JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jayapura ST.Efrem menyatakan pernyataan Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi yang mendukung perusahaan atas nama Program Strategis Nasional (PSN) di Merauke Papua Selatan bertentangan dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK), Ajaran Sosial Gereja (ASG), Ensiklik Laudato Si (Ensiklik apostolik pertama yang membicarakan tentang ibu bumi sebagai rumah bersama) dan kunjungangan Paus Fransiskus di Indonesia.
Dengan pernyataan dan sikap Uskup Agung Merauke tersebut, PMKRI mengganggap Uskup Merauke telah merusak wibawa gereja Katolik di Indonesia, khususnya di Tanah Papua.
Yasman Yaleget, Ketua Presidium PMKRI Cabang Jayapura ST. Efrem mengatakan, persoalannya terletak pada tanah adat milik masyarakat adat dari klen Gebze, Mahuze, Moiwend dan lainnya di Kampung Wanam, distrik Ilyawab, dan kebun tebu di distirk Tanah Miring Merauke, Provinsi Papua Selatan yang implementasikan program strategis nasional.
Pelaksanaan program strategis nasional kata Yaleget mayoritas masyarakat tidak perna menyerahkan tanah adatnya kepada pihak perusahaan, melainkan diserahkan oleh sekelompok masyarakat yang dekat dengan elit politik lokal.
Belakang setelah diketahui bahwa mayoritas masyarakat tidak pernah menyerahkan tanah kepada perusahaan, maka menimbulkan protes dari berbagai pihak.
“Masyarakat adat yang juga notabenenya umat Katolik Keuskupan Agung Merauke datang ke kantor Keuskupan guna melakukan dialog dengan Uskup Mandagi untuk meminta dukungan, akan tetapi Uskup tidak menerima mereka,” kata Yaleget.
Kata Yaleget Uskup malah menyarankan kepada pastor John Kandam agar bertemu dengan masyarakat yang mendatanginya. Sementara, ketika giliran yang datang adalah perwakilan pemerintah, perusahaan, masyarakat dan elit politik lokal, Uskup Agung menerima dengan terbuka.
“Lalu kemudian mengeluarkan pernyataan kontroversial di media massa, sebagaimana beredar dalam video berdurasi 3.37 menit dengan judul: “Cetak Sawah Untuk Karena ini proyek kemanusian.”
“Memanusiakan orang dengan pertanian, pertama tentu memanusiakan juga masyarakat yang ada di Papua maka kami gereja punya tujuan untuk memanusiakan orang, bukan mengkatolikan orang, maka tentu selaras, kami mendukung karena punya fondasi yang sama yakni kemanusiaan di utamakan,” sebagaimana pernyataan Uskup Agung Merauke pada waktu itu.
Lanjut Uskup, bukan perusahan-perusahan datang ke sini lantas menghancurkan manusia Papua. Tidak boleh justru memanusiakan dan orang Papua pasti sayang kalau perusahaan-perusahaan proyek-proyek datang untuk memanusiakan, cuma ya sering kali rakyat ditipu bahkan ditipu oleh orang Papua sendiri oleh pejabat-pejabat Papua.
“Ya proyek ini adalah proyek kemanusian dan orang Papua adalah manusia, mereka bukan binatang bukan monyet sering kali dulu berkelahi di Surabaya bilang monyet. Saya marah sekali itu tidak boleh ya, jadi ini memang proyek kemanusiaan, kalau proyek kemanusiaan berarti mengangkat martabat manusia tetapi dengan sarana pertanian. Jadi pertanian itu cuma sarana bukan tujuan, tujuan kita adalah memanusiakan.”
“Supaya ada pertanian orang bisa makan, orang bisa sehat, orang bisa bergembira karena tanahnya di kelola dan sebagainya, dan sebagainya. Jadi ini yang menyebabkan saya sangat menyetujui,” umgkap Uskup.
“Jadi hati-hati yang mengatakan bahwa proyek ini menghacurkan orang Papua, menghancurkan tanah orang Papua. Hati-hati orang-orang yang berteriak ini pada umumnya mereka sudah dapat uang. Sekolompok orang ya, saya juga sudah tahu kalau saya bongkar juga mereka malu dan sebagainya,” berikut beberapa pernyataan Uskup.
