JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Andreas Harsono, Peniliti Senior dari Human Rights Watch berharap kepada Pemerintah Indonesia dan Selandia Baru bekerjasama bebaskan pilot Philips Mark Mehrtens, supaya bisa selamat, dan kembali ke keluarganya.
Hal itu disampaikan Harsono setelah adanya proposal pembebasan yang diajukan Markas Pusat KOMNAS TPNPB- Organisasi Papua Merdeka pada 17 September 2024.
“Mau tak mau, pihak Indonesia perlu lakukan jedah kekerasan serta membiarkan TPN-PB guna mengeluarkan [pilot] Mehrtens dari Nduga, naik pesawat terbang ke Jayapura,” ujar Harsono.
Kapten Philips Mark Mehrten ditahan pada 7 Februari 2023 oleh pasukan TPNPB Komando Daerah Pertahanan (Kodap) III Ndugama Derakma di bawah pimpinan panglima Brigjend Egianus Kogeya dan pasukannya ketika pilot tersebut menerbangkan pesawat Susi Air di Paro, distrik Paro, Kabupaten Nduga, Papua. Usai ditahan, pesawat yang diterbangkannya dibakar.
Persoalannya kata Harsono, pihak Indonesia dan TPN-PB sedang bersengketa, saling tidak percaya. TPN-PB minta agar ada saksi-saksi guna memastikan proses dikeluarkannya Mehrtens dari Nduga dan Jayapura.
Saksi-saksi tersebut termasuk beberapa tokoh Indonesia, misalnya, Alissa Wahid dari Gusdurian Network dan Usman Hamid dari Amnesty International.
Oleh sebab itu kata dia pihak Indonesia seyogyanya memberikan fasilitas kepada mereka guna datang ke Nduga.
“Bisa juga tokoh internasional macam Peter Prove dari World Council of Churches buat terbang dari Geneva ke Jayapura. Atau wartawan Kate Lamb terbang dari Jakarta ke Nduga,” tukasnya.
Namun demikian kata dia persoalannya, Indonesia sudah enam dasawarsa membatasi wartawan asing maupun pengamat internasional buat masuk ke Papua.
“Menteri Koordinator Keamanan RI, Hadi Tjahjanto perlu beri perhatian khusus buat mengatasi hambatan-hambatan hukum dan birokratis di Indonesia. Tjahjanto perlu memastikan ada saksi-saksi yang credible buat mengawasi proses pembebasan Mehrtens.”
“Ini juga kesempatan buat Indonesia menunjukkan kepada dunia luar bahwa mereka bisa bertanggungjawab buat lakukan proses damai – tanpa kekerasan—guna selesaikan sebuah persoalan kemanusiaan. Ia tentu langkah yang baik buat mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat Papua.”
Harsono mengatakan, orang asli Papua sudah enam dasawarsa mengalami rasisme, diskriminasi dan berbagai pelanggaran oleh negara Indonesia. TPN-PB ikut meningkatkan persoalan ini dengan menahan pilot.
Oleh sebab itu kedua pihak, dengan bantuan Selandia Baru, perlu berpikir dengan kepala dingin agar mengubah kesulitan ini menjadi kesempatan membangun kepercayaan di Papua Barat.
Sebelumnya, TPNPB – OPM mengajukan proposal mengenai proses pembebasan pilot asal Selandia Baru, Phillips Mark Mehrtens tanpa tuntutan apapun demi kemanusiaan. Proposal itu diumumkan pada 17 September 2024 dari Markas Komnas TPNPB-OPM.
Sebby Sambom, juru bicara TPNPB didampingi kepala staf umum TPNPB, Mayor Jenderal Terryanus Satto, mengatakan, pada hari ini, Selasa 17 September 2024 mengumumkan proposal pembebasan pilot asal Selandia Baru yang ditahan TPNPB-OPM Kodap III Ndugama Derakma.
“Pada hari ini tanggal 17 September 2024, sesuai dengan janji kami [maka kami] mengumumkan proposal pembebasan pilot asal Selandia Baru yang ditahan TPNPB pada 7 Februari 2023,” kata Sebby dalam pernyataannya dalam video pendek berdurasi 3 menit 13 detik, Selasa (17/9/2024).
Proposal pembebasan itu diumumkan, kata Sebby, usai melalui proses komunikasi dengan pimpinan TPNPB Kodap III Ndugama Derakma. Kata dia komunikasi itu dilakukan pihaknya sebanyak 4 kali.
“Karena kami menyetujui menyepakati bahwa kita akan membebaskan pilot [Selandia Baru] demi kemanusiaan dan tanpa syarat. Panglima Egianus Kogeya dan pasukannya telah mencabut semua tuntutannya hanya untuk membebaskan pilot ini tanpa syarat,” pungkas Sebby.
Sejak proposal pembebasan pilot asal Selandia Baru itu diajukan, belum ada respon dari Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam.