Pengurus sASHTMP saat menyerahkan surat berisi pertanyaan ke Bawaslu provinsi PBD. (Dok. ASHTMP)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com —Sejumlah aktivis HAM dan lingkungan, mahasiswa, serta pemuda adat Papua yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Tanah, Hutan, dan Manusia Papua (ASTHMP) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) provinsi Papua Barat Daya agar isu lingkungan dan hak-hak masyarakat masuk dalam debat kandidat calon gubernur dan wakil gubernur pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024.

Desakan tersebut disampaikan saat mendatangi kantor KPU dan Bawaslu PBD untuk menyerahkan surat usulan pertanyaan pada 9 Oktober 2024. Dalam suratnya, ASTHMP menekankan pentingnya mempertimbangkan suara masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait kekayaan sumber daya alam Papua.

Dalam catatan ASTHMP selama sepuluh tahun terakhir, politik hukum masyarakat adat semakin memburuk. Seperti kata Fiktor Klafiyu, koordinator ASHTMP, penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, UU KSDAHE, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang Agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.

“Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan masyarakat adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan masyarakat adat,” bebernya dalam siaran pers yang diterima Suara Papua, Minggu (12/10/2024_.

Baca Juga:  Keluarga dan Kerabat Menuntut Keadilan Atas Eksekusi Mati Tobias Silak di Yahukimo

Berkaitan dengan rencana debat publik calon gubernur dan wakil gubernur PBD yang akan diadakan KPU provinsi Papua Barat Daya, Fiktor menyatakan, saat ini masyarakat adat sedang berharap kepada calon pemimpin daerah agar berkomitmen dan memberikan perhatian khusus dalam upaya penyelamatan hutan Papua dan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di seluruh Tanah Papua.

ads

“Para pemimpin daerah di Tanah Papua yang akan menjadi ujung tombak implementasi kebijakan pemerintahan dan pembangunan di era otonomi khusus (Otsus) Papua di dalamnya terdapat pengambilan keputusan-keputusan penting dalam rangka perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat, pelayanan publik bagi masyarakat adat, perlindungan atau konservasi sumber daya alam, serta keputusan-keputusan dalam rangka hadirnya investasi berbasis lahan dan kehadiran sejumlah proyek nasional strategis di Tanah Papua,” urainya.

ASHTMP mencatat berbagai program proyek strategis nasional (PSN) di Tanah Papua berpeluang besar mengancam eksistensi masyarakat adat. Kata Fiktor, maraknya bisnis perkebunan sawit, pertambangan, dan PSN seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong, 1 juta hektare sawah di Merauke sangat merugikan masyarakat adat Papua.

Oleh karenanya, ASTHMP mengingatkan, isu-isu lingkungan sangat penting untuk dibahas dalam konteks pemilihan gubernur ini.

“Kami mempertanyakan, apakah para calon gubernur akan memenuhi tuntutan ini jika terpilih atau tidak,” ujar Fiktor.

ASHTMP saat menyerahkan surat berisi pertanyaan ke KPU provinsi Papua Barat Daya. (Dok. ASHTMP)

Yohana Awom, juru kampanye Gerakan Malamoi, mengungkapkan, masyarakat adat berjuang untuk mempertahankan identitas mereka yang erat kaitannya dengan tanah dan hutan.

Baca Juga:  Dikabarkan Satu Warga Sipil di Ilu Puncak Jaya Tertembak Meninggal Dunia

“Hutan adalah sumber ekonomi, sosial, dan budaya yang harus dilindungi,” ujarnya.

Untuk itu, Yohana mendesak masyarakat adat agar tidak tergiur dengan janji-janji politik yang hanya memanfaatkan identitas adat untuk meraih jabatan politik.

“Kita butuh pemimpin yang benar-benar memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, bukan yang hanya mengejar ambisi pembangunan tanpa peduli lingkungan,” tegas Awom.

Dalam surat usulan yang disampaikan, ASTHMP mengajukan sejumlah pertanyaan penting untuk calon pemimpin daerah. Beberapa diantaranya termasuk komitmen calon untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat sesuai dengan amanat Undang-undang Otsus Papua, serta upaya konkret untuk menghentikan laju deforestasi dan perampasan tanah adat oleh korporasi.

Tak hanya itu, mereka juga menanyakan solusi konkret untuk melindungi hak-hak tradisional masyarakat adat yang terancam oleh Proyek Strategis Nasional (PSN).

Salah Pilih Sulit Pulih

Lebih lanjut ASHTMP menyerukan kepada publik untuk cerdas dalam memilih pemimpin pada ajang Pilkada serentak tahun 2024. Hal ini mengingat berbagai persoalan selalu dihadapi masyarakat adat di Indonesia, termasuk di Tanah Papua saat ini.

Oleh sebab itu, pentingnya masyarakat adat dalam memilih pemimpin yang memiliki komitmen terhadap lingkungan dan perlindungan hak-hak tradisional

“Jangan pilih sosok baik yang maju di kabupaten, kota dan provinsi yang tidak mampu melindungi hak masyarakat adat sesuai pesan Otsus itu sendiri,” kata Fiktor.

Baca Juga:  Kantor Distrik Waigeo Utara Terbakar, Diduga Buntut Dari Pergantian Kadistrik

ASHTMP menegaskan, dampak serius krisis iklim yang dihadapi di Papua Barat Daya, di mana deforestasi dan aktivitas industri ekstraktif diperparah oleh kebijakan pemerintah daerah. Juga menyerukan kepada masyarakat adat untuk menuntut calon pemimpin mengedepankan transisi ekonomi hijau dan kebijakan yang melindungi lingkungan.

“Pemimpin harus fokus pada pembangunan sumber daya manusia, bukan memberikan izin kepada perusahaan yang merampas tanah adat dan memperparah krisis iklim,” tegasnya.

Senada, Dessy Karunia Sentuf, koordinator Awal Tantangan Aksi Produktif (ATAP) Papua, menegaskan, ajang Pilkada yang akan berlangsung 27 November 2024 merupakan momentum terbaik bagi masyarakat adat untuk memilih pemimpin yang memperjuangkan hak-hak adat dan pelestarian sumber daya alam.

“Pemimpin di era Otsus Papua harus melindungi hak-hak masyarakat adat dan berkomitmen terhadap kelestarian hutan yang dijaga secara turun temurun,” ujar Dessy.

Hanya ia menggarisbawahi kekhawatiran terkait proyek besar yang merampas tanah adat, seperti industri nikel di Raja Ampat, proyek KEK di Sorong, dan proyek 1 juta hektare padi di Merauke.

“Masyarakat adat yang telah lama berjuang mempertahankan tanah mereka, kini ASHTMP juga memperingatkan masyarakat adat agar tidak tergiur oleh janji politik yang hanya memanfaatkan identitas adat demi kepentingan pribadi,” pungkasnya. []

Artikel sebelumnyaSekolah YPK di Tambrauw Butuh Perhatian Serius PSW YPK
Artikel berikutnyaMama Bank: ‘Bank untuk Para Ibu’ di Bougainville ‘Agar Tidak Kalah Dengan Suami’