JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia diminta segera mencabut surat keputusan (SK) nomor 835 tahun 2024 yang diterbitkan secara sewenang-wenang dan melawan hukum. Hak masyarakat adat Papua terhadap tanah dan wilayah adatnya yakni hak ulayat masyarakat adat sebagai bukti hubungan penguasaan dan sekaligus kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya sama sekali tak dihargai akan mengancam eksistensi mereka di masa depan.
Demikian dikemukakan Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, dalam siaran pers nomor 013/SP-LBH-Papua/X/2024, Sabtu (12/10/2024).
Lebih lanjut dibeberkan, dengan memperhatikan eksistensi hak masyarakat adat Papua khususnya hak ulayat masyarakat adat Malind yang dijamin pada Pasal 18b ayat (2) UUD 1945 junto Pasal 6 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia junto Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka sesuai dengan ketentuan “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah” (Pasal 6 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 1999), sehingga dalam rangka mendapatkan hak atas keadilan bagi masyarakat adat Papua khususnya masyarakat Malind, maka penegakan hukum atas fakta pelanggaran hak masyarakat adat Papua khususnya hak ulayat masyarakat adat Malind yang diambil secara sewenang-wenang oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dan diberikan kepada Menteri Pertahanan Republik Indonesia untuk mengembangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke yang dikerjakan oleh 10 perusahaan yang akan menghilangkan hak atas tempat tinggal dan berkehidupan yang layak.
Karena itulah, pada 11 Oktober 2024, LBH Papua dan LBH Papua Pos Merauke selaku kuasa hukum marga Kwipalo beserta beberapa marga terdampak lainnya yang menjadi korban pelanggaran hak masyarakat adat dalam PSN di Merauke mengadukan ke Komnas HAM RI Perwakilan Papua dan telah yang terdaftar dalam Agenda Komnas HAM RI dengan nomor 155091.
Dengan dasar kesimpulan dan upaya hukum yang telah dilakukan LBH Papua dan LBH Papua Pos Merauke selaku kuasa hukum marga Kwipalo beserta beberapa marga terdampak lainnya yang menjadi korban pelanggaran hak masyarakat adat dalam PSN di Merauke, menyatakan:
- Presiden RI segera hentikan PSN di Merauke yang melanggar hak ulayat masyarakat adat Papua khususnya masyarakat adat Malind.
- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera cabut SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor 835 tahun 2024 yang diterbitkan secara sewenang-wenang dan melawan hukum karena dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakat adat Papua.
- Pimpinan PT Global Papua Abadi, PT Murni Nusantara Mandiri, PT Andalan Manis Nusantara, PT Semesta Gula Nusantara, PT Berkat Tebu Sejahtera, PT Agrindo Gula Nusantara, PT Sejahtera Gula Nusantara, PT Global Papua Makmur, PT Dutamas Resources International, dan PT Borneo Citra Persada segera hentikan praktek pelanggaran hak ulayat masyarakat adat Papua khususnya masyarakat adat Malind yang akan menghilangkan hak atas tempat tinggal dan berkehidupan yang layak masyarakat adat Malind.
- Panglima TNI segera membubarkan lima Yonif yang akan mendukung kegiatan bisnis dalam proyek PSN di Papua karena TNI dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis sesuai perintah Pasal 39 angka 4 Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
- Ketua Komnas HAM RI Pusat dan ketua Komnas HAM RI Perwakilan Papua segera bentuk tim investigasi untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM khususnya hak ulayat masyarakat adat Papua sesuai surat pengaduan tertanggal 11 Oktober 2024 yang terdaftar dalam agenda Komnas HAM RI dengan nomor 155091.
Pernyataan dan tuntutan itu berdasarkan prinsipnya “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, sebagaimana Pasal 18b ayat (2) UUD 1945.
Dalam konteks eksistensi masyarakat adat Papua termasuk masyarakat adat Malind Anim bersama hak-hak masyarakat adanya di wilayah adat serta perlakuan negara melalui pemerintah terhadapnya secara hukum telah dilindungi berdasarkan ketentuan “Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan”, sesuai Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 2 tahun 2021.
Setiap masyarakat adat Papua mempunyai hak ulayat yang merupakan bukti hubungan penguasaan dan sekaligus kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya, sehingga eksistensinya secara hukum menjadi satu kesatuan yang dilindungi dalam Hak Asasi Manusia khususnya hak milik yang dijamin dalam ketentuan “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum” sebagaimana diatur pada Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Atas dasar itu, apapun kegiatan yang dilakukan di atas tanah dan wilayah adat tidak akan dipandang sebagai “Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum” (Pasal 36 ayat (2) UU nomor 39 tahun 1999) apabila pemanfaatan hak ulayat masyarakat adat Papua oleh siapapun dilakukan dengan mengikuti mekanismenya sebagaimana diatur dalam ketentuan Otonomi Khusus Papua, sebagai berikut:
Pertama, penanam modal yang melakukan investasi di wilayah provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2) UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Kedua, perundingan yang dilakukan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (3) UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Ketiga, penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (4) UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Dengan melihat fakta penerbitan “Izin pengolahan kawasan dalam wilayah ulayat masyarakat adat Malind yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menerbitkan SK nomor 835 tahun 2024 pada 12 Juli 2024, tentang persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan dalam rangka pertahanan dan keamanan atas nama Kementerian Pertahanan RI seluas 13.540 hektare pada kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi di kabupaten Merauke, provinsi Papua Selatan, selanjutnya disebut SK KLHK 835 yang dilakukan tanpa mengikuti mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2), Pasal (3), dan Pasal 43 ayat (4) UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka jelas menunjukan bukti bahwa “Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia telah mengambil hak milik atas tanah adat dan wilayah adat masyarakat adat Malind atau hak ulayat masyarakat adat Malind secara sewenang-wenang dan melawan hukum”.
Anehnya, ujar Emanuel, 10 perusahaan itu jelas-jelas belum memiliki AMDAL dan izin lingkungan malah sudah melakukan kegiatan di atas tanah dan wilayah adat Malind yang diambil secara sewenang-wenang dan melawan hukum oleh KLHK Republik Indonesia.
Adanya tindakan penanaman patok berwarna merah putih dengan tulisan MNM (Murni Nusantara Mandiri) dalam kebun karet milik marga Kwipalo tanpa sepengetahuan bapak Vinsen Kwipalo dan mama Kwipalo selaku istrinya sebagai pemilik tanah dan kebun karet menunjukan bahwa “PT Murni Nusantara Mandiri telah melakukan tindak pidana penggelapan tanah adat sebagaimana diatur pada Pasal 385 KUHP dan juga pelanggaran hak tanah dan wilayah adat atau hak ulayat yang dijamin dalam ketentuan hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagaimana pada Pasal 43 Ayat (2) UU nomor 2 tahun 2021”.
Dengan fakta pelibatan TNI dalam kegiatan bisnis PSN di Merauke yang jelas-jelas dilarang sesuai ketentuan Pasal 39 angka 4 UU nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dengan cara pembentukan lima Batalyon Infanteri (Yonif) yang satu Yonif diantaranya akan bekerja mendukung proyek PSN di Merauke di atas masyarakat adat Malind sedang mempertahankan hak ulayatnya yang dilakukan dengan cara aksi protes dengan mengusung tema “Tolak Proyek Strategi Nasional di Merauke”, maka yang dikhawatirkan adalah terjadinya dugaan pelanggaran HAM Berat sebagaimana yang pernah terjadi di Wasior, Papua Barat. []