PolhukamDemokrasiSeptember Hitam Dalam Akumulasi Pitam Mengingat Catatan Kelam Negara

September Hitam Dalam Akumulasi Pitam Mengingat Catatan Kelam Negara

Editor :
Elisa Sekenyap

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— September Hitam Dalam Akumulasi Pitam adalah ruang pertemuan, penyampaian pesan–keresahan, protes, kegusaran hingga amarah yang dimiliki setiap elemen rakyat.

Perwakilan Tim Kerja September Hitam Dalam Akumulasi Pitam, Azstra Jingga dalam pernyataanya, pada, Sabtu (28/9/2024) mengatakan, ruang ini milik bersama sebagai langkah praksis untuk mengingat dan menolak lupa atas keresahan hingga kemarahan yang timbul akibat penindasan yang dilakukan oleh Negara.

Hal ini dilakukan karena dinilai telah terjadi kemunduran demokrasi yang nyata di dua dekade pasca reformasi.

“Dimana kehidupan semakin terperosok karena pembajakan negara oleh oligarki dan aktor lain yang tidak bertanggung jawab. Ironisnya, pemerintah justru lebih tertarik untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai strategi politik praktis—termasuk membangun dinasti politik yang berakibat pada melanggengnya impunitas,” kata Azstra Jingga.

Berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mengancam keamanan dan kenyamanan warga dibiarkan bergulir tanpa kejelasan peradilan. Belenggu impunitas memang benar masih menjerat rakyat Indonesia.

Terutama kata dia kasus-kasus pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia masa lalu yang terjadi pada bulan September, seperti Tragedi 65 (September 1965), Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984), Tragedi Semanggi II (24 September 1999), hingga Kematian Munir (7 September 2024).

Baca Juga:  Keluarga Korban Desak Polda Papua Tangkap dan Adili Pelaku Penembakan Tobias Silak di Dekai

Kasus-kasus ini kata dia hingga saat ini belum terselesaikan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan transisional.

Ia juga mengatakan terkait penyelesaian oleh negara yang masih jauh dari kebutuhan korban dan keluarga di masa lalu, turut berimbas pada terjadinya keberulangan atas kekerasan negara, seperti terjadinya peristiwa, di antaranya;

  1. Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015);
  2. Kekerasan terhadap massa aksi Reformasi Dikorupsi hingga dibunuhnya Randi dan Yusuf (23-26 September 2019);
  3. Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua (19 September 2020); hingga pada
  4. Pembantaian di Stadion Kanjuruhan (01 Oktober 2022).

Hal yang terbaru, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi bukti sarat konflik kepentingan dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.

Hal ini kata dia menjadi sirine pembukaan gerbang desakan warga untuk merebut hak-hak dan ruang demokrasi kembali dari tangan para oligarki. Termasuk tragedi atas nama negara tentang pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) turut menghitamkan September.

Baca Juga:  Amnesty Internasional: Pembebasan Pilot Philip Merupakan Momen Penting di Tengah Konflik di Papua

Pada 7 September 2023, Indonesia menyaksikan penggusuran paksa warga Pulau Rempang-Galang yang berujung pada kriminalisasi 34 warga Rempang dalam usaha mereka mempertahankan ruang hidup. Intimidasi, ancaman dan kekerasan terjadi kembali di Pulau Rempang pada 18 September 2024 yang mengakibatkan 3 warga mengalami luka ringan hingga luka berat.

Aksi September Hitam Dalam Akumulasi Pitam di Jakarta yang menunjukkan korban pelanggaran HAM yang belum diselesaikan negara. (Supplied for SP)

Gagalnya negara dalam mengemban kewajiban terhadap HAM mengakibatkan pada keberulangan kekerasan yang terus terjadi hingga pada kebalnya pelaku terhadap hukum.

“Oleh sebab itu, untuk terus menagih pertanggungjawaban negara, kita harus mengupayakan untuk terus mengingat, merawat ingatan atas berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan negara dan kroni-kroninya dan menimpa banyak korban. Kita memanifestasikan segala rasa atau emosi yang timbul dalam sikap,” kata Azstra Jingga.

Berangkat dari hal tersebut, “kami berupaya menciptakan ruang yang dapat mempertemukan segala rasa–resah, protes, gusar, hingga amarah–yang dimiliki setiap individu. Manifestasi tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu Gigs Jalanan, Streetwear Fashion Show, dan Pameran Seni,” ujarnya.

Baca Juga:  Deklarasi Tanah Injil, Perempuan Kebar: Gereja Harus Lawan Investasi!

Melalui medium tersebut, Tim Kerja September Hitam Jakarta menyatakan sikap:

  1. Mendukung dan akan selalu bersolidaritas, baik kepada korban maupun keluarga korban kekerasan negara;
  2. Menolak segala bentuk kekerasan, perampasan ruang hidup, eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, dan segala bentuk penindasan atas nama negara;
  3. Mengutuk keras semua tindakan yang menciptakan konflik horizontal antara rakyat;
  4. Mengecam semua kerja-kerja politik negara yang merugikan rakyat;
  5. Bahwa semua ruang adalah arena ekspresi rakyat tanpa terkecuali;
  6. Menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk terus melakukan protes baik secara persuasif maupun konfrontatif.

Aksi September Hitam yang agendanya digelar di Skate Park Dukuh Atas, Jakarta Selatan pada, Sabtu (28/9/2024) yang direncanakan dimulai pukul 11.00 WIB, namun dibubarkan paksa aparat.

Sekitar pukul 15.00 WIb massa yang sudah berkumpul digiring mundur ke stasiun Sudirman.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.