Musa Boma (depan, mengenakan topi merah) bersama sejumlah warga masyarakat sedang mengangkut potongan kayu besar dari tengah lapangan terbang Kapiraya, Papua Tengah. (Ist)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tiga pemerintah kabupaten (Pemkab): Mimika, Dogiyai, dan Deiyai, bersama penjabat gubernur Papua Tengah diminta segera selesaikan persoalan di Wakiya, distrik Kapiraya, baik kasus pertambangan emas ilegal yang berujung konflik maupun polemik tapal batas.

Demikian dikemukakan Musa Boma, ketua tim peduli alam dan manusia Kapiraya sekaligus tokoh pemuda Papua Tengah, sebagaimana rilis pers, Sabtu (7/9/2024).

“Penjabat gubernur Papua Tengah ibu Ribka Haluk tolong seriusi masalah ini. Kami minta segera undang penjabat bupati Dogiyai bersama DPRD Dogiyai, penjabat bupati Deiyai bersama DPRD Deiyai, dan penjabat bupati Mimika bersama DPRD Mimika, lalu datang selesaikan tiga persoalan besar yang dibuat oleh kepala desa Wakiya Frederikus M Warawarin bersama kepala suku Kamoro Kosmas Roy Taponamo. Kami tidak mau masalah ini berlanjut,” ujar Musa.

Disebutkan tiga masalah itu yakni aksi pemalangan bandar udara Kapiraya, belum adanya kejelasan tapal batas, dan masuknya perusahaan pertambangan emas ilegal atas izin oknum berkepentingan tertentu.

Baca Juga:  Rapat Pemprov Bersama Tiga Pemkab Tak Singgung Akar Masalah Kapiraya

Sebelum ketiga kepala daerah bersama gubernur menuju ke Kapiraya, diharapkan segera berkoordinasi dengan pihak kepolisian.

ads

“Pemerintah datang harus bersama polisi supaya dua pelaku utama itu ditangkap dan dihadirkan di Kapiraya. Mereka dua harus mempertanggungjawabkan semua kasus yang dibuatnya selama ini,” tegasnya.

Musa Boma mengklaim pengorbanan harta benda bahkan nyawa manusia ulah dari kepala desa Wakiya bersama kepala suku Kamoro.

“Kalau tidak tangkap kedua pelaku dan tidak hadirkan berarti persoalan ini pemerintah yang piara.”

Ditegaskan, masalah bisa selesai bila pemerintah bersama pihak kepolisian tangkap kedua pelaku utama itu.

“Kami sangat lucu dengan tindakan dari kepala desa Wakiya yang mengklaim diri sebagai pemilik wilayah seakan-akan ini tanah di Tual Dobo sana. Stop kepala batu di atas tanah adat kami,” ujar Boma.

Selama dua pelaku utama tidak diamankan, pihaknya menilai tak ada artinya dengan keberadaan pemerintah. Bahkan kepemimpinan mereka dianggap gagal total untuk menyelesaikan persoalan perusahaan ilegal yang didatangkan oleh kepala desa bersama kepala suku Kamoro di Kapiraya.

Baca Juga:  Ribuan Umat Yegoukotu Hadiri Peletakan Batu Pertama Tugu Peringatan Injil Masuk Meeuwodide

“Kalau pemerintah kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai, bersama penjabat gubernur Papua Tengah tidak selesaikan masalah perusahaan ilegal ini, dan masalah tapal batas, lalu terjadi masalah lanjutan berarti kalian yang tanggung jawab,” tandasnya.

Menanggapi kejadian baru-baru ini di kampung Wakiya, distrik Kapiraya, Gregorius Okoare, ketua Lembaga Masyarakat Adat Kamoro (Lemasko), setuju untuk dibicarakan semua pihak agar mengakhiri polemik berkepanjangan.

Dengan duduk bersama, ia yakin duduk masalah akan jelas untuk tidak terjadi hal sama di kemudian hari.

“Saya ajak saudara kami dari wilayah gunung baik Deiyai dan Dogiyai bersama pemerintah daerah harus duduk bersama dengan masyarakat Mimikawee atau suku Kamoro dan pemerintah kabupaten Mimika. Pemerintah provinsi Papua Tengah fasilitas hal ini segera terjadi. Duduk bicara dan selesaikan,” ujar Gerry, sapaan akrab Gregorius Okoare, dilansir timikaexpress.id, Kamis (5/9/2024).

Baca Juga:  Mau Tancap Tapal Batas, Tiga Pemkab Bersama Pemprov dan MRP PT Diundang ke Wakiya

Menurutnya, langkah penyelesaian sangat penting dilakukan segera mengingat saat ini sudah dalam tahapan Pilkada serentak tahun 2024. Ia mau semua pihak tetap jaga kamtibmas agar pesta demokrasi berlangsung dalam situasi aman.

Senada, Marianus Maknaipeku, tokoh masyarakat suku Mimikawee, menyatakan, soal tapal batas memang harus diselesaikan dengan cara santun oleh suku Mee dan Mimikawee sebagai sesama anak adat.

“Kita semua anak adat. Tidak boleh dengan cara kekerasan, selesaikan masalah harus dengan cara damai. Tapal batas wilayah adat dan tapal batas wilayah administrasi pemerintahan itu harus libatkan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Ada aturan yang berlaku di negara Indonesia. Pakai aturan itu untuk selesaikan permasalahannya,” ujar Marianus.

Kedua tokoh adat juga sepakat, pemerintah kabupaten bersama pemerintah provinsi mesti cermat terhadap persoalan ini mengingat potensi konflik cukup besar apalagi di daerah tapal batas terdapat kekayaan emas. []

Artikel sebelumnyaDeklarasi Tanah Injil, Perempuan Kebar: Gereja Harus Lawan Investasi!
Artikel berikutnyaPemuda Moi Salkma Dukung Keputusan MRP PBD