Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

0
270

Oleh: Hariman Dahrif*
*) Pegiat pembangunan di Tanah Papua

Euforia pro-kontra terkait kebijakan transmigrasi oleh pemerintah yang akan diberlakukan di Tanah Papua kembali bergema. Hampir semua pegiat pembangunan membincangkannya. Para mahasiswa “turun jalan” berdemonstrasi, kaum cerdik pandai membahasnya dalam diskusi dan seminar, para legislator ikut mengomentari. Tak ketinggalan para rohaniwan juga diikut-ikutkan untuk menyuarakan.

Sampai-sampai para mama-mama mempertanyakan kemana lagi harus mencari makanan tradisional kami? Hutan kami dirusak, proyek berskala besar yang dijalankan pemerintah membuat hutan-hutan jadi rusak, sehingga sumber pangan orang Papua jadi hilang.

Itulah fenomena pandangan masyarakat kali ini terhadap kebijakan transmigrasi. Nah, permenungan penulis atau mungkin juga publik apakah seperti itu kebijakan transmigrasi?

Paradoks Kebijakan Transmigrasi di Papua

ads

Secara kualitatif tidak bisa dipungkiri bahwa wilayah-wilayah seantero Nusantara saat ini banyak berkembang pesat karena kebijakan transmigrasi. Di Papua, sebut saja Koya di Jayapura, Arso di Keerom, Wanggar di Nabire, Papua Tengah, dan Merauke di Papua Selatan. Hampir semua orang menyimpulkan daerah-daerah itu maju karena transmigrasi. Lalu, mengapa ditolak?.

Siswono Yudo Husodo, mantan Menteri Transmigrasi era Orde Baru (1988-1993) merangkum permasalahannya, sebagai berikut:

  1. Pemerintah dianggap lebih memperhatikan etnis pendatang dibanding penduduk setempat yang ada di kawasan pemukiman transmigrasi.
  2. Program transmigrasi dianggap memudarkan sosio kultural masyarakat lokal di sekitar unit permukiman transmigrasi.
  3. Proses perencanaan kawasan permukiman transmigrasi kurang atau tidak dikomunikasikan dengan masyarakat sekitar, sehingga mereka tidak merasa terlibat dan tidak merasa ikut bertanggungjawab akan keberadaan program transmigrasi.
  4. Program transmigrasi terkesan menyebabkan kerusakan lingkungan.
  5. Transmigran yang didatangkan ke suatu lokasi kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, baik dalam hal kultur budaya dan tradisinya, maupun dalam hal kompetensi keahlian dan ketrampilannya.
  6. Program transmigrasi cenderung dikelola dengan pendekatan yang berorientasi proyek dan para pelaksananya ada yang bersifat arogan.
  1. Ada permukiman transmigrasi yang dibangun secara eksklusif, sehingga terkesan secara fungsional tidak terkait dengan kawasan lingkungannya.
Baca Juga:  Perjuangan Papua Untuk Membela Diri

Khusus di Tanah Papua, cendekiawan Frans Apomfires (2000) lebih menspesifikasikan lagi, bahwa penolakan transmigrasi di Papua dominan disebabkan konflik lahan serta mencuaknya dampak kesenjangan antara transmigran dan orang asli Papua. Akibatnya, kebijakan transmigrasi melahirkan stigma yang kurang baik di kalangan masyarakat asli Papua.

Puncaknya, di dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua Pasal 61 ayat (3) diuraikan penegasannya bahwa penempatan transmigrasi nasional diselenggarakan oleh pemerintah dilakukan dengan persetujuan gubernur.

Bahkan melalui Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Kependudukan nomor 15 tahun 2008. Pasal 44, menetapkan bahwa:

(1) Transmigrasi hanya bisa dilakukan setelah jumlah orang asli Papua (OAP) mencapai 20 juta jiwa;

(2) Kebijakan tersebut harus mendapat pertimbangan dan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

Baca Juga:  Rasisme dan Penindasan di Papua Barat (Bagian 1)

Merujuk dari regulasi tersebut, jika jumlah penduduk OAP se-Tanah Papua saat ini berkisar 6 juta jiwa, maka bisa dipastikan butuh puluhan tahun Tanah Papua, baru bisa menerima kebijakan transmigrasi.

