Amnesty Internasional Desak Paus Fransiskus Hentikan Pelanggaran HAM di Papua dan Intoleransi

0
483
Paus Fransiskus. (Dok. Vatikan)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com—Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3 hingga 6 September 2024 menjadi momen penting untuk menyoroti pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di masa lalu dan kebijakan pembangunan yang merugikan masyarakat adat serta lingkungan, terutama di Papua dan Rempang.

Oleh sebab itu Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM, melindungi kelompok minoritas, dan menghentikan kebijakan represif yang memicu konflik sosial.

Kunjungan ini diharapkan mendorong perdamaian, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia.

Amnesty Internasional Indonesaia menyoroti kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3 September hingga 6 September 2024 untuk menjadi momentum mendesak Indonesia menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghentikan pelanggaran HAM akibat kebijakan pembangunan masa kini yang tidak ramah sosial dan lingkungan, seperti di Papua dan Rempang, kata Amnesty International Indonesia hari ini.

“Pesan perdamaian, cinta kasih, dan dialog yang selalu disampaikan Paus Fransiskus sangat relevan untuk dunia yang menghadapi perpecahan dan intoleransi. Kunjungan ini sangat penting untuk menegaskan kembali kewajiban setiap bangsa tentang nilai-nilai martabat manusia dan keadilan sosial,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam pernyataanya kepada suarapapua.com, Rabu (3/9/2024).

ads

“Paus Fransiskus dijadwalkan bertemu Presiden dan para pejabat penting lainnya. Ini kesempatan untuk mendesak Indonesia memenuhi komitmennya di bidang hak asasi manusia, termasuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu dan melindungi kelompok masyarakat, termasuk masyarakat adat dari kebijakan ekonomi yang keliru.”

“Kunjungan ini juga memberi platform penting untuk mengadvokasi diakhirinya kebijakan represif dalam menghadapi protes dan unjuk rasa, menyerukan perdamaian di Papua, dan mencegah praktik-praktik diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama. Pembunuhan aktivis HAM Munir yang genap menginjak 20 tahun sejak kematiannya juga perlu mendapat perhatian.”

Baca Juga:  Pengelolaan Tak Efektif, Pelajar dan Mahasiswa Nduga Kembalikan Dana Studi ke Pemkab

Indonesia saat ini kembali aktif sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun Indonesia belum melaksanakan sejumlah rekomendasi penting terkait penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan pelanggaran HAM di masa kini akibat kebijakan pembangunan, dan perlindungan kelompok minoritas agama dari serangan atas kebebasan menjalani keyakinan dan pendirian rumah ibadah.

Amnesty International Indonesia mencatat kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang belum selesai, antara lain pembunuhan massal 1965/66, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, penyerangan 27 Juli 1996, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/98, penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, kerusuhan Mei 1998, kasus Munir, hingga pembunuhan-pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua.

Amnesty pun mencatat sejak Januari 2021 hingga Juli 2024, terdapat setidaknya 123 kasus intoleransi, termasuk penolakan, penutupan atau perusakan tempat ibadah, dan serangan fisik. Para pelaku diduga berasal dari berbagai latar belakang, termasuk pejabat pemerintahan, warga, dan organisasi masyarakat.

Pada 30 Juni 2024, seorang kepala desa bersama sekelompok orang menghentikan ibadah Minggu gereja Pantekosta di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka beralasan gereja itu tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Menurut pendeta setempat, bangunan gereja sudah terdaftar sebagai rumah doa pada 7 Desember 2023 dan tidak mudah mengurus IMB karena butuh waktu dua tahun. Namun, kepala desa bersikeras menuntut adanya IMB.

Untuk membangun rumah ibadah, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 2006 mensyaratkan adanya persetujuan dari setidaknya 60 warga setempat, yang disahkan kepala desa dan mendapatkan rekomendasi tertulis departemen Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama. Proses ini memiliki potensi konflik di daerah-daerah di mana umat minoritas menghadapi penolakan dari masyarakat setempat.

Pada 5 Mei 2024, sekelompok massa yang dipimpin oleh kepala RT setempat menyerang sejumlah mahasiswa Katolik yang menggelar acara Doa Rosario di sebuah rumah di Tangerang Selatan. Mereka memaksa para peserta untuk tidak beribadah di rumah, melainkan di gereja.

