JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Wilayah provinsi Papua Selatan benar-benar diserbu berbagai jenis investor, termasuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Terakhir, PT Papua Berkat Pangan dikabarkan bakal segera beroperasi di wilayah adat milik marga Amotey, distrik Arimop, kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.
Berdasarkan data yang diperoleh masyarakat adat, luasan konsesi yang diizinkan pemerintah kepada perusahaan sawit itu seluas 34.092,18 hektare yang meliputi distrik Mandobo, distrik Jair, dan distrik Arimop.
Menyikapi rencana pemerintah mengizinkan perusahaan sawit beroperasi di wilayah adat mereka, marga Amotey, suku Mandobo, dari kampung Patriot, distrik Arimop, menggelar rapat adat pada 11-12 Oktober 2024.
Aloysius Amotey, ketua marga Amotey, saat rapat adat yang dihadiri semua anggota marga Amotey dan sub-sub marga telah bersepakat untuk menolak kehadiran PT Papua Berkat Pangan di atas seluruh wilayah adat marga Amotey.
Aloysius mengatakan, marga Amotey di kampung Patriot secara turun-temurun menjadikan hak ulayat mereka yang di dalamnya ada hutan alam sebagai sumber kehidupan utama dan juga aset marga Amotey.
”Dalam hutan ada sagu sebagai sumber makanan utama kami, selain itu juga ada hewan, ada juga kayu dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan marga Amotey secara turun-temurun,” ujar Aloysius.
Pada kesempatan itu, Maria G Amotey, salah seorang aktivis lingkungan yang juga anak asli kampung Patriot, menyatakan menolak kehadiran PT Papua Berkat Pangan untuk beroperasi di wilayah tanah adat marga Amotey.
Sebagai aktivis dan masyarakat adat, Maria tegaskan, ketika perusahaan sawit beroperasi di wilayah tanah adat marga Amotey akan menyebabkan deforestasi yang berakibat pada punahnya flora dan fauna endemik, pemanasan global, perubahan iklim dan terganggunya siklus air.
”Dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit dan rencana pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan dan merusak ekologi,” ujar Maria Amotey.
Sementara itu, Philipus K Chambu, aktivis lingkungan dan kemanusian dari LBH Papua Pos Merauke, berpendapat, pemerintah wajib mengedepankan prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC), dimana masyarakat diberikan kehendak bebas dan tanpa intervensi dan paksaan apapun dari pihak manapun dalam pengambilan keputusan apakah masyarakat adat menerima atau menolak kehadiran perusahaan atau investasi yang akan masuk di wilayah adat mereka.
Philipus menegaskan, hak-hak masyarakat adat secara tegas telah diatur pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 junto Pasal 43 Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua junto Pasal 22 Perdasus kabupaten Boven Digoel nomor 2 tahun 2023.
Keputusan menerima atau menolak kehadiran suatu investor, dengan merujuk peraturan perundang-undangan tersebut, kata Philipus, terpulang kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat.
“Apabila marga Amotey secara kolektif telah menyatakan menolak perusahaan sawit Papua Berkat Pangan, maka wajib bagi pemerintah untuk menghormati keputusan marga Amotey,” tegasnya. []