari Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB mengatakan, salah satu tujuan PBB adalah untuk membangun hubungan antara bangsa-bangsa berdasarkan kehormatan untuk prinsip kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat.
Selanjutnya, Pasal 55 mendorong PBB untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat dunia serta penghormatan universal terhadap hak asasi manusia.
Karena apa pun motif dan dalilnya, termasuk alasan keadilan, territorial integrity, maupun kedaulatan, perang tidak dapat dibenarkan. Kata Paus Fransiskus, “War can never be justified” (perang tidak dapat dibenarkan), atau pax melior est quam iustissimum bellum, perdamaian itu lebih baik daripada perang yang paling adil! Liberte. (*)