Baca Juga:  Tolak Rezim Dinasti, KMS dan AJI Gelar Aksi Bisu di Ibukota PBD

Pada 2 Juli 2024, pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyegel tempat ibadah jemaah Ahmadiyah. Indonesia juga terus mencatat kasus-kasus pembatasan terhadap hak-hak dan kebebasan umat beragama.

Amnesty International berharap kunjungan Paus Fransiskus akan menyoroti isu-isu ini demi memastikan perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.

“Kunjungan Sri Paus memiliki peran penting untuk mendorong Indonesia mengakhiri intoleransi dan diskriminasi terhadap semua kelompok minoritas. Kebebasan beragama merupakan hak yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia,” kata Usman Hamid.

“Jaminan ini harus ditegakkan secara efektif, dengan undang-undang dan peraturan yang selaras dengan standar internasional hak asasi manusia.”

Amnesty juga berharap kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia akan menyoroti pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sering dilakukan dengan pendekatan koersif tanpa konsultasi berarti dengan masyarakat adat. Banyak proyek infrastruktur skala besar di bawah PSN telah berdampak serius pada kehidupan masyarakat adat, yang hak atas tanah, budaya, dan kearifan lokal sering diabaikan.

Banyak masyarakat adat masih belum diakui hak atas lahannya oleh pemerintah, sehingga rentan terhadap konflik agraria dan sering menjadi korban proyek pembangunan, seperti yang terjadi di Rempang, Wadas, dan Mandalika.

Sedangkan masyarakat adat yang bersuara kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka dalam konflik agraria kerap menghadapi serangan. Amnesty International Indonesia mencatat, dari Januari 2019 hingga Maret 2024, setidaknya ada delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 84 korban, termasuk kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan fisik.

“Paus Fransiskus, yang dikenal atas komitmennya terhadap keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, diharapkan akan menyuarakan keprihatinannya atas pelanggaran-pelanggaran ini selama kunjungannya ke Indonesia,” kata Usman.

Baca Juga:  AFU Bukan OAP, Pendukung Minta MRP Verfak Ulang

Seruan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia di Papua
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia diharapkan juga menyoroti kondisi di Tanah Papua yang berkecamuk konflik dan hak-hak warga sipil di sana terus terancam.

“Tanah Papua, yang telah mengalami kekerasan selama puluhan tahun, harus menjadi perhatian. Eskalasi kekerasan, militerisasi, dan penindasan terhadap perbedaan pendapat di Papua telah mengakibatkan banyak korban sipil, pengungsian, dan krisis kemanusiaan yang membutuhkan perhatian mendesak,” kata Usman.

Warga sipil di Papua, termasuk masyarakat adat, telah menderita akibat operasi militer besar-besaran yang mengakibatkan pembunuhan di luar hukum oleh kelompok bersenjata negara dan non-negara, penyiksaan, pengungsi internal, dan pelanggaran lainnya.

Sejak 3 Februari 2018 hingga 20 Agustus 2024, Amnesty mencatat 132 kasus pembunuhan di luar hukum yang menewaskan setidaknya 242 warga sipil. Sebagian kasus itu dilakukan oleh aparat keamanan (83 kasus dengan 135 korban) dan sebagian lagi oleh kelompok bersenjata pro-kemerdekaan (49 kasus dengan 107 korban).

Selain warga sipil setempat, korban juga termasuk seorang pilot helikopter asal Selandia Baru, Glen Malcolm Conning, yang dibunuh saat mengangkut empat warga sipil di Distrik Alama, Kabupaten Mimika, Papua Tengah pada 5 Agustus 2024. Belum jelas siapa yang sesungguhnya membunuh pilot tersebut dan karenanya Amnesty mendesak investigasi penuh atas kejadian itu.

Seorang warga negara Selandia Baru lainnya, Phillip Mehrtens, disandera sejak 7 Februari 2023 oleh faksi bersenjata kelompok pro-kemerdekaan Papua. Antara Januari 2019 hingga Februari 2024 terdapat setidaknya 17 kasus penyiksaan atas 50 korban, yang diduga dilakukan oleh anggota aparat keamanan dan aparatur negara di Tanah Papua.

“Karena itu Paus Fransiskus juga harus menekankan pentingnya dialog damai dan resolusi yang menghormati hak asasi manusia serta aspirasi rakyat Papua,” kata Usman.

Artikel sebelumnyaKunjungan Paus Fransiskus ke PNG, Momentum Bersejarah bagi Umat Katolik di Papua
Artikel berikutnyaRibuan Umat Tuhan di Jayapura Ikut Jalan Salib Bawa Pesan Moral Tentang Situasi Papua