SORONG, SUARAPAPUA.com — Hutan adat di Tanah Papua semakin terancam tanpa pengakuan negara, di tengah bayang-bayang eksploitasi sumber daya alam (SDA) tanpa batas. ‘Creeping genocide’ sudah di depan mata orang asli Papua (OAP).
Sebuah kajian terbaru yang diluncurkan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Selasa (27/8/2024), menghitung dampak kumulatif investasi sawit di Tanah Papua menggunakan metode cost benefit ratio, dengan nilai sebesar 5,48 atau lebih besar dari 1 menyebut, kerugian lingkungan dari bisnis ini pun lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh daerah.
Wiko Saputra, ahli ekonomi dan penulis utama laporan tersebut, menyebutkan, 30 dari 42 kabupaten kota di Tanah Papua mengalami kerawanan pangan. Hal ini terjadi di kawasan yang ada sawitnya. Ini terbukti dari tuntutan masyarakat Papua bahwa hilangnya hutan menyebabkan mereka kehilangan sumber pangan.
“Ke depan, kalau [hutan] terus dibuka, maka kami tidak bisa membayangkan kabupaten-kabupaten tersebut memiliki tingkat kerawanan pangan yang luar biasa. Masyarakat adat meminta satu hal. Kembalikan hak ulayat mereka karena terbukti dari hasil perhitungan, investasi sawit tidak memberikan kontribusi yang sama terutama untuk masyarakat adat,” ujarnya.
Menurut cacatan Yayasan Pusaka pada 2024 total luas izin di Tanah Papua mencapai 1,57 juta hektare. Seluruh izin ini dikelola oleh 58 korporasi sawit. Tak hanya sektor perkebunan, industri kehutanan juga menguasai hutan dan lahan di Tanah Papua.
Kasmita Widodo, kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dalam dialog publik PBM GKI bertajuk “Mencegah dan melindungi orang asli Papua dari creeping genoside” mengungkap masalah hutan adat Papua yang amat mencemaskan. Sebab menurutnya, hutan adat terancam tanpa pengakuan oleh negara, di tengah bayang-bayang eksploitasi tanpa batas.
“Creeping genocide akan terjadi ketika tanah adat sudah tidak dikuasai lagi oleh masyarakat adat,” ujar Kasmita.
Terminologi creeping genocide adalah penghancuran masyarakat hukum adat, sebagai hasil dari kekuatan dan kemajuan yang tak terhindarkan, bahkan tak terelakkan. Masyarakat hukum adat banyak tidak terbunuh, tetapi punah. Contoh kasus suku Betawi di DKI Jakarta.
BRWA mencatat fakta tanah adat dirampas untuk kepetingan pembangunan. Maka, menurut Kasmita, sangat penting untuk mengurus wilayah adat dan penduduk di Tanah Papua.
“Praktik-praktik ini sudah terjadi di banyak tempat, tanahnya dirampas untuk keperluan pembangunan. Jadi, situasi tenur dan wilayah adat kita begini di Papua, jadi klau tidak urus penduduknya saya kira creeping genocide itu akan terjadi segera,” tuturnya.
Otsus Gagal Lindungi Manusia dan Hutan Papua
Dokumen putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 458 K//LH/2024 terhadap gugatan Hendrikus Franky Woro bersama masyarakat adat suku Awyu semakin menunjukan sikap pemerintah lebih mengutamakan kepentingan para elit ketimbang melindungi,menjaga hutan adat di Tanah Papua yang merupakan paru-paru dunia yang sedang terancam oleh investasi dan krisis iklim.
Kasmita Widodo menyebutkan, di Tanah Papua baru 7 hutan adat yang diakui pemerintah yakni 6 hutan adat di kabupaten Jayapura, provinsi Papua dan 1 di kabupaten Teluk Bintuni, provinsi Papua Barat. Tetapi luasan hutan di Tanah Papua yang diklaim sebagai hutan milik negara lebih besar dari yang diakui pemerintah.
“Hutan di Tanah Papua yang diklaim sebagai hutan milik negara mencapai 70 persen hingga 80 persen, bahkan lebih yang telah diklaim. Oleh sebab itu, upaya untuk mengembalikan hutan yang telah diklaim sebagai hutan negara harus terus terus dilakukan oleh masyarakat adat,” ujarnya.
Kasmita juga mencermati sejak diberlakukan Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua jilid pertama maupun kedua belum ada komitmen pemerintah untuk menganggarkan dana guna pemetaan wilayah adat.
“Di Tanah Papua yang semua disebut warga adat, tanah adat, tetapi tidak ada satupun kelembangan pemerintah yang mengurus hal ini. Kepala daerah harus membentuk lembaga untuk mengurus masyarakat adat,” harapnya.
Sementara itu, Weynand Watory, ketua 1 Dewan Adat Papua, mengatakan, para pejabat sampai akademisi di Papua takut berbicara jujur dan bersembunyi di balik kepentingan pribadi.
“Para calon pemimpin baik itu gubernur, wali kota, dan bupati, mesti punya kerangka berpikir yang jelas, untuk sebuah perubahan. Jangan fokus berebut kekuasaan, tetapi cara membangun Tanah Papua saja mereka tidak tahu,” kata Watory, dilansir Jubi.
Watory menyarankan agar pihak gereja, adat, dan perguruan tinggi harus adakan konferensi besar untuk membahas masalah-masalah di Papua dan libatkan para pemimpin dari setiap provinsi.
“Masalah kependudukan, tentu ada kaitannya dengan data, juga kita sudah tahu kalua orang asli Papua semakin berkurang juga tidak terdata dengan baik. Padahal, setiap suku punya marga. Untuk mempermudah pendataan, kan ada data dari Gereja dan pemerintah,” bebernya.
Weynand juga menguraikan, Tanah Papua yang terbagi enam provinsi, tetapi jumlah penduduk di provinsi Papua lebih sedikit dari kotamadya Malang, Jawa Timur. Juga, kalau dibandingkan jumlah orang asli PNG sebanyak 8.947.024 jiwa, sedangkan jumlah OAP hanya 1,8 jiwa.
“Hal ini menunjukan Papua sedang mengalami creeping genocide secara perlahan, dimana pembunuhan penduduk lokal terjadi, akibat dari program pemerintah pusat yang mengatasnamakan pembangunan,” ujar Watory.
Watory juga menyinggung proses pembangunan di Papua yang menggilas OAP, membuat OAP frustrasi karena sumber daya diambil, mulai sejak orde lama, orde baru, hingga orde reformasi. Malah setelah UU Otsus dibuat untuk melindungi OAP, tetap saja masih ada pelanggaran.
“Pemberdayaan OAP itu hanya simbol saja. Saat ini OAP sedang dibuat frustrasi dalam segala sektor, tidak bisa jadi pegawai negeri, tidak bisa sekolah, penduduk relatif termiskin di Indonesia, penduduk dengan angka kematian ibu dan anak tertinggi. Tidak ada yang bisa OAP andalkan, baik itu ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik. Contoh saja dari aspek ekonomi, Papua kan daerah yang kaya sumber daya alamnya, dan jumlah OAP hanya tiga juta lebih saja, masih pemerintah tidak bisa urus dengan baik,” pungkasnya. []