Foto bingkai Sri Paus Fransiskus dipegang oleh salah satu warga negara PNG. (Istimewa)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Rencana kunjungan Paus Fransiskus ke Vanimo, Papua Nugini (PNG) pada Minggu (8/9/2024) menjadi momentum bersejarah bagi umat Katolik di Papua dan seluruh Melanesia. Kunjungan apostolik itu akan mempererat relasi antara Gereja Katolik dan masyarakat Melanesia, yang dimulai sejak abad ke-19.

Yan Ukago, ketua tim kerja Dapur Harapan, mengatakan, umat Katolik di Papua berharap kunjungan Bapa Suci Paus Fransiskus dapat menguatkan iman dan harapan mereka, kendati banyak yang terkendala akses dan biaya untuk hadir langsung. Maka, pemerintah diharapkan dapat membantu mewujudkan impian umat untuk melihat Paus dan merasakan berkatnya secara langsung.

Menurut Ukago, kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Vanimo menjadi momentum bersejarah bagi masyarakat Melanesia termasuk komunitas Katolik di West Papua.

Kehadiran ini diakui memiliki arti penting dalam memperkuat perkembangan dinamika pastoral bagi masyarakat lokal yang telah lama terhubung dengan gereja Katolik. Bagi orang Melanesia, kunjungan ini tidak hanya simbolis , tetapi juga membawa harapan untuk pembaruan iman di tengah tantangan zaman.

Dalam keterangan tertulis yang diterima suarapapua.com, Selasa (3/9/2024), ketua Tim Kerja Dapur Harapan menjelaskan, Paus Fransiskus akan hadir pada 8 September 2024, menandai 180 tahun sejak Tahta Suci Vatikan mengeluarkan dokumen penting yang menentukan arah dan masa depan Gereja Katolik di kawasan Melanesia dan Mikronesia. Dokumen bersejarah ini, Ex debbito Pastoralis, dikeluarkan pada 19 Juli 1844 oleh Paus Gregorius XVI dari Roma, yang mendirikan Vikariat Mikronesia dan Vikariat Melanesia, menjadi dasar penting bagi perkembangan misi Katolik di wilayah tersebut.

ads
Baca Juga:  Pdt. Yemima Krey: Mama-Mama Papua Tidak Kosong Datang Ikut Aksi Jalan Salib

Kedua vikariat tersebut mencakup wilayah yang luas, membentang dari 125 derajat Bujur Timur hingga 160 derajat Bujur Barat, meliputi Nova Guinea (Papua), Tobbia, William, Kepulauan Schouten eLanden, Vesset, Timollant, Ariou, serta sejumlah wilayah lainnya.

Dibeberkan, secara historis, West Papua merupakan bagian integral dari Melanesia. Namun, dalam administrasi pemerintahan, selama 60 tahun terakhir, wilayah ini telah menjadi bagian dari Indonesia. Saat ini, West Papua terdiri dari enam daerah otonom baru (DOB), yaitu provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya.

Kehadiran Sri Paus ini melanjutkan kebijakan yang telah dicanangkan oleh pendahulunya. Salah satu tokoh misionaris penting dalam sejarah ini adalah Cornelis Le Cocq d’Armandville. Ia tiba di kampung Sekru, Fakfak, 22 Mei 1894. Setahun kemudian, tepat pada 1 Mei 1895, ia mendirikan pos misi pertama di pulau Bonyom, kampung Bronkendik, Fakfak.

“Misi ini kemudian diteruskan oleh Kongregasi Hati Kudus Yesus (MSC) setelah Pastor Le Cocq meninggal dunia pada 27 Mei 1896 di kampung Kipia Mapar, Mimika Barat. Misionaris MSC mulai aktif di Merauke pada 14 Agustus 1905, dan kini telah berusia 119 tahun. Selain berkarya di Selatan Papua, MSC juga meluaskan jangkauannya ke wilayah Asmat, Mimika, Babo, Kaimana, Fakfak, Manokwari, dan Jayapura, yang merupakan bagian dari misi perintisan mereka di masa-masa sulit,” ungkap Ukago.