Sebenarnya secara teori ekonomi mulai dari klasik sampai modern, para ahli banyak menyarankan pendekatan transmigrasi sangat cocok dalam pengembangan wilayah untuk pertumbuhan ekonomi. Termasuk Papua, jika diperbolehkan lagi.

Transmigrasi Lokal Solusinya

Mencermati fenomena di atas, banyak kalangan menganjurkan jenis transmigrasi lokal sebagai solusi. Padahal jika merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2024, pengganti dari Undang-Undang nomor 07 tahun 2009 tentang ketransmigrasian, yang dimaksud dengan transmigrasi lokal adalah Transmigrasi Swakarsa Mandiri disingkat TSM, yakni transmigrasi yang dilakukan atas prakarsa transmigran sendiri, atas arahan, layanan, dan bantuan pemerintah dan atau pemerintah daerah bagi penduduk yang memiliki kemampuan.

Artinya, definisi “lokal” dalam jenis transmigrasi tersebut kriterianya: insiatif berasal dari kemauan sendiri, targetnya penduduk yang telah memilki kemampuan ekonomi, keberangkatannya difasilitasi pengurusan permindahan dan penempatan, lahan usaha difasilitasi untuk mendapatkannya, sarana produksi mendapat bimbingan untuk mendapatkan lapangan kerja atau lapangan usaha, lahan tinggal dapat dengan status hak milik, rumah tidak dapat, serta catu pangan tergantung pemerintah pusat/daerah dan badan usaha.

Dari kriteria tersebut, jika dicermati berbeda pengertian transmigrasi lokal dengan persepsi publik, yang berasumsi bahwa transmigrasi lokal itu berasal dari penduduk lokal, belum punya kemampuan, tetapi sudah punya rumah dan tanah untuk usaha.

Baca Juga:  Hari Noken dan HAM: Pemajuan Budaya

Oleh karena itu, menurut penulis, jika transmigrasi diwacanakan lagi di Tanah Papua, maka harus dilakukan:

(1) redefinisi konsep atau istilah transmigrasi bukan dalam arti mendatangkan penduduk dari luar Papua, tetapi memberdayakan penduduk lokal yang menjadi penduduk dan orang asli Papua di lokasi tersebut;

(2) reorientasi wilayah peruntukan transmigrasi sebagai dasar penetapan ruangnya: tidak mengarah kepada penyediaan tanah baru, tetapi cukup memperkuat ruang atau lokasi yang ada;

(3) refungsionalisasi dimaksudkan masyarakat yang akan dijadikan obyek transmigran adalah masyarakat atau penduduk dari wilayah Papua itu sendiri.

Dengan demikian, jenis transmigrasi sebagai model yang diperuntukkan di Tanah Papua adalah Transmigrasi Lokal Swakarsa Berbantuan Khas Papua. Transmigrasi ini mengkombinasikan pengertian dari substansi tiga jenis transmigrasi: umum, swakarsa berbantuan, dan swakarsa mandiri, yakni insiatifnya dari pemerintah daerah, targetnya penduduk Papua dan orang asli Papua, lahan usaha dan lahan tinggal berasal dari masyarakat sendiri (milik). Serta catu pangan disiapkan oleh pemerintah atau badan usaha.

Oleh karena itu, peruntukkan ruangnya bersifat penguatan struktur wilayahnya sendiri, seperti kampung perbatasan, relokasi pengungsi/korban konflik, revitalisasi wilayah produk unggulan, kantung-kantung kemiskinan kota, dan perambah hutan.

Agar peruntukan transmigrasi lokal legitimasi dibuat dalam bentuk Perdasus atau Perdasi sesuai dengan amanat Pasal 61 Undang-Undang nomor 21 tahun 2001. (*)

Artikel sebelumnyaKPU Akhirnya Batalkan Abdul Faris Umlati Sebagai Cagub Provinsi PBD
Artikel berikutnyaDua Putaran Debat Publik Sukses, KPU Deiyai Ajak Warga Tenang Pilih Pemimpin