JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Lima seruan dikeluarkan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dibawah kepemimpinan Manase Tabuni sebagai presiden eksekutif dan Octovianus Mote sebagai wakil presiden eksekutif, menyikapi berbagai dinamika dan kebijakan pemerintah Republik Indonesia atas Tanah Papua, termasuk program transmigrasi.
Seruan tersebut dibeberkan dalam media release eksekutif ULMWP pada 12 November 2024.
Pertama, seluruh rakyat di kawasan Pasifik, jaringan LSM dan gereja serta adat, mahasiswa dan pemuda untuk bangkit berdiri bersama bantu selamatkan kami bangsa Papua dari kejahatan kolonial Indonesia sejalan dengan tekad PBB untuk akhiri kolonialisme di wilayah kita. Jangan terjebak dengan perbedaan internal kami sebagai buah dari politik pecah belah melalui pribadi tertentu yang mementingkan posisi pribadi dan kelompok sejalan dukungan kalian selama ini atas hak penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan bangsa Papua, bukan kekuasaan pribadi.
Kedua, kepada pemimpin negara-negara Pasifik, kami mengucapkan terimakasih atas tekad anda dalam akhiri kolonialime di kawasan kita. Usaha mulia untuk menciptakan Pasifik sebagai kawasan damai hanya akan terwujud bila kita berani bersikap tegas menetapkan tahapan dengan dateline yang jelas terhadap negara kolonial. Sejalan dengan budaya di Pasifik, dimana segala sesuatu kita bicarakan di rumah adat, duduk setara di meja kava mencari jalan keluar yang damai. Indonesia diajak masuk duduk dalam MSG sebagai rumah adat Melanesia, namun mereka tidak mampu hargai adat dan budaya kita, mereka hadir untuk usir keluar ULMWP dari rumah bersama dengan dalih separatisme, internal isu mengadu domba dan kriminalisasi konsep kemanusiaan seperti hak penentuan nasib sendiri dengan kedaulatan bangsa.
Ketiga, dalam pertemuan MSG tahun lalu (2023) di Port Vila Vanuatu, delegasi Indonesia walk out ketika ULMWP diberikan kesempatan bicara dan demikian juga saat mereka diberikan kesempatan bicara meminta ULMWP harus keluar dari ruangan. Keputusan pimpinan sidang yang mengakomodasi arogansi kolonial yang injak adat dan budaya kita ini patut kita sesali dan karenanya perlu dipertanyakan kelayakan Indonesia yang sedang lakukan slow motion genocide, ecocide dan ethnocide di Tanah Papua ini dalam keanggotaannya dalam tubuh MSG.
Keempat, kepada rakyat bangsa Papua, kami juga menyerukan supaya bangkit dan bergerak memobilisasi untuk turun melakukan aksi tolak kebijakan pemerintah kolonial untuk pengiriman transmigrasi dan perampasan tanah di wilayah Merauke dan di wilayah West Papua lainnya.
Kelima, kami juga menyerukan semua rakyat yang dimotori hamba-hamba Tuhan dan kelompok doa dimana saja berada supaya mengambil intensi doa dan puasa khusus demi menghalau dan menghancurkan semua kuasa-kuasa iblis yang kelihatan dan tidak kelihatan, yang hadir di atas tanah air kami dan terus mengancam dan hendak membinasakan umat Tuhan di West Papua. Doa punya kuasa, Tuhan yang kita imani pasti mendengar doa dan seruan pertolongan dan penyelamatan kita.
Mari bersama, kita berpegang pada Mazmur 121, “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah datang dari Tuhan.” Tuhan yang sama telah menciptakan tanah dan manusia Papua kemudian menempatkan di negeri ini.
“Habiskan dan Kuasai” West Papua
“Bubarkan negara Papua Barat, rebut dan kuasai Papua dan kibarkan bendera Merah Putih di sana, Tanah air Indonesia.” Itulah semboyan revolusi kolonialisme yang dikomandokan Soekarno selaku presiden Republik indonesia. Dalam pertengahan tahun 1945, Moh. Hatta dan sejumlah pendiri negara Indonesia yang berpendidikan dan terutama mendekam di penjara kolonial Belanda di Tanah Papua menolak arogansi kolonialisme ini.
Karena mereka tahu betul bahwa “orang Papua bukan Indonesia, mereka bangsa lain.” Kata Hatta, dan karena itu, “biarkan mereka mengurus dirinya sendiri. Karena kalau tidak, bukan saja Papua, kita akan kuasai sampai di Solomon Islands sana.”
