JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Human Rights Monitor (HRM) merilis laporan terbaru terkait pengungsi internal atau Internal Displace People (IDP’s) dari sejumlah Kabupaten di Tanah Papua. Hingga September 2024, lebih dari 79.867 orang di Papua Barat masih menjadi pengungsi internal akibat konflik bersenjata antara aparat keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Pengungsian internal baru antara Juni dan Agustus 2024 dilaporkan terjadi di Kabupaten Maybrat dan Puncak.
Menurut HRM, di Kabupaten Paniai, tidak semua pengungsi internal kembali ke rumah mereka setelah mengungsi akibat serangan aparat keamanan di Distrik Bibida pada April 2024.
Para pengungsi yang memutuskan untuk kembali ke kampung mereka menghadapi kehadiran militer yang luar biasa dan pengawasan dari aparat keamanan.
Di Kabupaten Paniai, anggota aparat keamanan berupaya mendirikan pos-pos keamanan baru di dekat kampung-kampung adat, sehingga meningkatkan potensi terjadinya bentrokan bersenjata di dekat pemukiman warga sipil dan pelanggaran HAM terhadap warga.
Mantan pengungsi dari Maybrat melaporkan bahwa mereka harus hidup di bawah pengawasan militer setelah kembali ke kampung halaman mereka, sementara fasilitas pendidikan dan kesehatan belum sepenuhnya berfungsi.
Sementara Pemerintah Indonesia terus menyangkal keberadaan pengungsi di Papua Barat, gereja-gereja di Indonesia telah mengambil inisiatif untuk meneliti situasi para pengungsi. Hasilnya dipublikasikan pada awal September 2024.
Pemantau HAM belum mendapatkan informasi terbaru mengenai kondisi dan jumlah pengungsi internal di Kabupaten Pegunungan Bintang, Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Fakfak, dan Puncak dalam tiga bulan terakhir.
Pada bulan September 2024, Konferensi Waligereja Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mempublikasikan hasil penelitian bersama mengenai pengungsi internal di Papua Barat.
Penelitian ini dilakukan oleh sekelompok peneliti dari berbagai bidang, termasuk migrasi, sosial-politik, hukum dan keadilan sosial, agama, dan kemanusiaan. Data dikumpulkan pada Juli-Agustus 2024 dan diperoleh secara langsung dari 70 IDP, yang semuanya adalah penduduk asli Papua.
Penelitian ini mengidentifikasi empat kesulitan utama yang mereka hadapi adalah kurangnya makanan (97 persen), perawatan kesehatan (87 persen), faktor ekonomi/mata pencaharian (81 persen), dan hilangnya akses ke pendidikan gratis (90 persen).
Beberapa bantuan diberikan oleh kelompok gereja (30 persen), keluarga/kerabat (29 persen), dan/atau 24 persen dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau kelompok solidaritas. Dukungan pemerintah daerah dilaporkan sangat rendah.
Setelah lebih dari tiga tahun, separuh dari responden melaporkan tidak menerima bantuan apa pun. Oleh karena itu, dua pertiga dari para pengungsi menyebutkan bahwa mereka tidak merasa aman dalam situasi mereka saat ini.
Semua responden menyebutkan ‘konflik bersenjata’ sebagai penyebab utama pengungsian mereka (100 persen).
Ketakutan disebutkan oleh 97 persen dari semua responden. Sebanyak 41 persen keluarga pengungsi melaporkan bahwa mereka diintimidasi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan 39 persen responden mengungkapkan bahwa keluarga mereka terancam secara langsung.
Para responden IDP melaporkan bahwa rata-rata masa pengungsian mereka adalah lebih dari tiga tahun, termasuk periode antara satu hingga dua tahun berpindah-pindah di hutan dengan berjalan kaki.
Para responden IDP melaporkan bahwa mereka menghabiskan waktu 1-2 tahun dalam pengungsian di hutan, biasanya dengan berjalan kaki dalam jarak yang jauh. Sekitar dua pertiga dari responden selalu berpindah-pindah atau tidur di tempat terbuka atau di bawah tenda/terpal.
Pertimbangan utama yang mempengaruhi para pengungsi untuk kembali adalah masalah ekonomi dan mata pencaharian jika mereka kembali ke desa mereka (53 persen), dan kurangnya keamanan di desa asal mereka (70 persen). Sebanyak 39 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak akan kembali karena adanya ancaman dari pihak-pihak yang berkonflik.
Penelitian ini menggambarkan bahwa pengungsian internal telah menjadi masalah kronis di Papua Barat, mengingat durasi dan intensitas pengungsian. Orang-orang yang diwawancarai rata-rata telah mengungsi selama lebih dari tiga tahun.
Beberapa dari mereka tinggal di tempat penampungan di hutan selama lebih dari 16 bulan dalam kondisi kehidupan yang buruk (97 persen melaporkan tidak memiliki cukup makanan), menghadapi trauma psikososial dan kerentanan (66 persen responden merasa tidak aman di tempat pengungsian saat ini).