JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Suara Kaum Awam Katolik menyatakan Uskup Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC tidak mampu menggembalakan umat Tuhan di Wilayah kampung Wogekel dan Wanam, Distrik Ilwayab, Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Pernyataan Suara Kaum Awam Katolik itu disampaikan berkaitan dengan pernyataan Uskup Agung Merauke yang dibacakan Romo Ferry pada seminar nasional adanya program strategis nasional PSN Merauke: dampaknya pada masyarakat adat dan alam Papua yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Pusaka pada, 4 November 2024.
Menurut Suara Kaum Awam Katolik, pesan yang dibacakan Romo Ferry dapat menunjukkan bahwa Uskup Mandagi tidak mampu menggembalakan dan menyelamatkan umat di Merauke yang nyaris mencaplok hak-hak dasar tanpa mengikuti mekanisme yang diharapkan oleh semua pihak.
Berikut pernyataan Uskup Mandagi yang dibacakan Romo Ferry dalam seminar nasional itu.
“Kalau proyek food state (lumbung pangan nasional) adalah sebuah cara yang bagus untuk menyediakan makanan untuk orang banyak, baik yang ada di Papua dan di luar Papua, maka saya [Uskup Mandagi] setuju.”
“Papua Selatan diciptakan oleh Tuhan untuk banyak orang. Itulah berkat untuk orang Papua Selatan. Transmigrasi sudah lama, kalau ada berita, bahwa pak Prabowo melihat buah panen banyak, benih ikan segala macam itu, sawa-sawa yang sudah diolah oleh transmigrasi tahun 60/70-an.”
“Saya bicara tentang sawah yang menyediakan makanan langsung untuk manusia, bukan tentang perkebunan tebu atau sawit. Papua Selatan boleh berbanggalah telah memberi keuntungan baik bagi diri sendiri amupun untuk banyak orang. Banyak orang harus diutamakan, bukan segelintir orang.”
“Baik yang ada di Papua ataupun di luar Papua, yang berteriak-teriak diberlakukan tidak adil, padahal tidak buat apa-apa untuk orang asli Papua Selatan. Saya tegaskan, Keuskupan Agung Merauke sama sekali tidak pernah menjual tanah milik masyarakat adat untuk proyek food state. Tetapi kini uskup kini difitnah bahwa telah jual tanah milik masyarakat adat. “
“Pelaksanaan praktis food state bukan urusan keuskupan agung Merauke, itu urusan pemerintah. Gereja hanya mengingatkan bahwa proyek food state seharusnya untuk kemanusiaan dan bagi banyak orang. Dibalik proyek strategis ini harus ada kejujuran, baik yang mendukung maupun yang menolak. Jangan ada dusta dalam perjuangan kepentingan dalam kepentingan pribadi atau mencari kekuasaan.”
Pernyataan Uskup Merauke yang dibacakan Romo Ferry dalam channel YouTube Bentala Rakyat, selama 9 menit lebih itu kami menanggapi pernyataan Uskup Mandagi tersebut,” kata Kristianus Dogopia dari Suara Awam Katolik kemarin.
Pertama kata Dogopia, pernyataan Uskup Mandagi yang mengatakan bahwa proyek food state adalah sebuah cara yang bagus untuk menyediakan makanan bagi orang banyak, baik yang ada di Papua dan di luar Papua, maka setuju tapi keliru besar.
“Kami sebagai orang Katolik memahami dan setuju soal dogma gereja Katolik yang mengutamakan kepentingan banyak orang (bonnum commun). Tetapi food state bukan segala-galanya. Dari keutuhan alam, dengan cara bercocok tanam, berburu, meramu dan lainnya juga bisa menjamin kesejahteraan bersama.”
“Alam adalah sumber kehidupan tak terbatas. Dia menyediakan segala macam. Keutuhan alam juga justru mampu menyediakan makanan bagi orang banyak, lantas mengapa harus bergantung pada food state dengan menggundulkan hutan dan menghancurkannya dengan alat berat?” kata dia.
Maka disini kata dia menunjukkan bahwa Uskup Mandagi belum memahami konteks pastoral lokal, terutama nilai-nilai kebudayaan masyarakat adat yang bergantung pada alam. Bahkan Uskup menunjukkan sebuah sikap ketidakmampuan dalam mengkontektualisasikan karya pastoralnya.
