Masyarakat Adat Malind Kondo Digul Larang Pemerintah RI Rampas Hutan Adat

0
450

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul dan Solidaritas Merauke tegas melarang Pemerintah Republik Indonesia dengan seenaknya merampas hutan, tanah adat, dan ruang hidup masyarakat adat Malind tanpa kompromi atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke.

Pernyataan itu disampaikan masyarakat adat terdampak dan masyarakat calon terdampak program strategi nasional Suku Malind, Maklew, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei, di Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan pada 6 Oktober 2024 di dusun Payum, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.

“Masyarakat adat terdampak  dan masyarakat calon terdampak Program Strategis Nasioal yakni  suku Malind, Maklew, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei, di Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan sebagai pemilik hak ulayat yang menjadi korban perampasan tanah, hutan, serta  ruang hidup akibat program PSN cetak sawah dan swasembada gula dan bioetanol konsisten  dan tegas menolak kehadiran program pemerintah tersebut  di atas tanah adat mereka,” kata Simon  Petrus Balagaize Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Kondo-Digul.

Dalam pertemuan tersebut kata Simon masyarakat adat menilai bahwa tindakan pembongkaran yang telah dilakukan oleh pemerintah bersama PT.Jonlin Group di Ilwayab jelas-jelas  melanggar hak-hak masyarakat adat.

Masyarakat kemudian menyampaikan bahwa  berbagai aksi penolakan sudah mereka lakukan sejak April 2024, namun tidak didengar oleh pemerintah.

ads
Baca Juga:  Diseminasi Hasil Penelitian: Dinamika Sosial dan Kerja Paksa di Tanah Papua

“Kami sebagai masyarakat adat secara sadar dan terbuka telah menolak proyek berskala luas tersebut beroperasi di atas tanah adat kami yang dibuktikan dengan melakukan ritual adat penolakan di kampung-kampung atas  kehadiran Program tersebut.”

“Selain itu telah terbukti bahwa kehadiran proyek tersebut tanpa mengikuti mekanisme penanaman modal, serta penyediaan tanah ulayat sesuai ketentuan,“ ungkapnya.

Serupa disampaikan Teddy Wakum, juru bicara Solidaritas Merauke yang juga sebagai pendamping hukum marga Gebze, Kwipalo, dan Moiwend yang hadir dalam pertemaun tersebut menyampaikan bahwa penanam modal  oleh pemerintah  untuk kepentingan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2), UU No. 2 Thn. 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Propinsi Papua, namun fakta hari ini hal tersebut tidak dilakukan pemerintah.

Perundingan yang dilakukan antara pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, serta penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (3), UU No. 2 Thn. 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 21 Thn. 2001 tentang Otsus bagi propinsi Papua namun faktanya masyarakat pemilik hak ulayat tidak pernah diberitahu dan dilibatkan.

Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (4), UU No.Thn. 2021 tentang perubahan kedua atas UU No. 21 Thn. 2001 tentang Otsus bagi propinsi Papua.

Baca Juga:  Identitasi Suku Moi di Sorong Retak di Tengah Perubahan Ekosob
Haji Isam, aparat dan tokoh Papua Selatan ketika berdiskusi terkait PSN. (Supplied)

Oleh sebab itu Teddy Wakum mengatakan, jika berpegang pada fakta-fakta penyerobotan tanah milik marga Kwipalo, dan penggusuran paksa serta pengrusakan hutan, tanah dan ruang hidup  yang sedang terjadi di Distrik Ilwayab, maka sudah dapat disimpulkan bahwa proyek PSN di Merauke melanggar hak masyarakat adat Papua, khususnya masyarakat adat Marind yang dilindungi sesuai dengan ketentuan Pasal 18b ayat (2), Undang Undang Dasar 1945 junto Pasal 6, UU No. 39 Thn. 1999 tentang HAM junto Pasal 43 ayat (1), UU No. 2 Thn. 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 21 Thn. 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, serta Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat

Oleh sebab itu kata Thedy forum meminta pemerintah  wajib tunduk dan patuh dalam menjalankan  Pasal 42 ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan kedua atas UU No. 21 Thn. 2001 tentang Otsus Papua.

Baca Juga:  Kontrakan Mahasiswa Lanny Jaya di Makassar Terendam Banjir, Butuh Perhatian Pemkab

“Pemerintah dilarang mengabaikan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat. Pemerintah segera hentikan PSN Merauke cetak sawah di seluruh wilayah masyarakat adat yang menolak.”

“Pemerintah dilarang keras melibatkan atau menggunakan LMA Siluman dan abal-abal yang selalu seolah-olah mewakili  dan mengatasnamakan masyarakat adat Malind dan membangun narasi bahwa masyarakat adat menerima proyek tersebut,” ujar Thedy.

Thedy mengatakan, Forum juga meminta Panglima TNI menarik mundur semua anggota militer dari Proyek Strategis Nasional di Merauke, karena masyarakat adat merasa terintimidasi.

“Kami masyarakat adat kecewa dengan pernyataan Uskup Agung Merauke atas pernyataan beliau yang tidak berpihak kepada masyarakat Adat. Kami juga mendesak PT. Jhonlin Group milik Haji Izam untuk segera hentikan aktivitas pembongkaran dan penggusuran paksa dan segera keluar dari wilayah adat suku Maklew.”

Selain itu kata Thedy, forum mendesak negara untuk wajib melindungi ruang hidup dan sumber penghidupan perempuan dan anak yang hari ini terancam digusur dan dirusak oleh PSN. Mendesak pemerintah daerah, DPRK, DPRP serta MRP terpilih se -Provinsi Papua Selatan untuk segera membuat peraturan daerah pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

“Mendesak kepada calon presiden yang baru Prabowo Subianto untuk segera mengesahkan RUU masyarakat adat,” pungkasnya.

Artikel sebelumnyaBERITA FOTO: Suara Papua Konsisten Dampingi Siswa SMANSA Menulis Berita
Artikel berikutnyaSikap Vanuatu di ICJ Membuahkan Hasil Bersejarah Bagi Koloni Kepulauan Chagos Afrika