Suara kebenaran di Indonesia dikalahkan oleh suara sekelompok radikal ultra nasionalis sejak kemerdekaan. Itulah yang terjadi dari waktu ke waktu, saat Soeharto menggeser Soekarno dan menguasai Indonesia pada 1965. Kekuasaannya dibangun dengan membantai lebih dari 2 juta rakyatnya sendiri sesudah mencap mereka sebagai komunis, semata-mata karena berbeda dalam pandangan politik.
Kejahatan kemanusian itu tidak berhenti dan meningkat dimana-mana dalam era diktator militer tersebut. Jutaan hektare Tanah Papua dirampas, ratusan ribu orang Papua dibantai dimana-mana di wilayah Indonesia terutama di Acheh dan Timor Timur termasuk para penegak Hak Asassi Manusia dan hukum.
Pemimpin Indonesia yang benar seperti presiden BJ Habibie dan Abdurrachman Wahid hanya bisa bertahan kurang dari 3 tahun disingkirkan oleh komplotan partai politik, militer dan pengusaha. Itulah yang kembali terulang dalam proses dan hasil Pemilu 2024 yang menempatkan Prabowo Subianto, seorang militer pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan diberhentikan melalui keputusan militer pada 1998 menjadi presiden Republik Indonesia didampingi Gibran Rakabuming Raka, anak sulung presiden Joko Widodo melalui proses yang penuh kontroversi. Sejarah terulang kembali, mereka yang berkuasa dibawah rezim Orde Baru menguasai kepemimpinan nasional dan daerah, dimana militer yang dulu hanya diberi kewenangan dwi fungsi kini jadi multi fungsi sebagaimana diungkapkan Panglima TNI sendiri. Di West Papua mereka ada dimana-mana, termasuk kontraktor berbagai proyek nasional hingga menjadi penjaga pengusaha yang membabat alam di West Papua entah jadikan perkebunan atau pertambangan.
Nilai-nilai kebenaran dihancurkan, hukum diinjak dan mereka yang dulu berdiri tegak menegakkan kebenaran kini tertunduk dibawah kekuasaan dan bukan saja menjadi penasehat, tetapi masuk dalam kekuasaan bersama kriminal yang dulu mereka hakimi. Komplotan ini nyatakan dengan terbuka sejak dini akan niatnya hancur-leburkan alam Papua dan habiskan manusianya sebagaimana diuraikan berikut ini.
Pada hari pertama kekuasaannya, presiden Prabowo uraikan dalam beberapa program nasionalnya yakni; pertama, habiskan setiap usaha kemerdekaan West Papua dengan melipat-gandakan militer. Kedua, hidupkan kembali program transmigrasi yang sudah dihentikan pada tahun 2000 untuk mengirim kembali lagi jutaan manusia Indonesia penuhi Tanah West Papua sebagai bagian dari pasukan kolonisasi kependudukan. Dan yang ketiga merampok tanah adat masyarakat Papua untuk mengambil kekayaan alam dari dalam tanah, hutan dan lautan.
Keputusan ini merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya termasuk pemekaran provinsi secara paksa menjadi 6 provinsi.
Pernyataan Petinggi Militer Indonesia
Niat untuk habiskan orang Papua yang selama ini dilakukan secara perlahan, namun pasti, dalam pemerintahaan Prabowo dan Gibran ini hendak dipercepat guna mencapai target pada tahun 2045 saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan, West Papua tinggal nama.
Dua diantara tiga Jendral Angkatan Darat secara terbuka ungkapkan niat jahatnya adalah Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan dan Jenderal Hendro Priyono yang keduanya kini menjadi penasehat presiden Prabowo.
Pertama: “Kami tidak membutuhkan kalian. Mintalah kepada Amerika Serikat supaya membawa kalian dan merdeka di bulan atau di salah satu pulau di Pasifik.” Demikian Brigadir Jenderal Ali Moertopo, Jayapura, Papua, 1964.
Kedua: “Ya, pergi saja mereka ke MSG (Melanesia Spearhead Group) sana, jangan tinggal di Indonesia lagi.” Demikian Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Panjaitan, Jakarta, Februari 2016.
Ketiga: “Mekarkan (provinsi di) Papua agar pecah belah dan pindahkan dua juta orang Papua ke Manado agar Papua diisi orang pendatang.” Demikian Jenderal Purnawirawan A.M. Hendropriyono, Jakarta, Februari 2021.