Kedua kata Dogopia, pihaknya mengkritisi pernyataan Mandagi yang mengatakan Papua Selatan diciptakan oleh Tuhan untuk banyak orang. Itulah berkat untuk orang Papua Selatan. Transmigrasi sudah lama, kalau ada berita, bahwa Presiden Prabowo melihat buah panen banyak benih.
“Apakah dengan dalil Papua Selatan diciptakan oleh Tuhan untuk banyak orang, berarti siapa saja, termasuk transmigrasi boleh masuk dan melakukan apa saja sebebas-bebasnya, berdasarkan pengalaman tahun 60/70-an. Mandagi harus bertanggung jawab atas pernyataannya ini, kebetulan saat ini juga isu transmigrasi kembali nampak dalam Pemerintahan Prabowo guna menempatkan di Tanah Papua, termasuk di Papua Selatan.”
Ketiga, pihaknya mengecam pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan orang Papua Selatan boleh berbangga karena telah memberi keuntungan baik bagi diri sendiri maupun untuk banyak orang harus diutamakan, bukan segelintir orang.
“Sekali lagi, soal kepentingan umum itu baik adanya, tapi logikanya seperti apa. Orang hidup sekarat, tanah adatnya dicaplok tanpa kompromi dengan baik, lalu mau berbangga seperti apa? Apakah Mandagi berbicara dengan bahasa roh dan suara kenabian atau mengikuti relasi kepentingan khusus? Mandagi harus bertanggung jawab terhadap umat dan masyarakat di Papua Selatan.”
Kemudian poin keempat sebagaimana disampaikan Stenly Dambujai dari Suara Kuam Awam Katolik bahwa pihaknya menyayangkan pernyataan Mandagi yang menyatakan orang di Papua dan di luar Papua yang berbicara bahwa orang Papua tidak diberlakukan tidak adil, padahal mereka buat apa-apa untuk orang asli Papua Selatan.
Dalam pernyataan ini menurut Dambujai, Uskup Mandagi tidak perlu menunjuk jari kepada orang yang ada di luar. Orang luar, termasuk Suara Kaum Awam Katolik Papua mengkritisi pernyataan kontroversialnya.
“Ia harus memperhatikan hati, sikap, keberpihakan dan kepeduliannya sebagai gembala terhadap umatnya. Ia turun ke lapangan langsung atau mempersilahkan umat dan masyarakat datang mendengarkan kegelisahan dan harapan mereka. Bukan titip berita sama orang, apalagi suruh aparat untuk halangi umat di jalan dan menerima mereka di tengah jalan yang penuh debu dan bau sampah, yang seolah-olah orang Malind adalah orang asing yang tidak mempunyai harga diri di mata gereja Katolik,” tukas Dambujai.
Kelima dia menyatakan, Uskup Mandagi bisa membenarkan diri bahwa tidak menjual tanah, namun legitimasi yang diberikan Uskup memiliki indikasi relasi khusus, dimana mempermudah proses agar masyarakat dan umat kehilangan basis-basis sumber ketergantungan hidup yang berpusat pada tanah adat dan hutan adat.
“Keenam Semua orang telah memahami bahwa gereja tidak memiliki otoritas untuk menjalankan PSN ini. Tetapi pernyataan Uskup Mandagi yang menyatakan PSN atas nama kemanusiaan dan kesejahteraan banyak orang, walaupun benar, bertentangan dengan manusia yang adalah pemilik hak ulayat, juga umat Katolik di Merauke.”
“Bagaimana umat sendiri menolak, sementara Uskup sebagai pimpinan gereja terkesan memaksakan ataupun merayu umat agar menerima PSN atas nama kebaikan, kemanusiaan dan kesejahteraan umum.”
Ketujuh, setuju dengan pernyataan Uskup bahwa “dibalik proyek strategis ini harus ada kejujuran, baik yang mendukung maupun yang menolak. Jangan ada dusta dalam perjuangan kepentingan dalam kepentingan pribadi atau mencari kekuasaan.”
Ketujuh, kata mereka untuk menemukan kejujuran harus ada ruang dialog. Dialog harus didorong agar semua pihak menemukan benang merahnya.
Mandagi memiliki tanggung jawab moral dan memiliki kapasitas untuk memediasi semua pihak, baik yang pro maupun kontra untuk bicara baik-baik, Karena dialog tidak membunuh, tidak melukai dan tidak juga menyakiti.