JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Proyek Strategis Nasional (PSN) pangan di kabupaten Merauke, provinsi Papua Selatan, diminta segera dibatalkan karena berpotensi mengancam eksistensi masyarakat adat Malind lantaran berpeluang terjadi konflik horizontal dan dugaan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan genosida.
Desakan ini disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dalam siaran pers nomor 014/SP-LBH-Papua/XI/2024, Senin (11/11/2024).
LBP Papua menyatakan, pengembangan PSN pangan di Merauke melanggar hak masyarakat adat Papua yang dijamin dengan Pasal 18b ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 junto Pasal 6 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.
Pemberlakuan PSN pangan di Merauke, demikian LBH Papua, belum memiliki AMDAL dan izin lingkungan yang secara aturan setiap usaha dan atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL sebagaimana diatur Pasal 22 ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang pengolahan dan perlindungan lingkungan hidup.
Lanjut dikemukakan, kegiatan PSN di Merauke juga berdampak pada eksistensi Taman Nasional, Suaka Marga Satwa dan Cagar Alam beserta wilayahnya di kabupaten Merauke sebanyak 7 buah yang telah dijamin Pasal 33 Peraturan Daerah propinsi Papua nomor 23 tahun 2013 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi Papua tahun 2013 – 2033 dan Pasal 21 ayat (2) Peraturan Daerah kabupaten Merauke nomor 14 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten Merauke tahun 2010 – 2030.
Dibeberkan, PSN pangan di Merauke yang dilakukan di atas tanah dan hutan adat marga dalam wilayah adat Malind itu berpotensi konflik horizontal antara marga, sebab secara turun temurun masyarakat adat Malind telah hidup, tumbuh dan berkembang di atas wilayah adat marga masing-masing tanpa melakukan pencaplokan tanah adat marga antara sesama.
Dengan diambil alihnya tanah dan hutan adat milik beberapa marga oleh negara melalui pemerintah dengan program PSN pangan di Merauke jelas akan menghilangkan tanah dan hutan adat beberapa marga dan tentunya marga yang kehilangan hutan dan tanah adat marga yang selama ini telah memenuhi kebutuhan papan (rumah), kebutuhan pangan (makanan) dan kebutuhan sandang (pakaian) selanjutnya mereka akan hidup tanpa tanah dan hutan adat yang bakal memicu konflik antara sesama masyarakat adat Malind karena untuk bertahan hidup mereka akan memasuki tanah dan hutan adat milik marga lainnya.
Dengan melanggar hak masyarakat Malind dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta dampak konflik horizontal antara sesama masyarakat adat Malind, pada tanggal 10 November 2024 telah diadakan upacara penerimaan Yonif Teritorial Pembangunan 801/NAY, 803/WNJ, 803/KYK, Komando Pelaksana Operasi Resort Militer 174/ATW sebanyak 2 ribu pasukan TNI yang tiba di Merauke pada 10 November 2024.
Dalam video berjudul “2 Ribu Prajurit TNI Tiba di Papua Selatan Untuk Dukung Sejuta Lahan” yang ditayangkan kanal Youtube Liputan6, Brigjen TNI Andy Setiawan, Danrem 174 Animti menyebutkan beberapa tugas yang akan dilakukan oleh 2 ribu prajurit. Salah satu tugasnya, kata Dandrem 174 Animti, yakni “… Masyarakat khususnya di Papua Selatan yang saat ini mungkin masih kegiatan pertaniannya berpindah-pindah, masih dengan cara berburuh itulah nanti mereka akan memberikan pendampingan dan penyuluhan bersama-sama dengan masyarakat untuk menggiatkan khususnya terkait dengan ketahanan pangan di Papua Selatan …”
Kehadiran 2 ribu prajurit TNI di Merauke dengan tujuan mendukung sejuta lahan, dikhawatirkan akan menambah deretan panjang pelanggaran hak masyarakat adat Malind dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana terjadi sebelumnya. Sebab kehadirannya bukan hanya untuk mendukung PSN saja, melainkan tetap akan menjalankan tugas pokoknya sebagai TNI.