Jhonny Kosamah, Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Jayapura ST.Efrem menyatakan bahwa pernyataan Uskup ini bertentangan dengan KHK, ASG, Ensiklik Laudato Si, dan termasuk kunjungangan Paus Fransiskus di Indonesia belum lama ini.
“Kitab Hukum Kanonik (KHK) mengatakan, menyebarkan injil atau kabar gembira, menggembalakan umat Tuhan, misi Klerus. Tetapi Uskup bersikap dan bertindak di luar dari peraturan gereja yang ada ini.”
“Kedua, dalam Ajaran Sosial Gereja mengatakan menjadikan kegembiraan dan kecemasan umat adalah kegembiraan dan kecemasan Kristus, dan tentang pengelolaan ciptaan dan subsidiaritas kehidupan internal dari suatu komunitas. Dengan kata lain suka duka orang Papua juga harus menjadi suka duka gereja Katolik.”
Ketiga, dalam Ensiklik Laudato Si Paus Fransiskus pada tahun 2015 lalu, mengajak semua pihak untuk menjadikan bumi sebagai rumah bersama, “mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau mengerjakan, “memelihara” berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi.
Artinya kata Kosamah, ada relasi tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam. Tetapi dalam pernyataan sikap Uskup hendak menjadikan tanah adat dan sumber mata pencaharian hidup masyarakat sebagai rumah perusahaan yang merusak lingkungan hidup dan pemanasan global.
Keempat, dalam kunjungan Apostolik di Indonesia, Paus mengajarkan tentang kesederhanaan dalam hidup berpastoral. Bahkan Uskup Mandagi sendiri mengajak umat untuk tidak rakus pada jabatan dan uang—tidak pecah belah karena masalah Pilkada serentak di Indonesia.
Tetapi pernyataan dan sikap Uskup tidak mengambarkan pesan dan hukum Katolik yang ada, malah ia berkompromi dengan perusahaan.
Hal-hal ini menurut Kosamah menunjukkan sikap kerakusan, keserakahan dan mentalitas elitisme seorang uskup (amoralitas).
Oleh karena itu, melalui konferensi pers ini PMKRI Cabang Jayapura Santo Efrem menyampaikan penyataan sikap kepada Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus C. Mandagi MSC sebagai berikut;
- PMKRI meminta dengan tegas bahwa Uskup Keuskupan Agung Mgr. Petrus C. Mandagi MSC melakukan klarifikasi terhadap pernyataannya yang kontroversial di media massa.
- PMKRI meminta dengan tegas agar Uskup Keuskupan Agung Mgr. Petrus C. Mandagi MSC melakukan perminatan maaf kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat setempat dan umat Katolik setempat.
- PMKRI meminta dengan tegas Uskup Keuskupan Agung Mgr. Petrus C. Mandagi MSC menunjukkan sikap keseimbangan tanpa menyinggung dan mengorbankan hak-hak dasar umat Katolik setempat, dan Bekerja sesuai dengan ruang lingkup kerja gereja Katolik (tidak urus kepentingan politik dan ekonomi).
- Dengan tegas PMKRI meminta kepada Duta Besar Vatikan untuk Indonesia perlu memberikan peringatan dan evaluasi kinerja Uskup Agung Merauke yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan konflik di kalangan umat di Tanah Papua.
- Dengan tegas PMKRI menyatakan kepada pemerintah daerah, provinsi dan pusat tidak perlu melibatkan pimpinan gereja Katolik di Keuskupan Agung Merauke, karena memiliki tendesi yang sangat buruk.
- Gereja harus berani menjadikan suka duka umat di Tanah Papua menjadi suka duka gereja Katolik. Sebab hal itulah yang dikehendaki oleh Kristus Tuhan.
- Dengan tegas PMKRI meminta kepada semua perusahan-perusahan yang sedang beroperasi dan juga pemerintah pusat untuk segera menghentikan dan menolak segala bentuk aktivitas proyek cetak sawah dan bioetanol di Kampung Wanam, distrik Ilyawab, dan kebun tebu di distirk tanah miring Merauke,Provinsi Papua Selatan.