SORONG, SUARAPAPUA.com— Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi di Sorong, Papua Barat Daya didesak untuk mencabut rekomendasi pengakuan adat yang dikeluarkan kepada Abdul Faris Umlati, salah satu Bakal Calon Gubernur Papua Barat Daya yang maju pada Pilkada tahun 2024.
Menjelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Papua Barat Daya (PBD), terdapat pasangan Bacalon gubernur dan wakil gubernur yang berusaha meyakinkan semua pihak bahwa mereka merupakan Orang Asli Papua (OAP).
Hal ini disampaikan Ambrosius Klagilit, salah satu intelektual muda suku Moi menanggapi rekomendasi yang dikeluarkan LMA Malamoi.
Menurut Ambo, sapaan akrabnya, rekomendasi yang dikeluarkan LMA Malamoi kepada Abdul Faris Umlati, salah satu bakal calon gubernur Papua Barat Daya bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
“Ini hanya untuk memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua pasal 12,” katanya dalam pernyataan yang diterima suarapapua.com pada, Sabtu (31/8/2024).
Ambo mengatakan, arang asli Papua sebagaimana merujuk pada pasal 1 UU Nomor 21 tahun 2001 yang telah diubah dengan UU 2 tahun 2021 tentang Otsus bagi Propinsi Papua pasal 1 angka 22, mendefinisikan OAP adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua.
“Berdasarkan definisi orang asli Papua sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat beberapa unsur jika seseorang merupakan OAP yaitu (1) Orang tersebut berasal dari ras Melanesia, (2) Ras Melanesia tersebut terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua, dan (3) Diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua,” ujarnya.
Sementara, UU Otsus Papua telah memberikan pembatasan mengenai definisi orang asli Papua. Pembatasan tersebut dapat dilihat sebagaimana unsur-unsur di atas.
Misalnya ras Melanesia hanya dibatasi pada suku-suku asli yang ada di Provinsi Papua, artinya bahwa ras Melanesia yang bukan terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua tidak dapat dikatakan sebagai orang asli Papua.
Mengenai unsur diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua, kata Ambo, harus ada peraturan pelaksana lebih lanjut dari UU Otsus Papua mengenai tata cara dan prosedur agar seseorang dapat diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.
“Selama belum ada peraturan pelaksana yang mengatur tata cara dan prosedur sebagaimana dimaksud, maka ketentuan unsur tersebut tidak dapat ditafsirkan dengan memberikan rekomendasi kepada salah satu pasangan calon kepala daerah gubernur dan wakil gubernur yang dengan rekomendasi tersebut kemudian mereka dianggap sebagai orang asli Papua.”
Sayangnya kata dia dinamika politik yang terjadi di Provinsi Papua Barat Daya untuk merebut posisi gubernur dan wakil gubernur dilakukan dengan berbagai cara.
Salah satunya dengan memberikan rekomendasi dari LMA untuk diakui sebagai orang asli Papua agar tidak bertentangan dengan ketentuan pasal (12) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua.
“Hal tersebut dibuktikan dengan Surat Rekomendasi Pengakuan Adat Nomor. 239/LMA-M/REK/VIII-2024 yang dikeluarkan oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi,” ujarnya.
Selanjutnya kata dia apakah dengan mendapatkan rekomendasi dari LMA seseorang yang bukan berasal dari ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di provinsi Papua dapat dijadikan sebagai OAP.
“Untuk menjawabnya, perlu terlebih dahulu memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Otsus Papua, dimana ketentuan tersebut menekankan bahwa OAP adalah yang berasal dari ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Papua, dan atau diterima dan diakui oleh masyarakat adat Papua.”
Ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Otsus Papua belum memiliki peraturan pelaksana mengenai tata cara dan prosedur pengakuan adat dan atau tata cara pengangkatan seseorang menjadi menjadi OAP.
Oleh sebab itu rekomendasi yang diberikan Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua.
Ambo menilai dasar hukum penerbitan Rekomendasi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 tentang Pengakuan Adat yang dikeluarkan oleh LMA Malamoi juga tidak tepat, dimana tidak satupun dasar hukum tersebut yang mendelegasikan kewenangan kepada LMA Malamoi untuk memberikan pengakuan hak adat kepada setiap orang yang bukan berasal dari ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Papua untuk dapat dinyatakan sebagai OAP.
“Dengan demikian Lembaga Masyarakat Adat Malamoi tidak punya kewenangan menerbitkan Surat Rekomendasi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 tentang pengakuan hak adat,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Alumnus Universitas Muhammadiyah Sorong ini mempertegaskan kepada Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat Daya sebagai lembaga representasi kultural OAP, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak OAP (vide pasal 1 ayat 8) dan atau berdasarkan kewenangannya sebagaimana termuat dalam Pasal 20 ayat 1 huruf (a) UU Otsus Papua, dimana MRP memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah.
“MRP harus mengambil langkah penting untuk melindungi hak-hak politik orang asli Papua, salah satunya dengan tidak memberikan persetujuan kepada bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang bukan OAP Papua. MRP PBD harus berani berkaca pada MRP Papua yang pada tahun 2005 tidak memberikan persetujuan kepada bakal calon gubernur yang bukan orang asli Papua di Provinsi Papua,” tegasnya.
Ambo yang adalah pengacara muda asal suku Moi ini mendesak MRP Papua Barat Daya untuk memberikan surat teguran kepada LMA yang mengeluarkan rekomendasi.
“Bila perlu MRP PBD mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak dan lembaga-lembaga termasuk lembaga adat yang mencoba merampas dan merusak hak-hak politik orang asli Papua,” pungkasnya.
LMA Malamoi juga didesak untuk mencabut Surat Rekomendasi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 tentang Pengakuan Hak Adat, tertanggal 27 Agustus 2024.
“LMA Malamoi harus mencabut rekomendasi pengakuan adat yang dikeluarkan untuk Alfaris Umlati,” pungkasnya.
Sebelumnya, di ketahui LMA Malamoi mengeluarkan rekomendasi pengakuan adat pada 27 Agustus 2024 kepada Alfaris Umlati, salah satu bakal calon gubernur Papua Barat.
Dalam surat rekomendasi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 yang ditandatangani Ketua LMA Malamoi, Silas Ongge Kalami mengakui Alfaris Umlati sebagai anak adat dari suku Moi Maya di Kabupaten Raja Ampat.