Kutipan di atas datang dari pejabat militer Indonesia yang ketiganya juga berasal dari satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dalam pandangan mereka terungkap jelas bahwa mereka tidak pernah berpikir tentang nasib manusia Papua, tetapi hanya tanah dan kekayaan alam Papua saja.
Kita juga masih ingat teriakan rasisme, oleh anggota TNI bersama warga sipil di asrama Kamasan Surabaya pada Agustus 2019 dengan yel-yel mereka, “usir-usir, usir Papua sekarang juga, usir-usir monyet Papua sekarang juga.” Demikian juga ungkapan ketua MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia), Bambang Soesatyo pada April 2021, “tumpas habis mereka. Urusan HAM belakangan.” Demikian juga ungkapan rasis dari mantan presiden Indonesia, Megawati Soekarno Putri, pada Juni 2022 dengan menyebut John Wempi Wetipo, yang hitam harus di-“kopi susu”-kan. Sebagaimana pemikiran elit militer tadi, demikian juga elit sipil Indonesia.
Dilandasi dengan pemahaman dan kebijakan rasisme pada bangsa Papua, selama 61 tahun (1963-2024) pendudukan Indonesia telah memperlakukan bangsa Papua seakan bukan sebagai manusia.
Selama pendudukan Indonesia di West Papua, program transmigrasi secara resmi dimulai pada 1971. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) provinsi Papua pada 2001 menyebutkan bahwa sejak tahun 1971-2000, pemerintah Indonesia telah mengirim 719.866 orang transmigran asal Indonesia di wilayah West Papua. Dari presentasi yang keluar dari Papua dalam waktu yang sama (1971-2000) tersebut hanya 99.614 orang transmigran.
Dilihat jumlah masuk dari tahun ke tahun yang masuk di West Papua, maka pada 1971, 33.513 orang, pada 1980, 99.030 orang, 1990 261.308 orang dan pada tahun 2000 berjumlah 332.015 orang. Jumlah tersebut menempati lokasi di kabupaten Jayapura, Keerom, Nabire, Sorong, Manokwari, dan Merauke. Dampak transmigrasi mengakibatkan 5 kota/kabupaten di Tanah Papua: kota Jayapura, kota Sorong dan kabupaten Keerom, Mimika dan Merauke penduduk asli Papua saat ini telah menjadi minoritas di atas tanah leluhurnya.
Bertolak pada pengalaman 61 tahun pendudukan Indonesia di West Papua, ULMWP berpandangan bahwa istilah transmigrasi adalah:
- Kata lain dari invasi sipil dan militer atau politik pendudukan atas rakyat bangsa Papua,
- Transmigrasi merupakan ancaman laten bagi kepunahan orang asli Papua sejak tahun 1963 – 2024,
- Program transmigrasi baik dengan cara legal maupun ilegal di West Papua dapat dipandang sebagai indikasi kuat ancaman genosida, etnosida dan ekosida perlahan.
- Melalui kebijakan transmigrasi maupun berbagai kebijakan oleh pemerintah Indonesia selama ini mengantar bangsa Papua mengalami nasib sama seperti orang Aborigin di Australia dan orang Indian di USA.
Gambaran Demografi Kabupaten Merauke
Sekitar 122 tahun lalu orang Merauke (Malind Anim) berkontak dengan orang luar. Kontak komunikasi pertama orang luar dengan orang Merauke dan suku-suku sekitar: Muyu, Mandobo, Auyu, Mappi dan Asmat terjadi pada 1902 dengan tibanya pemerintah Belanda di wilayah itu. Tiga tahun kemudian, pada 1905, Misionaris Gereja Katolik tiba di wilayah Merauke.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah 1963, pemerintah Indonesia menduduki West Papua, wilayah kabupaten Merauke dijadikan salah satu tujuan transmigrasi penduduk dari Indonesia masuk menduduki West Papua.
Pada tahun 1964-1993 jumlah transmigrasi yang dikirim ke Merauke 13.482 kepala keluarga (KK) dengan jumlah orang 54.051 jiwa dengan presentase 31.87%. Jumlah transmigrasi tersebut dikirim di 7 wilayah/lokasi. Dilihat dari populasi jumlah penduduk pada 1985-1995 sebanyak 209.200 jiwa. Dilihat dari presentasinya, pada 1995, jumlah orang asli Papua 70.9% dan non Papua 21.3%. Populasi penduduk kabupaten Merauke setelah pemekaran kabupaten Mappi, Asmat dan Boven Digoel pada 2003-2010, dari total 195.716 jiwa, jumlah orang Papua sebanyak 72.826 jiwa atau 37,21% sedangkan non Papua sebanyak 122.890 jiwa atau 62,21%.
