JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tewasnya Yeremias Magai, anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kabupaten Nabire, Papua Tengah, diminta diusut tuntas karena diduga ada unsur kesengajaan dari anggota Polres Nabire: penangkapan tanpa prosedural hingga terjadi penganiayaan dan penyiksaan.
Dikemukakan tim kuasa hukum keluarga Yeremias Magai dalam siaran persnya, 30 September 2024, Polda Papua didesak untuk segera mengambil langkah hukum tegas terkait insiden tragis yang menimpa Yeremias Magai pada 3 September 2024, bertepatan dengan hari kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.
Yeremias Magai dituduh pihak kepolisian sebagai salah satu pelaku pembunuhan terhadap seorang satpam bernama Supriyono (32) pada 23 Agustus 2024 di pos jaga CV Kurnia Jasa Mandiri, Nabire. Namun, tuduhan tersebut dibantah tim kuasa hukum keluarga korban dengan menyatakan tuduhan tersebut tak memiliki bukti yang kuat dan penuh dengan rekayasa.
Yustinus Butu, kuasa hukum keluarga korban, menyatakan, tuduhan terhadap Yeremias Magai bersama Agus Tagi dan Ken Boga tak memiliki dasar yang kuat.
“Proses penangkapan dan penahanan terhadap klien kami dilakukan tanpa bukti permulaan yang cukup. Tuduhan cacat formil karena tidak memenuhi persyaratan hukum yang berlaku,” ujar Yustinus, Selasa (8/10/2024).
Dibeberkan, Polres Nabire tak memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menuduh Yeremias Magai terlibat dalam kasus tersebut. Bahkan ia ditahan secara tak sah dan melanggar ketentuan hukum acara pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Penyidikan yang dilakukan oleh Polres Nabire sangat janggal dan tidak sesuai dengan prosedur yang semestinya. Tuduhannya sangat lemah dan penuh rekayasa. Selain itu, selama masa tahanan, Yeremias Magai mengalami kekerasan fisik dan psikis yang diduga dilakukan oleh anggota Polres Nabire hingga menyebabkan kematiannya,” ujar Butu.
Diakuinya, penangkapan dan penahanan terhadap Yeremias Magai dilakukan tanpa adanya panggilan resmi dari penyidik, sebagaimana diatur dalam Pasal 112 KUHAP yang mensyaratkan adanya panggilan resmi sebelum dilakukan penangkapan.
“Yeremias Magai tidak pernah dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi atau terduga pelaku dalam kasus pembunuhan Supriyono, dan ini melanggar prosedur hukum yang berlaku,” kata Thomas Ch Syufi, kuasa hukum yang juga turut mendampingi keluarga korban.
Selain pelanggaran prosedur hukum, kuasa hukum juga menyoroti dugaan adanya kekerasan yang dialami Yeremias Magai selama dalam tahanan. Tindakan itu dinilai melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk asas praduga tak bersalah yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan KUHAP.
“Penangkapan, penahanan, serta kekerasan yang dialami oleh Yeremias Magai tanpa proses hukum yang jelas adalah bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia,” ujar Thomas.
Ditegaskan tim kuasa hukum, kekerasan yang menimpa Yeremias Magai dalam tahanan Polres Nabire merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, dengan merujuk Pasal 5 DUHAM yang melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Pasal 7 DUHAM juga menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang sama dan tidak boleh ada diskriminasi di depan hukum.
“Kematian Yeremias Magai di tangan anggota Polres Nabire adalah bentuk kekerasan yang sangat melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Selain itu, prosedur penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat tidak sah, karena mereka tidak memiliki bukti permulaan yang cukup. Ini adalah cacat formil dan merupakan bentuk penyimpangan serius dalam proses penegakan hukum,” tandasnya.
Hasil Investigasi
Dari hasil investigasi yang dilakukan tim kuasa hukum, beberapa temuan diungkap terkait proses penangkapan dan penahanan Yeremias Magai. Berikut poin-poin temuannya:
Pertama, tuduhan terhadap Yeremias Magai, Ken Boga, dan Agus Tagi terkait pembunuhan satpam Supriyono dianggap sebagai rekayasa, karena polisi tidak memiliki alat bukti yang cukup dan tuduhannya cacat formil.