Kemudian, mengingat luasnya kebun sagu dan petatas Tuhan, sehingga mereka mengundang saudara-saudara dari komunitas Fransiskan (OFM) di Belanda untuk melayani di bagian utara Nueva Guinea. Pada tahun 1937, Fransiskan mulai memasuki tanah misi ini. Kemudian, Ordo Santo Agustinus (OSA), sebelum memfokuskan pelayanan mereka di wilayah Kepala Burung, Sorong, dan sekitarnya, telah bekerja di Keerom pada 1950-an. Terakhir, Ordo Salib Suci (OSA) diundang oleh MSC di Merauke untuk fokus melayani umat di wilayah Asmat dan sekitarnya. Daerah lumpur menjadi tantangan utama bagi komunitas ini. Mereka aktif sejak 1950-an hingga awal 2000-an.

Baca Juga:  Pastor Bunay: Kita Menabur Karena Tuhan Tidak Tutup Mata untuk Papua

Semua komunitas ini bagaikan saudara kandung, berasal dari satu ibu, tinggal dalam satu rumah, dan bekerja di ladang yang sama. Mereka mengalami tidur, bangun, makan, dan minum bersama, serta merasakan suka dan duka secara bersama-sama.

Mereka semua bagaikan saudara kandung, berasal dari satu ibu, tinggal dalam satu rumah, dan bekerja di ladang yang sama. Mereka bersama-sama menjalani kehidupan sehari-hari—tidur, bangun, makan, dan minum— serta mengalami suka dan duka secara bersama.

Satu sama lain saling melengkapi, mendukung, menolong, dan menghormati. Dalam kerendahan hati Allah, mereka menyebarkan kasih dan karya keselamatan. Wajah Gereja hari ini adalah hasil dari perjuangan dan pengorbanan orang-orang di masa lalu, termasuk para perintis.

Tak ada yang kebetulan. Semua terjadi menurut kehendak Allah. Allah menghendaki Paus Gregorius XVI membuka lahan misi ini. Allah pula yang menginginkan Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville dan Henri Nollens serta rekan-rekannya memasuki tanah misi. Allah yang sama, setelah mengutus banyak orang, kini menghendaki Paus Fransiskus untuk bersentuhan dengan tanah leluhur orang Melanesia.

Jika pada abad ke-3 Masehi Yesus Kristus meletakkan dasar misi keselamatan Allah kepada Santo Petrus, yang menjadi Paus pertama di Roma, maka Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville meletakkan misi Apostolik yang sama di pundak umat Papua sekitar 130 tahun yang lalu.

Baca Juga:  Amnesty Internasional: Pembebasan Pilot Philip Merupakan Momen Penting di Tengah Konflik di Papua

Dikemukakan, bagi umat Katolik di Papua, kunjungan ini bukan sekadar kunjungan apostolik. Lebih dari itu, kunjungan ini diharapkan dapat menguatkan iman, harapan, dan keselamatan dalam Yesus Kristus.

“Umat Katolik di Tanah Papua telah lama menantikan kehadiran Paus Fransiskus dengan harapan besar untuk melihat dan menerima berkat dari dekat. Meskipun jarak dari kota Jayapura ke Vanimo hanya sekitar 97 kilo meter, yang dapat ditempuh dalam waktu sekira dua jam dengan kendaraan, banyak umat yang menghadapi kesulitan akses informasi dan terkendala biaya pembuatan paspor dan visa. Hal ini menyebabkan kehadiran Bapa Suci hanya akan menyisakan kesedihan bagi mereka yang tidak mampu dan sulit mendapatkan akses,” tulisnya.

Terakhir, semua umat berharap dapat memperoleh berkat khusus dalam kunjungan ini.

“Kami berharap pemerintah dapat mempertimbangkan doa, kerinduan, dan harapan umat untuk melihat Paus dari dekat. Semoga kehadiran Sri Paus dapat memulihkan jejak kaki para leluhur di tanah ini dan menyegarkan benih-benih iman yang telah lama layu. Semoga kesejukan dan kedamaian hati Yesus terasa di kawasan Melanesia di tengah ancaman pemanasan global. Salam “Satu Papua Satu Katolik, Satu Katolik Satu Papua,” tulis Tim Kerja Dapur Harapan, yang selama ini fokus meneliti dan menulis tentang sejarah perkembangan misi Katolik di Tanah Papua. []

Artikel sebelumnyaDewan Adat Suku Ambel Tidak Akui AFU Sebagai Anak Adat
Artikel berikutnyaAmnesty Internasional Desak Paus Fransiskus Hentikan Pelanggaran HAM di Papua dan Intoleransi