Mama Tabita Agia sedang menata Bia, siput di atas meja jualannya di pasar Remu, kota Sorong, Papua Barat Daya. (Maria Baru - Suara Papua)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Selama empat dekade, mama Tabita Agia dan Amida Bedori menggantungkan hidup mereka dari rawa-rawa di pesisir Sorong, Papua Barat Daya. Dengan tangan yang tak kenal lelah, mereka mencari Bia, siput rawa yang tersembunyi di antara akar-akar mangrove, demi satu piring makan dan masa depan anak-anak mereka.

Di tengah segala keterbatasan, hasil dari penjualan Bia mengubah nasib keluarga mereka, bahkan hingga menyekolahkan anak-anaknya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ini adalah kisah dua perempuan Kokoda yang tak pernah berhenti berjuang, meski senja kian menua di pasar Remu, Sorong.

Selama 40 tahun, mama Tabita Agia dan Amida Bedori menjalani hidup dari menjual Bia, siput yang hidup di rawa-rawa mangrove. Dari hasil kerja keras inilah mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka, bahkan ada yang berhasil menjadi PNS.

Sore itu, pasar Remu di Sorong dipenuhi dengan hiruk-pikuk aktivitas. Penjual ikan, kepiting, udang, dan Bia ramai menjajakan hasil buruan mereka. Matahari mulai tenggelam, dan orang-orang, baik yang datang dengan sepeda motor maupun berjalan kaki, berlalu lalang di dalam pasar. Pembeli —perempuan, laki-laki, tua, dan muda— berkumpul mencari kebutuhan mereka.

Di pasar ini, hampir semua barang bisa ditemukan: dari elektronik, alat masak, hingga buah-buahan dan daging. Namun, yang paling penting adalah kekuatan fisik untuk mampu berkeliling pasar yang besar ini. Pasar Remu bukan hanya tempat berdagang, tetapi juga tempat pertemuan masyarakat dari pagi hingga malam.

ads
Baca Juga:  Terkait Rekomendasi, Pencaker Minta Sekda PBD Pastikan Sistem Pendaftaran CPNS

Di tengah keramaian itu, mama Tabita dan Amida, dua perempuan yang sudah tidak muda lagi, terus bersemangat menata Bia di atas meja jualan mereka. Meski rambut mereka telah memutih dan kerutan menghiasi wajah, semangat mereka tak pernah pudar.

Setiap hari, tangan mereka yang lincah menata hasil tangkapan dengan senyuman, meski bau limbah plastik dan ikan menusuk hidung dan mengotori mata. Bagi mereka, semua itu bukan masalah selama Bia, udang, dan kepiting yang mereka jual laris manis.

Sehari-hari, mereka menjual Bia, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bia darat, siput yang hidup di hutan mangrove. Satu tumpukan Bia dijual seharga 20 ribu rupiah. Harga ini terbilang murah, mengingat perjalanan panjang yang harus mereka tempuh untuk mendapatkannya.

Mama Tabita dan Amida telah mencari Bia sejak mereka muda. Mereka tiba di Sorong pada tahun 1980-an tanpa pekerjaan atau pendapatan yang jelas, sehingga mencari Bia menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Begitu juga dengan mama-mama Kokoda lainnya yang mencari nafkah di kota ini.

“Saya sudah cari Bia sejak muda. Di Sorong ini, kami sudah lama hidup dari Bia, sejak tahun 1980-an,” kata mama Amida sambil menata hasil tangkapannya di pasar.

Baca Juga:  Infrastruktur Menjadi Kendala Pembangunan KEK Sorong

Dari hasil menjual Bia, kedua mama ini berhasil menyekolahkan anak-anak mereka. Beberapa di antaranya bahkan telah menjadi sarjana dan bekerja sebagai PNS di kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya.

Dalam sehari, mereka bisa mendapatkan penghasilan antara Rp200.000 hingga Rp300.000. Sebagian uang itu mereka tabung untuk biaya pendidikan anak-anak, sementara sisanya digunakan untuk kebutuhan makan dan minum di rumah.

“Dari hasil jual Bia, ada anak saya yang sekarang sudah PNS di Sorong Selatan. Memang tidak semua anak bisa sekolah sampai selesai, tetapi beberapa bisa. Itu sudah cukup membuat saya bahagia,” tutur mama Amida dan mama Tabita sembari senyum lebar.

Bia, udang, dan kepiting, hasil mencari dari mama Tabita dan Amida yang dibeli sebelum memulai wawancara dan pulang diolah untuk dikonsumsi sekeluarga. (Maria Baru – Suara Papua)

Mencari Bia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mama-mama Papua yang tinggal di pesisir laut. Sejak dalam kandungan, mama Tabita dan mama Amida telah diperkenalkan dengan aktivitas mencari Bia, kepiting, ikan, dan udang. Mereka berasal dari suku besar Kokoda, tepatnya dari distrik Kokoda di Sorong Selatan.

Setiap pagi, mereka keluar rumah untuk mencari Bia, udang, dan kepiting dengan berjalan kaki menyusuri rawa-rawa di sekitar bandar udara Domine Edward Osok (DEO) Sorong. Mereka sering mencari dalam kelompok kecil, dua hingga empat orang, membawa jaring di tangan dan noken di kepala atau di dada. Kaki mereka yang tidak beralas menjadi penopang kuat saat mereka menempuh perjalanan panjang berkilo-kilometer. Pinang di mulut menjadi teman perjalanan mereka menyusuri rawa-rawa hingga sampai ke pasar Remu di sore hari.

Baca Juga:  Pro Kontra Hak Kesulungan OAP, Tensi Pilgub Kian Memanas

“Kami keluar pagi-pagi, bawa jaring, noken, sedikit pinang, dan rokok. Kami jalan kaki sama-sama untuk mencari Bia.” kata mama Amida dan Tabita.

“Kadang kalau ada perahu, kami pakai perahu, kalau tidak, jalan kaki sampai tembus pasar Remu sore hari. Di sini, kami menata Bia, udang, dan kepiting di meja. Kalau laku, kami beli sagu atau beras, lalu bawa pulang ke rumah. Uang lainnya kami simpan untuk biaya sekolah anak-anak,” tuturnya.

Mama Tabita dan Amida adalah contoh dari mama-mama Papua yang hidup mandiri tanpa mengharapkan belas kasih dari pemerintah atau pihak lain. Bagi mereka, yang terpenting adalah memikirkan apa yang akan dimakan besok dan di mana mencarinya. Mereka adalah kekuatan dan masa depan rumah tangga, serta harapan bagi anak dan cucu di Tanah Papua.

Bia adalah sebutan lokal untuk siput kecil yang hidup di rawa-rawa hutan mangrove. Siput ini bisa diolah menjadi makanan lokal yang lezat dan bergizi. Biasanya, Bia dimasak dengan kuah kuning, santan, atau ditumis pedas. Masyarakat pesisir gemar mengonsumsinya dengan papeda atau nasi. []

Artikel sebelumnyaMRP Anak Kandung Otsus, KPU PBD Wajib Tunduk Pada Otsus
Artikel berikutnyaBuklet Umat Katolik Papua Kepada Paus: Kami Terancam Punah!