Aksi pembubaran dan penangkapan aktivis KNBP Wilayah Nabire, Papua Tengah, Senin (12/8/2024). (Supplied for Suara Papua)
adv
loading...

Oleh: Marselino W. Pigai*

*) Aktivis, koordinator Grup Aksi Amnesty Papua

“Z [saya] sakit, dapat pukul itu belum sembuh, seperti hari in [ini] lagi masih oo”.

Saya bertanya, “beratnya di bagian mana e?”

“Z [saya] sakit seluruh badan in [ini], juga kepala in [ini] yg [yang] susah jalan in [ini].”

ads

Begitu ekspresi jeritan yang diceritakan Sue (nama anonim) kepada saya dalam sebuah pesan melalui media sosial yang dikirimnya pada hari Rabu, 4 September 2024, Pukul 05.35 Waktu Papua.

Sakitnya belum selesai dan sembuh akibat pemukulan, interogasi selama kurang lebih 4 jam. Sue diperlakukan dengan tindakan tidak manusiawi oleh oknum aparat keamanan yang diduga empat orang: dua Brimob dan dua Polisi dalam sebuah mobil Brimob tertutup yang diangkut setelah pembubaran dan penangkapan di Siriwini, tepatnya jalan masuk KPR Siriwini, pada kegiatan aksi demonstrasi damai, 15 Agustus 2024.

Sue ditangkap di depan penulis. Aparat menargetkan, tetapi luput dari penangkapan termasuk penulis (sebagai aktivis kemanusiaan) dan kawan-kawan yang terlibat dalam aksi demonstrasi memprotes New York Agreement yang ditandai cikal bakal termasuk menerapkan paradigma rasialis terhadap bangsa Papua. Adanya pengabaian hak orang asli Papua sebagai subyek hukum dalam proses perumusan dan pembahasan sampai persetujuan pada 15 Agustus 1962 di New York, Amerika Serikat. Juga, bulan Agustus memiliki rekaman kemarahan bangsa Papua terhadap praktek rasisme. Karena itu menandai Agustus sebagai bulan rasisme.

Korban dan rusaknya demokrasi

Derita dan jeritan Sue harus dilihat dari perspektif yang lebih luas dalam kaitannya dengan gerakan jalannya demokrasi Indonesia.

Indonesia sendiri adalah negara yang digembar-gemborkan mempunyai tradisi dan sistem demokratis. Demokrasi tidak hanya urusan politik praktis pemilihan umum (Pemilu). Demokrasi juga menempatkan kebebasan berekspresi dan berpendapat, setidaknya sebagai elemen yang substantif dalam mengukur iklim sistem demokrasi. Karena itulah kebebasan berekspresi dan berpendapat ikut menandai berjalan maju-mundur, ada tiadanya atau hidup dan matinya sebuah demokrasi.

Baca Juga:  Apakah Kemerdekaan Republik Indonesia Berdampak Bagi Kehidupan Orang Asli Papua?

Tindakan pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat justru mencitrakan kontestasi demokrasi Indonesia yang buruk di mata publik, termasuk wilayah yang lebih luas di level dunia. Republika.co.id, 2023 merilis, pada kesimpulannya, indeks kebebasan berekspresi dan berpendapat belum ada perkembangan signifikan pada masa kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) periode kedua, bahkan justru menurun. Kesimpulan itu disampaikan berdasarkan hasil kajian selama lima tahun terakhir oleh SETARA Institute bersama INFID.

Berikut penjelasan sebagaimana dikutip dari Republika.co.id: “Kalau dibandingkan dengan akhir periode pertama Jokowi yang mencapai 1,9 atau tidak pernah mencapai angka dua, dan angka itu selalu turun terus-menerus,” kata Sayyidatul Insiyah, peneliti SETARA Institute, di kawasan Menteng, Jakarta, 11 Desember 2023.

Laporan lain, Amnesty Internasional Indonesia menerbitkan dengan judul “Meredam Suara, Membungkam Kritik Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia”. Secara khusus di halaman 51, setidaknya mencatat rekaman kekerasan fisik dan pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua.

Jika mengingat kembali (seperti juga tercatat dalam laporan yang sama, Amnesty International Indonesia) pada September 2019, ada gelombang gerakan yang melakukan aksi demonstrasi melibatkan ribuan mahasiswa, serikat buruh, aktivis, dan kelompok masyarakat sipil lainnya memberikan sinyal peringatan terhadap kemunduran demokrasi di Indonesia. Karena gerakan itu merespons demokrasi secara umum, tetapi sub elemen kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi problem berikutnya.