Dari data presentasi ini terlihat jelas bahwa orang Merauke dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun ini menjadi minoritas. Dalam kurun waktu 13 tahun antara 2010-2023, jumlah populasi penduduk di kabupaten Merauke sebanyak 230.932 jiwa atau penambahan penduduk 35.216 jiwa.
Otsus dan Pemekaran Paket Transmigrasi Baru
Perubahan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus (Otonomi Khusus) Papua dengan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 dibuat pemerintah Indonesia sebagai pijakan hukum dalam meligitimasi pemekaran provinsi Papua. Sebelumnya sesuai pasal 76-77 UU Otsus 2001, pemekaran provinsi disetujui gubernur Papua, DPRP Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Tetapi dengan perubahan sepihak melalui UU nomor 2 tahun 2021, kewenangan pemekaran diambil alih oleh pemerintah pusat.
Pemberian Otsus pada 2001 dan 2021 bertolak belakang dengan praktek otonomi di berbagai wilayah konflik di dunia. Sebab sebagaimana diketahui bersama, biasanya lahirnya otonomi khusus (Otsus) ataupun kebijakan lainnya di suatu wilayah konflik lahir atas kesepakatan kedua pihak yang berkonflik, tetapi Otsus Papua dibuat oleh pemerintah Indonesia merupakan murni penipuan kepada publik internasional, sebab diberikan sepihak sebagai tawaran pemerintah atas tuntutan kemerdekaan bangsa Papua yang memuncak pasca reformasi Indonesia 1998.
Bangsa Papua ketika itu menuntut hak menentukan hak politik untuk merdeka dan berdaulat yang disampaikan melalui aksi demonstrasi rakyat Papua di berbagai wilayah di Tanah Papua dan sejumlah kota di Indonesia sejak Mei 1999-2001; tuntutan 100 orang wakil Papua pada Februari 1999 kepada presiden Indonesia, Prof. B.J. Habibie; dan musyawarah besar (Mubes) Papua dan Kongres Papua II tahun 2000.
Karena waktu itu pemerintah Indonesia belum siap menghadapi tuntutan bangsa Papua, sehingga terjadi kompromi antara pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah provinsi Papua di Jayapura. Setelah pemerintah Indonesiala gagal melaksanakan Undang-undang Otsus Papua selama 20 tahun, pemerintah yang sama memaksakan pelaksanaan Otsus jilid 2 pada 2021 dengan agenda utama meloloskan pemekaran Papua demi mempercepat eksploitasi kekayaan alam Papua dan proyek pendudukan sipil dan politik di Tanah Papua.
Tujuan utama pemekaran ini dibuat untuk politik pendudukan sipil dan militer secara masif di Tanah Papua yang pada akhirnya mempercepat ancaman genosida, etnosida dan ekosida pada orang asli Papua.
PSN dan Ancaman Genosida, Etnosida dan Ekosida
Dalam satu dekade terakhir, bangsa Papua mengalami kehancuran tanah dan hutan besar-besaran. Kabupaten Merauke menjadi yang terbesar terjadinya kehancuran alam dan perampasan tanah. Di kabupaten ini pada akhir pemerintahan presiden Joko Widodo mengizinkan 10 perusahaan untuk mengelola 2 juta hektare tanah untuk investasi proyek strategis nasional (PSN).
Dalam laporan Yayasan Pusaka jelas membeberkan tentang faktanya PSN Merauke yang berskala luas mencapai 2 juta hektare dan telah menggusur, merusak dan menghilangkan hutan adat dan sumber kehidupan masyarakat adat, tanpa kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), AMDAL dan perizinan persetujuan kelayakan lingkungan sebagai persyaratan terkait pencegahan dampak sosial dan lingkungan.
Pemerintah Indonesia dan perusahaan tidak sepenuhnya melaksanakan konsultasi dan sosialisasi melibatkan masyarakat luas. Masyarakat tidak diberikan dan mendapatkan informasi proyek dan diberikan kebebasan untuk membuat keputusan atas PSN Merauke yang berlangsung di wilayah adat. Pemerintah membuat keputusan dan memberikan izin usaha yang merampas tanah adat, perusahaan menggunakan aparat militer untuk mengintimidasi dan mengamankan proyek.