Kedua, penangkapan terhadap Yeremias Magai dilakukan tanpa bukti permulaan yang cukup, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP. Penangkapan juga dilakukan tanpa disertai panggilan resmi.
Ketiga, tidak adanya panggilan resmi kepada Yeremias Magai, Ken Boga, dan Agus Tagi melanggar Pasal 112 KUHAP. Apalagi mereka tak pernah diberi kesempatan untuk memberikan keterangan atau klarifikasi terkait tuduhan.
Keempat, Yeremias Magai dan Ken Boga mengalami kekerasan fisik dan psikis selama berada dalam tahanan. Penyiksaan berujung pada kematian Yeremias Magai merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius.
Kelima, selama proses penahanan, Yeremias Magai dan Ken Boga tidak didampingi oleh pengacara. Hal itu merupakan pelanggaran terhadap hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pembelaan yang adil.
Dengan dasar temuan tersebut, Tim Kuasa Hukum keluarga Yeremias Magai menyampaikan lima poin desakan kepada pihak berwenang:
- Mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Papua segera mengambil langkah-langkah hukum yang tegas dan pasti demi tegaknya keadilan dan hak asasi manusia, dengan memberikan sanksi pidana maupun etika kepada para penegak hukum (Kapolres Nabire beserta jajarannya) dapat diperiksa dan ditindak tegas.
- Mendesak Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) di Jakarta segera memberikan atensi khusus kepada kasus dugaan penganiayaan dan siksaan yang menewaskan Yeremias Magai yang diduga dilakukan oleh anggota Polres Nabire pada saat hari kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, karena ini menyangkut martabat dan citra diri bangsa Indonesia di mata dunia.
- Diminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI segera turun melakukan investigasi secara komprehensif dan menyeluruh atas kasus kematian Yeremias Magai.
- Kami memohon kepada semua pihak, terutama lembaga-lembaga pekerja hak asasi manusia (HAM), para tokoh masyarakat, tokoh agama termasuk lima keuskupan di Tanah Papua, lebih khusus Keuskupan Timika, termasuk Dewan Gereja Papua (DGP), dan segenap masyarakat Papua untuk mengawal kasus ini hingga secara adil dan tuntas, serta diberikan ganjaran hukuman yang setimpal kepada para terduga pelaku pembunuhan terhadap Yeremias Magai, yaitu anggota Polres Nabire, baik sanksi pidana maupun etik.
- Kami meminta agar semua penegak hukum di Tanah Papua, terutama aparat kepolisian Polres Nabire untuk segera mengakhiri berbagai praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, yang tidak menghargai nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia (HAM), terutama tindakan kekerasan fisik maupun psikis, termasuk penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) terhadap tersangka atau terdakwa di luar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Kuasa hukum keluarga Yeremias Magai menegaskan, penegakan hukum di Indonesia harus mengedepankan nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia. Selain itu, tim kuasa hukum juga menuntut agar praktik-praktik kekerasan dan penyiksaan terhadap tersangka dihentikan, serta meminta anggota Polres Nabire yang terlibat dalam kasus ini diadili sesuai hukum yang berlaku di negara Indonesia.
“Kami berharap agar kasus ini segera diselesaikan dengan adil. Tak ada tempat bagi praktik kekerasan dalam penegakan hukum. Setiap tersangka berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan adil di depan hukum,” ujar Aloysius Renwarin, anggota kuasa hukum keluarga korban.
Almarhum semasa hidupnya bekerja sebagai anggota Satpol PP kabupaten Nabire, juga Katekis (Pewarta) di Stasi Kristus Raja Damai, Paroki Santo Antonius Bumi Wonorejo, Kombas Santo Agustinus Wagia Kilometer 93 Siriwo, Nabire, Dekenat Teluk Cenderawasih, Keuskupan Timika.
Yeremias Magai lahir di Higigebo, kampung Unipo, distrik Siriwo, 15 Juni 1990. []