Demokrasi Indonesia menurun, artinya tidak sedang baik-baik atau menjadi sakit atau buruk. Sakitnya demokrasi diakibatkan karena sakit hati dan pikiran manusia. Kesakitan demokrasi karena kesakitan manusia yang menghidupkan demokrasi. Maka, esensinya demokrasi itu manusia, martabat manusia.

Baca Juga:  Rencana Jahat NKRI Kian Nyata Untuk Musnahkan Etnis Papua

Karena itu, jeritan kesakitan Sue memiliki korelasi yang kuat dengan kontestasi demokrasi dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum di Papua yang dampaknya pada level Indonesia.

Menegakkan atau menabrak aturan?

Sakitnya Sue diakibatkan karena sakitnya kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kesakitan itu hadir karena saluran ekspresinya dibatasi, bahkan disumbatkan. Keamanan nasional ataupun keamanan Kamtibmas di lingkungan dan saluran jalan yang digunakan massa aksi demonstrasi terganggu lalu lintas. Itu menjadi pilihan dalil-dalil yang dipergunakan aparat keamanan. Alasan semacam itu kerapkali belum ditunjukkan ketika tanpa negosiasi dibubarkan paksa, misalnya titik aksi Kalibobo dalam kasus penangkapan Sue.

Alasan itu manjadi tonggak penting mendudukkan aksi massa harus dibubarkan. Karena itu, saluran-saluran ekspresi pikiran dan hati nurani belum sehat dihadapi Indonesia dan Papua. Manusia disakiti misalnya aksi dalam kasus Sue, ada korban lainnya terkonfirmasi mengalami kejadian pemukulan, dirotan, distrom, bahkan ditembak peluru karet dan peluru timah.

Di titik aksi Siriwini, kelompok Sue ada 8 orang yang korban. Satu diantaranya kritis. Di titik lainnya, seperti Karang Tumaritis ada dua orang korban tembakan peluru karet yang mengenai tubuh bagian paha dan lainnya.

Menurut kesaksian korban, penangkapan, selama dalam perjalanan pengangkutan kendaraan terutama titik aksi Kalibobo, mendapatkan pemaksaan diam dengan pemukulan rotan, ketika menyanyikan yel-yel.

“Kami menyanyikan yel-yel ‘kami bukan merah putih, kami bintang kejora’, polisi menyuruh diam, pukul pake rotan”. Setiap kali yel-yel, polisi memukul dengan rotan sampai di Polres Nabire,” kata Yako, salah satu massa aksi menjelaskan kepada penulis pada saat dihubungi melalui telepon seluler, 16 Agustus 2024.

Adakah hukum yang membebaskan?

Jika ekspresinya disalurkan dengan benar pada ruangnya, jeritan Sue belum akan ada. Atau mencapai penumbuhan dari sisi kedudukan demokrasi dan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua. Saluran yang tersumbat karenanya memaksakan kesakitan.

Baca Juga:  Papua Sudah Lama Memikul Salib Derita Menuju Puncak Kemenangan Iman

Aparat keamanan dari Kepolisian Resor Nabire juga mengekspresikan mode penerapan dan menduduki kebebasan berekspresi adalah sesuatu yang seolah-olah menakutkan kedudukan negara. Perspektif itu menjustifikasi gerakan demonstrasi diseret kedalam pemahaman gerakan yang dilarang.

Karena itu, negara dalam wilayah praktek hukumnya berusaha mematikan pikiran dan perasaan mati sebagai manusia yang secara tubuhnya hidup. Bagaimana mungkin tidak akan disebut demokrasi yang tidak pingsan di Indonesia?

Karena itu, supaya berjalan dan mematikan berjalannya kebebasan demokrasi khusus berekspresi dan berpendapat, diperlukan peraturan perundangan-undangan yang harus bisa memastikan juga praktek dan penggunaan kekuatan aparat keamanan yang tidak berlebihan dan menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat secara damai sesuatu peraturan yang berlaku.

Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 25 UU memastikan, setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara memenuhi sesuai undangan-undangan, seperti diatur UUD tahun 1945, Pasal 28E ayat 3 menegaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi.

Karena itu, kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum sekurang-kurangnya dijamin Undang-undang nomor 39 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum. Sejalan juga dengan deklarasi hak asasi manusia di tingkat internasional. Seperti diatur melalui pasal 19 kovenan internasional tentang hak sipil dan politik, mengatur hak atas kebebasan berekspresi, pasal selanjutnya pada pasal 21 mengatur hak kebebasan berkumpul, termasuk pasal lainnya pada pasal 22 mengatur kebebasan berserikat. (*)

Artikel sebelumnyaInspektorat Lanny Jaya Turun Monitoring Penyerapan Dana Desa
Artikel berikutnyaTembak Mati Satu Anggota Polri dan Satu Intel di Lanny Jaya, TPNPB Mengaku Siap Bertanggungjawab