JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Meki Nawipa, salah satu calon gubernur provinsi Papua Tengah periode 2024-2029, menyatakan dengan tegas menolak program transmigrasi dari pulau Jawa dan sekitarnya yang bakal dikirim ke Tanah Papua oleh pemerintah melalui Kementerian Transmigrasi RI.
“Masyarakat tolak program transmigrasi ke Papua, saya tolak juga, apalagi dikirim ke Papua Tengah. Di sini kami butuh hidup aman dan damai,” ujarnya saat tatap muka dengan tim koalisi partai politik, tim pemenangan dan tim relawan dengan simpatisan pendukung MeGe di Nabire, ibu kota provinsi Papua Tengah, Sabtu (2/11/2024).
Pernyataan tersebut Meki ungkapkan secara spontan dalam sesi dialog dengan para pendukung dan masyarakat Papua Tengah terkait menjaga budaya dan tanah adat di tengah arus modernisasi ditambah kebijakan negara salah satunya transmigrasi.
“Saya tidak pusing dengan program presiden, tetapi saya dukung pernyataan masyarakat Papua tolak transmigrasi. Stop transmigrasi ke sini,” tegasnya disambut tepukan tangan yang meriah.
Pemerintahan presiden Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka bakal menghidupkan program transmigrasi ke Papua. Program tersebut diyakini sebagai upaya pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah Indonesia.
Program transmigrasi, menurut Meki Nawipa seperti dilansir wagadei.id, dapat mengancam kehidupan masyarakat adat Papua terutama dari segi penguasaan lahan, identitas budaya, dan hak atas tanah adat.
“Bukan pemerataan pembangunan, program transmigrasi itu justru genosida bagi kami orang asli Papua,” ujar mantan bupati Paniai periode 2018-2023.
Selain Meki Nawipa, banyak pihak diantaranya mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, Dewan Gereja Papua dan sejumlah elemen juga turut bersuara menolak program transmigrasi yang bermuara pada genosida orang asli Papua.
Sejak pertama kali diterapkan di Tanah Papua pada orde baru, transmigrasi telah membuka jalan bagi peralihan lahan adat menjadi milik negara yang kemudian diberikan kepada para transmigran.
Program transmigrasi ke Papua pertama kali dijalankan pemerintah pada 1966. Saat itu, Papua telah empat tahun berada di bawah administrasi Indonesia, usai perjanjian New York.
Transmigrasi berlangsung tiga tahun sebelum penentuan pendapat rakyat (Pepera) kontroversial yang mengesahkan integrasi Papua ke Indonesia.
Sejumlah anggota DPR Republik Indonesia daerah pemilihan Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Pegunungan juga sudah bersuara dalam rapat terhormat di Senayan.
Komarudin Watubun, anggota Komisi II DPR RI, mengingatkan pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-undang Otsus Jilid 2 Papua. Dua hal utama yang disinggung Komarudin hingga kini masih belum terlaksana yakni pembangunan infrastruktur di Papua yang mestiya mengandalkan APBN, bukan lagi dengan dana Otsus, dan 80% calon ASN di Tanah Papua harus prioritaskan orang asli Papua.
Hal itu dikemukakan Komar, sapaan akrab Komarudin Watubun, pada rapat kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, Kamis (31/10/2024) lalu.
Sebagai mantan anggota DPRP, Komar juga mendukung suara rakyat Papua menolak program transmigrasi yang dianggap bertentangan dengan hukum adat di Tanah Papua.
Komar bahkan memprediksi kehadiran transmigran berpotensi besar menyingkirkan masyarakat adat Papua dari atas tanah adat mereka sendiri, juga kehilangan hutan dan tanah adat sebagai sumber penghidupan sepanjang masa, dan itu artinya ancaman terhadap keberlangsungan hidup dan budaya warisan leluhur sudah di titik nadir. []