Kebijakan dan fakta PSN Merauke menunjukkan Indonesia mengabaikan dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas pangan dan gizi, hak pelestarian budaya dan adat istiadat, hak bebas dan hak mendapatkan rasa aman dan damai, sebagaimana diatur dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945) dan peraturan perundang-undangan, maupun instrumen HAM internasional.
Demikian pula korporasi, operator dan perantara proyek telah melakukan aktivitas pengembangan kebun dan lahan pertanian tanpa menghormati dan merampas hak masyarakat adat, merusak lingkungan hidup dan menghancurkan sumber kehidupan masyarakat adat, yang bertentangan dengan prinsip dan ketentuan usaha berkelanjutan dan HAM.
Berikut ini 10 perusahaan perkebunan tebu dan pemilik saham:
- PT Global Papua Abadi (Antoni, SE dan Angelia Bonaventure Sudirman)
- PT Murni Nusantara Mandiri (Tan Keng Liam dan David King)
- PT Andalan Manis Nusantara (Antoni, SE dan Angelia Bonaventure Sudirman)
- PT Semesta Gula Nusantara (Antoni, SE dan Angelia Bonaventure Sudirman)
- PT Berkat Tebu Sejahtera (Tan Keng Liam dan Angelia Bonaventure Sudirman)
- PT Agrindo Gula Nusantara (Antoni, SE dan Angelia Bonaventure Sudirman)
- PT Sejahtera Gula Nusantara (Tan Keng Liam dan Angelia Bonaventure Sudirman)
- PT Global Papua Makmur (Tan Keng Liam dan Angelia Bonaventure Sudirman)
- PT Dutamas Resources International (Dudy Christian, Angell Madeleinne, Michael Angelo, dan Rita Rushy)
- PT Borneo Citra Persada (Silvia Caroline Fangiono)
Pemerintah Indonesia menggunakan kawasan sentra produksi pangan (KSPP) untuk mengakomodasikan lahan proyek cetak sawah baru satu juta hektar dan perkebunan tebu dan bioethanol. Kawasan KSPP terdiri dari lima klaster dan tersebar di beberapa wilayah distrik. Keseluruhan lokasi cetak sawah baru berada pada wilayah adat masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima dan Yei. Diperkirakan lebih dari 50.000 penduduk asli akan terdampak dari proyek tersebut.
Ketersediaan lahan KSPP terdapat 5 klaster. Klaster pertama, 371.189 Ha di distrik Kimaam, Tabonji dan Ilwayab; klaster kedua, 283.066 Ha di distrik Ilwayab, Tubang; Klaster ketiga, 632.000 Ha di distrik Animha, Kurik, Malind, Tanah Miring, Jagebob; klaster keempat, 352.000 Ha di distrik Tubang, Ngguti, Okaba; dan klaster kelima, 651.000 Ha di distrik Ngguti, Kaptel, Muting, Ulilin, Okaba.
Presiden Prabowo dan Ancaman Eksistensi Bangsa Papua
Kebijakan PSN di Merauke pada masa kepemimpinan presiden Prabowo akan dilanjutkan apa yang telah ditetapkan presiden Joko Widodo. Ancaman kepunahan genosida, etnosida dan ekosida bangsa Papua akan lebih cepat pada masa presiden Prabowo. Para menteri yang diangkat setelah dilantik langsung berbicara tentang pengiriman transmigrasi dan pertanian di Tanah Papua.
Proyek ini akan mendatangkan pekerja dalam jumlah besar dari luar Papua. Mereka akan datang mengambil alih pekerjaan di PSN. Para pekerja yang datang tidak hanya sebagai individu, tetapi jumlah puluhan hingga ratusan ribu orang akan datang dengan pasangan suami atau istri. Maka, dalam waktu yang singkat orang non Papua akan datang memenuhi Merauke dan sekitarnya.
Transmigrasi merupakan proyek penduduk masif atas tanah manusia Papua. Pendudukan ini tak hanya oleh warga sipil Indonesia, tetapi juga mobilisasi personil dan infrastruktur TNI/Polri. Pemekaran di Tanah Papua merupakan satu kesatuan dari bentuk dari lain proyek pendudukan West Papua.
