SORONG, SUARAPAPUA.com— Dengan adanya perkebunan kelapa Sawit, tanah Papua ternyata lebih banyak mendapat kerugian dibandingkan manfaatnya. Akibatnya, masyarakat adat yang menanggung kerugian akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar yang terus dikembangkan di Tanah Papua.
Hal itu disampaikan peneliti Wiko Saputra dalam diskusi publik bertajuk “Investasi Bodong: Mengungkap Beban dan Manfaat dari Investasi Sawit di Tanah Papua” yang dilakukan secara daring pada 27 Agustus 2924.
Dalam laporan kajian Yayasan Pusaka Bentala Rakyat ini mengungkapkan serbuan investasi sawit terjadi menyusul menurunnya ekonomi kayu di Tanah Papua.
Banyak pengusaha perusahaan mengalihkan bisnis dan eks konsesi Hak Pengusahaan Hasil Hutan Kayu (HPH) yang dialihkan untuk bisnis perkebunan kelapa sawit.
Misalnya di Kabupaten Sorong, perusahaan kayu PT Intimpura Timber mengalihkan konsesinya pada tahun 2002 untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Henrison Inti Persada (32.456 ha), PT Inti Kebun Sejahtera (38.300 ha), PT Inti Kebun Sawit (37.000 ha), PT Inti Kebun Lestari (34.400 ha).
Di Kabupaten Keerom, konsesi HPH PT Hanurata menjadi perkebunan kelapa sawit PT Tandan Sawit Papua.
Hingga tahun 2019, pemerintah telah menerbitkan IUP (Izin Usaha Perkebunan) kepada 58 perusahaan pemegang IUP perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua dengan luas 1.571.696 hektar.
Luas ini setara dengan 23 kali luas daratan Provinsi DKI Jakarta., namun lahan IUP perkebunan kelapa sawit yang telah dikembangkan hingga tahun 2019 seluas 169.152 hektar.
Dalam pemaparan Wiko dari hasil kajian Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang menunjukkan bahwa investasi sawit di Papua – yang melibatkan 55 perusahaan dengan izin usaha perkebunan seluas 1.571.696 hektar, hanya memanfaatkan sekitar 15 persen dari total lahan yang diizinkan.
“Izin sudah diterbitkan untuk area yang luas, tetapi hanya 169.162 hektar yang benar-benar ditanami sawit,” ungkap Wiko.
Ia menambahkan bahwa perusahaan lebih banyak memanfaatkan lahan sebagai “landbank” yang memiliki nilai ekonomi tinggi, bukan untuk pengembangan perkebunan sawit.
Kajian tersebut kata Wiko menggunakan metode cost-benefit analysis (CBA) untuk menghitung untung-rugi investasi sawit di Papua. Hasilnya, kerugian lingkungan akibat perkebunan sawit mencapai Rp96,6 triliun, sementara manfaat ekonomi dan penerimaan pajaknya hanya Rp17,6 triliun.
Dengan cost-benefit ratio (CBR) sebesar 5,48 persen, Wiko menyimpulkan bahwa investasi sawit ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.
“Dengan CBR lebih besar dari 1, artinya investasi ini tidak memberikan manfaat signifikan dibandingkan kerugiannya,” ujarnya.
Hasil kajian ini juga mendukung hipotesis awal bahwa investasi sawit di Papua adalah bentuk investasi bodong.
Wiko juga menyoroti dampak negatif investasi sawit terhadap masyarakat adat Papua, dimana hilangnya hutan akibat pembukaan lahan sawit mengakibatkan berkurangnya sumber pangan lokal, yang tercermin dari indeks kerawanan pangan.
Menurut Wiko, 30 dari 42 kabupaten di Papua yang terlibat dalam usaha perkebunan sawit mengalami kerawanan pangan.
“Ini sejalan dengan tuntutan masyarakat adat Papua untuk menghentikan perusakan hutan. Kehilangan hutan berarti kehilangan pangan bagi mereka,” katanya.
Wiko menekankan pentingnya mengubah paradigma pembangunan di Papua, dengan fokus pada pengembangan sumber daya manusia, bukan sekadar eksploitasi sumber daya alam.
Menanggapi hasil kajian ini, Sulistyanto dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa temuan tersebut bisa menjadi alat advokasi bagi masyarakat dan masukan penting untuk pencegahan korupsi di sektor sumber daya alam.
“Hasil kajian ini bisa dijadikan pintu masuk untuk mengadvokasi guna pencegahan korupsi disektor SDA,” katanya.
Metta Yanti dari GIZ Indonesia berharap kajian ini dapat disebarluaskan kepada pemerintah, seperti Bappenas, untuk mempertimbangkan kembali strategi perencanaan pembangunan dan menilai risiko perizinan terkait kerugian ekologis.
“Hasil kajian ini harus bisa dipahami baik oleh pemerintah sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan,” harapnya.
Danang Widoyoko dari Transparency International juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tujuan utama investasi sawit ini bukanlah untuk pengembangan perkebunan, melainkan untuk mengambil kayu bernilai tinggi di wilayah hutan Papua yang sulit dijangkau.
“Dikawatirkan perusahaan sawit hanya bertujuan untuk mengambil kayu yang bernilai di Papua,” ungkapnya.
Sebagai penutup, Wiko menyerukan agar pemerintah menghentikan eksploitasi sumber daya alam di Papua dan memberikan kesempatan bagi masyarakat Papua untuk mengelola wilayah mereka sendiri.
Menurutnya, potensi terbesar Papua terletak pada sumber daya manusianya, dan pembangunan yang berkelanjutan harus berfokus pada pendidikan dan kesehatan masyarakat lokal.
“Jika kita sungguh-sungguh ingin membangun Indonesia, arahnya harus ke timur. Investasi yang ada saat ini bukanlah investasi nyata, melainkan investasi politik dan tipu-tipu,” pungkas Wiko.