“Dengan melihat arahan Dandrem 174 Animti terkait dua ribu pasukan TNI akan bertugas untuk mengubah corak sosial masyarakat adat Animha yang sudah secara turun temurun bermata pencaharian berburu dan meramu menjadi petani itu menunjukkan dugaan terjadinya pelanggaran hak masyarakat adat Malind, sebab berburuh dan meramu adalah mata pencaharian secara tradisional masyarakat adat Malind sejak nenek moyang yang masih terus diwariskan sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, sehingga jika diubah tentunya akan melanggar hak masyarakat adat Malind.”
LBH Papua mencatat, upaya mengubah masyarakat adat Malind yang bermata pencaharian berburu dan meramu menjadi petani telah dilakukan sejak masa pemerintah Belanda di Papua dengan mengembangkan pertanian sawah di Kurik (Merauke), namun hal itu tak mampu mengubah masyarakat adat Malind menjadi petani. Begitupun pada masa pemerintah Indonesia di era Orde Baru melalui program Petani Inti Rakyat Transmigrasi (PIR Trans), dan dilanjutkan dengan pemberian HGU kepada perusahaan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Tetapi belum juga mampu dilakukan, justru melalui pendekatan itu telah memarjinalkan masyarakat adat Malind di atas tanah adatnya, sementara para petani yang didatangkan dari luar Papua semakin kaya raya dan masyarakat adat hidup seadanya dengan bergantung kepada hutan adat milik marganya masing-masing dengan menggunakan tradisi berburu dan meramu sesuai warisan nenek moyangnya.
“Semua fakta itu menunjukan bahwa masyarakat adat Malind menginginkan hidup dengan menggunakan corak hidup berburu dan meramu dari hutan adat milik marga mereka masing-masing, bukan bercorak petani sebagaimana diimpikan pemerintah melalui Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke yang akan diback-up oleh 2 ribu anggota TNI,” ujarnya.
Dengan tindakan penghancuran hutan adat masyarakat adat Malind oleh perusahaan pengemban PSN pangan di Merauke yang telah menghilangkan tempat berburu dan meramu hasil hutan oleh masyarakat adat Malind serta fakta kehadiran 2 ribu pasukan TNI yang akan bertugas untuk mengubah corak sosial masyarakat adat Malind, LBH Papua khawatirkan hal itu akan melahirkan dugaan tindakan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan genosida sebagaimana diatur pada Pasal 7 huruf a Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Diuraikan lagi, kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain sebagaimana diatur di Pasal 8 Undang-undang nomor 26 tahun 2000.
Penghancuran tempat berburu dan meramu masyarakat adat Malind serta melihat fakta kehadiran 2 ribu prajurit TNI jelas akan mengarahkan masyarakat adat pada posisi korban. Oleh karenanya, LBH Papua selaku kuasa hukum marga Kwipalo, marga Gebze dan marga Moiwend menegaskan:
- Presiden Republik Indonesia segera batalkan Proyek Strategis Nasional pangan demi melindungi masyarakat adat Malind dari ancaman konflik horizontal dan dugaan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan genosida.
- Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia segera evaluasi dan cabut kebijakan pelibatan TNI dalam Proyek Strategis Nasional di Papua yang bakal melahirkan konflik horizontal dan dugaan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan genosida terhadap masyarakat adat Malind.
- Ketua Komnas HAM RI dan kepala kantor Komnas HAM RI perwakilan Papua segera bentuk tim investigasi dan langsung tinjau lokasi pengembangan Proyek Strategis Nasional pangan di Merauke demi melindungi masyarakat adat Malind dari ancaman dugaan pelanggaran kejahatan genosida.
- Penjabat Gubernur Provinsi Papua Selatan wajib melindungi masyarakat adat Animha dari ancaman dugaan tindakan kejahatan genosida akibat pengembangan Proyek Strategis Nasional pangan di Merauke. []