Bagi rakyat Papua, presiden Prabowa merupakan pelaku pelanggaran HAM berat di wilayah Timika, Jila, Bela, Alama dan Mapenduma pada tahun 1996. Operasi pembebasan sandera Tim Peneliti Lorenz yang berdampak pada pelanggaran HAM berat masih terpatri dalam ingatan penderitaan orang Papua. Setelah Prabowo dilantik sebagai presiden Indonesia, kami terima pesan berikut ini dari Timika:
“… Selamat malam adik tuan, kami sampaikan bahwa ada rasa takut/trauma DOM kembali menghantui kami yang pernah menyaksikan, bahkan pernah mengalami kekerasan saat DOM berlaku. Seluruh warga negara Indonesia menikmati tayangan pelantikan RI 1, tetapi khusus orang Agimuga di Timika, terutama mama-mama hampir semua ketakutan dan ke rumah tanya-tanya bagaimana kedepannya nanti. Mama hanya bisa jawab bahwa kita ini milik Tuhan, kita berdoa untuk kita dan pejuang-pejuang kita semoga yang terbaik yang nanti terjadi dalam generasi berikut kita. Ada rasa putus asa mendalam terlihat di raut wajah mama-mama. Yang pasti kami selalu berusaha tersenyum dan kuat di depan mereka walaupun agak goyang juga dengan pelantikan RI 1 ini. Begitu adik tuan, suasana hati mama-mama saat pelantikan RI 1. Yang pasti kami imani bahwa Tuhan Yesus menyertai kita sampai akhir zaman.”
Solusi Demokratis Bagi Bangsa Papua
Berbagai upaya operasi dan proyek pembangunan Indonesia di Indonesia merupakan proses genosida, ekosida dan etnosida di West Papua. Ancaman ini nyata sejalan dengan pernyataan para jenderal pasukan khusus dan elit sipil yang kami telah sebutkan di bagian awal. Oleh sebab itu, kami menegaskan bahwa bangsa Papua tidak mempunyai masa depan hidup dengan bangsa Indonesia. Bersama Indonesia sama dengan mempercepat pemusnahan orang Papua.
Dunia tidak bisa menutup mata menyaksikan pemusnahan bangsa Papua yang sedang dilakukan oleh kolonial Indonesia. Di tengah situasi dunia yang dilanda perang di berbagai belahan bumi termasuk di Tanah Papua yang sudah berlangsung sejak 1 Mei 1963, saat Indonesia menguasai Tanah Papua. Operasi militer demi operasi militer (22 bentuk operasi militer Indonesia) dilakukan di Tanah Papua bukan saja membantai orang Papua, juga melanggar aturan hukum Indonesia sendiri, karena semua operasi itu dilakukan tanpa persetujuan dari DPR RI. Uang negara yang dipergunakan dan target operasi tidak pernah dipertanggungjawabkan secara terbuka dalam sidang DPR RI.
Negara-negara di Pasifik tidak diam dalam menyuarakan apa yang rakyat Papua hadapi. Dalam pertemuan di Port Moresby 2015, anggota PIF meminta Indonesia izinkan sebuah tim pencari fakta yang melakukan humanitarian assesment ke Tanah Papua. Selama 3 tahun, permintaan yang sama terus disuarakan melalui Sekretaris General Forum maupun oleh beberapa kepala negara yang ditugaskan sebagai special envoy, namun Indonesia sama sekali tidak menggubrisnya. Maka tahun 2018, mereka meningkatkan permohonan bukan lagi tim pencari fakta atas nama negara-negara Pasific Island, melainkan UN Human Rights Commissioner.
Dukungan atas permintaan tersebut meningkat dari tahun ke tahun hingga saat ini tidak kurang dari 79 negara yang tergabung dalam koalisi ACP (Afrika Caribian Pacifi) dalam pertemuan mereka di Naerobi Kenya pada Desember 2018 meminta Indonesia hal yang sama. Indonesia bahkan menjanjikan akan membuka pintu masuk ke Papua, namun tidak pernah diizinkan hingga detik ini dengan 1001 macam alasan.
Posisi kepala negara dan para politisi di Pasifik terhadap masalah Papua tidak terlepas dari kerja keras Gereja, seluruh lembaga swadaya masyarakat, pemuda dan mahasiswa serta lembaga-lembaga adat di wilayah Melanesia, Polinesia dan Micronesia. Kebangkitan Pasifik yang menjadi fenomenal sejak tahun 2015, ketika United Liberation Movement for West Papua memperjuangkan keanggotaannya dalam Melanesian Spearhead Group. Gelombang dukungan itu meningkat dengan terbentuknya PICWP, Pacific Island Coalition on West Papua. Setiap tahun masalah kemanusiaan di Tanah Papua dibicarakan dalam retreat pemimpin PIF dan menugaskan beberapa negara sebagai special envoy, namun hasilnya tidak pernah menghasilkan sesuatu keputusan yang bermakna dalam menghentikan kejahatan kemanusiaan. []