BINTUNI, SUARAPAPUA.com— Pemerintah daerah Merauke dan Negera Indonesia diminta untuk segera menghentikan aktivitas Proyek Strategi Nasional (PSN) Swasembada Gula dan Bio Etanol serta program cetak sawah yang dinilai merampas hak hidup masyarakat adat dan menghilangkan hak adat atas hak ulayat marga Moiwend, Gebze, dan Kwipalo di Merauke, Papua Selatan.
PSN perkebunan tebu, industri gula, Bioetanol dan program cetak sawah yang akan merampas jutaan haktar tanah milik marga Moiwend, Gebze, dan Kwipalo di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
PNS tersebut telah menuai berbagai penolakan dari aktivis hak asasi manusia, aktivis lingkungan dan masyarakat adat suku Maklew di Merauke.
Melihat persoalan perampasan dan pencaplokan terhadap tanah masyarakat adat di Merauke terus masif tanpa melihat dampak lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat adat, maka Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Rakyat (AMPERA PS) turut bersuara dan menyikapi masalah tersebut.
Ambrosius Nit, Ketua AMPERA PS minta agar Pemerintah Merauke, pemerintah pusat dan PT. Jhonlin Grup menghentikan aktivitas PSN di Merauke.
Menurutnya, aktivitas pembongkaran hutan marga Gebze dan Moiwend melanggar hak-hak masyarakat adat. Selain itu, tidak ada proses persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksa dengan marga Moiwen dan Gebze sebagai pemilik hak ulayat.
Perusahan tidak berikan ruang untuk dua marga tersebut menentukan pendapatnya tentang terima atau tolak.
“Kami Aliansi Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua Selatan mendesak pemerintah agar segera menghentikan pembongkaran hutan adat milik marga Gebze dan Moiwend karena tidak melalui proses PADIATAPA dan jelas-jelas telah melanggar hak-hak masyarakat adat dan ini merupakan penyerobotan dan penggelapan tanah Adat.”
“Sehingga kami mendesak kepada pemerintah agar melindungi dan menghormati hak-hak kesulungan masyarakat adat, khususnya marga Moiwend dan Gebze,” kata Ambrosius.
Ia lalu mengatakan bahwa pihaknya dari AMPERA PS siap kawal perjuangan marga Gebze dan Moiwend bersama LBH Papua, serta para aktivis lingkungan lainya untuk berjuang mempertahankan hak-hak masyarakat Adat.
Ia mengajak masyarakat Papua dan Indonesia untuk mengawal perjuangan masyarakat marga Gebze, Moiwend dan Kwipalo untuk menolak kehadiran perusahan yang masuk dalam PSN yang terbukti melanggar hak-hak masyarakat adat Papua.
Hal serupa disampaikan, Frederikus Stanislaus Awi, anggota AMPERA-PS. Ia mengatakan tindakan yang dilakukan PT. Jhonlin Grup merupakan bentuk perampasan hak masyarakat adat marga Gebze dan Moiwend di distrik Ilwayab Kabupaten Merauke yang mana telah merusak sumber mata pencaharian masyarakat adat marga Gebze dan Moiwend serta merusak alam yang Allah telah ciptakan dan titipkan kepada luluhur marga Moiwend dan Gebze di wilayah adatnya.
Pemerintah pusat, daerah dan provinsi maupun kabupaten harus segera menghentikan pembongkaran hutan yang saat ini sedang dilakukan oleh PT. Jhonlin Grup di hutan adat milik marga Gebze dan Moiwend, karena telah melanggar hukum dan hak-hak masyarakat adat marga Gebze dan Moiwend.
“Pemerintah pusat dan daerah baik provinsi maupun kabupaten juga harus segera mencabut izin dan hentikan semua aktivitas PT. Jhonlin di atas tanah adat milik marga Moiwend dan Gebze,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan salah satu kasus yang lagi viral saat ini adalah terkait penanaman patuk yang di lakukan oleh PT. Murni Nusantara Mandiri di atas tanah marga Kwipalo di Jagebob Merauke.
Menurut Stanis, tindakan sepihak tersebut merupakan penyerobotan tanah masyarakat adat marga Kwipalo.
“Penanaman patuk tersebut tanpa sepengetahuan pemilik tanah yaitu masyarakat adat marga kwipalo, maka kami meminta kepada pemerintah dan pihak PT. Murni Nusantara Mandiri agar segera mencabut patuk ilegal yang sudah ditanam.”
“Kami juga menegaskan kepada PT.Murni Nusantara Mandiri agar segera angkat kaki dari tanah milik marga Kwipalo, karena Marga Kwipalo tidak perna mengijinkan PT. Murni Nusantara Mandiri untuk beroperasi di atas tanah adatnya,” pungkasnya.
Perlu diketahui bahwa marga Moiwend dan Gebze sendiri telah menyurati keuskupan Agung Merauke untuk  meminta uskup menyuarakan penyerobotan dan penggusuran paksa yang dilakukan oleh PT. Jhonlin Grup atas hutan dan tanah adatnya karena sampai saat ini pemerintah Merauke tidak menggubris suara masyarakat adat.