JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Dua anak Papua yang masih di bawah umur dari Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan yang ditangkap secara tidak manusiawi pada 22 Februari 2024 karena dituduh terlibat penembakan pesawat Wings Air jenis ATR seri 600 PK WJT pada 17 Februari 2024 di Bandara Udara Nop Goliat Dekai di Yahukimo akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Wamena pada 10 September 2024.
Mereka adalah Melianus Baye dan Beni Elopere yang berumur 16 tahun. Mereka ditahan berdasarkan Pasal 479f huruf a Junto Pasal 56 KUHP.
Melianus Baye masih duduk di kelas 2 SMP YPPGI di Yahukimo yang diberlakukan tidak manusiawi oleh satuan TNI yang melakukan Operasi Satgas Pamtas Mobile RI-PNG sejak tanggal 18 Agustus 2023.
Mersi F Waromi, Kuasa Hukum dari Perkumpulan Advokasi Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua mengatakan, penangkapan itu dilakukan sewenang-wenang yang mana menjadi bukti nyata kriminalisasi terhadap orang Papua masih terus dilakukan negara dalam hal ini pihak aparat keamanan di Yahukimo terhadap Melianus Baye dan Beni Elopere.
Waromi mengatakan, terdakwa Melianus Baye sebelum ditangkap diperlakukan tidak manusiawi oleh satuan TNI yang melakukan Operasi Satgas Pamtas Mobile RI-PNG sejak tanggal 18 Agustus 2023.
“Lengan tangan terdakwa Melianus Baye disayat-sayat dengan pisau saat awal mula ditangkap di kali Brasa. Kedua Terdakwa diperlakukan tidak manusiawi hingga dijemput oleh Kepolisian Resor Yahukimo,” kata Waromi dalam pernyataannya kepada Suara Papua pada, Kamis (12/9/2024).
Dikatakan, dalam interogasi selama satu minggu di Kepolisian Resor Yahukimo, kedua terdakwa dipukul, diikat kaki dan tangan, di strom [aliran listrik], disuruh mengakui melakukan penembakan terhadap pesawat.
Pengambilan keterangan itu kata dia dilakukan tanpa penasehat hukum dan kemudian diterbangkan ke Jayapura, selanjutnya dilanjutkan penahanannya di Rutan Polda Papua selama kurang lebih 4 bulan hingga bulan Juni 2024 dipindahkan ke Kejaksaan Negeri Jayawijaya dan disidangkan di Pengadilan Negeri Wamena sejak 25 Juni 2024 hingga putusan bebas pada 10 September 2024.
Waromi mengatakan, proses penangkapan dan penahanan terhadap dua anak Papua itu dilakukan tidak melalui prosedur, yang mana ditangkap pada 22 Februari 2024, sementara surat penangkapan diterbitkan pada 27 Februari 2024, lalu diperiksa pada 29 Februari hingga 23 Maret 2024.
“Saat pemeriksaan awal di Polres Yahukimo juga dilakukan tanpa didampingi penasehat hukum, identitas umur dipalsukan dengan umur 19 tahun, padahal kedua terdakwa baru berumur 16 tahun. Mereka ditahan di kepolisian selama 4 bulan dan baru disidangkan pada tanggal 25 Juni 2024 di Pengadilan Negeri Wamena.”
“Lalu keberatan/eksepsi terhadap surat Dakwaan Penuntut Umum telah diajukan oleh penasehat hukum atas dasar Dakwaan tidak jelas, tanpa mencantumkan tempat dan tanggal lahir dari para terdakwa dan hanya mencantumkan umur para terdakwa yaitu 19 tahun.”
“Atas pengajuan keberatan terhadap surat dakwaan Penuntut Umum, majelis hakim memberikan izin kurang lebih 3 minggu, sehingga kami melakukan pemeriksaan medis di Puskesmas Kota Wamena pada 26 Juli 2024 sebagai dasar pembanding.”
Namun demikian katanya, agenda eksepsi terbatas karena disesuaikan dengan masa tahanan sehingga majelis hakim melanjutkan agenda sidang pada sidang pembuktian. Dalam Pembuktian saksi dari Penuntut umum 10 orang 3 diantaranya saksi ahli namun yang diajukan dalam persidangan hanya 2 orang saksi dan satu orang ahli.
Saksi hadir secara daring yaitu anggota TNI dari kesatuan Marinir yang menangkap para terdakwa dan Manajer Wings Air di Yahukimo serta ahli dokter dari Rumah Sakit Bhayangkara Jayapura.
Sedangkan saksi meringankan dari para terdakwa sebanyak 3 orang yaitu saksi yang bersama-sama dengan para terdakwa, yang pada saat peristiwa penembakan pesawat di Dekai berlangsung kegiatan kampanye Pemilihan.
Selain itu Penasehat Hukum menghadirkan ahli forensik spesialis mulut dan gigi dari universita Padjajaran Bandung secara daring. Ahli Forensi mengatakan, pemeriksaan di rumah sakit Bayangkara Jayapura dan Puskesmas Kota Wamena adalah pemeriksaan klinis, pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan tahap awal yang tingkat akurasinya 50-60 persen, maka harus ada pemeriksaan radiograf yang tingkat akurasinya mencapai 90-100 persen.
Dari keterangan tersebut dihubungkan dengan saksi dari rekan terdakwa dan bukti surat ijazah ataupun kartu keluarga maka majelis hakim berpendapat para terdakwa masih berstatus anak-anak berumur 16 tahun, termasuk dari fisik kedua terdakwa.
Dengan demikian, Majelis Hakim yang diketuai Roy Eka Perkasa dan anggotanya Hakim I Junaedi Azis, serta hakim II Feisal Maulana dalam putusannya menyatakan Dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima.
Mereka memerintahkan mengembalikan berkas perkara Nomor 41 dan 42 kepada Penuntut Umum dan memerintahkan kedua terdakwa dibebaskan dari tahanan segera.
“Dengan Putusan Sela tersebut kami menyampaikan apresiasi kepada majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 41/Pid.Sus/2024/PN Wmn dan perkara Nomor 42/Pid.Sus/2024/PN Wmn pada Pengadilan Negeri Wamena yang telah berani menyatakan para terdakwa dibebaskan dari tahanan sesuai dengan fakta persidangan yang telah berjalan ditengah situasi politik Papua, di mana semua hal baik pertimbangan politik dikesampingkan guna menunjukan integritas pengadilan yang selayaknya memutus sesuai fakta dan kebenaran yang ditemukan di meja hijau.”
Henius Asso, kuasa hukum lainnya dari PAHAM Papua yang juga mendampingi terdakwa mengatakan bahwa dengan keputusan tersebut, ia meminta pihak Kepolisian maupun Kejaksaan dalam menangkap, menahan serta menuntut perlu berhati-hati dan penuh ketelitian agar tidak menyusahkan masyarakat seperti yang terjadi pada dau terdakwa anak-anak ini.
Ia mengatakan, keluarga korban akan menuntut ganti rugi dan rehabilitasi setelah inarch atas kerugian yang dialami para terdakwa selama proses hukum.
“Anak yang berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan dan hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Anak berhadapan dengan hukum berhak diperlakukan secara manusiawi dan terpisah dari orang dewasa, anak berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.”
“Anak yang berhadapan dengan hukum berhak bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakukan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan derajat dan martabatnya, anak berhadapan dengan hukum tidak akan ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat,” tukas Asso.
Oleh sebab itu kata dia putusan bebas ini menjadi pelajaran bagi public atau masyarakat umum agar berani menuntut keadilan jika terjadi penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil.