JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Willem Kiryar, salah satu personel grup musik Mambesak, pencipta lagu ‘Mu man minggil’, ‘Ma me ayo’, dan ‘Maitusyom’, meninggal dunia, Kamis (14/11/2024). Kisah perjuangan dan karya besar bersama Mambesak ditinggalkan sebagai kenangan abadi bagi masyarakat Papua hingga pelosok terpencil.
Lahir di Arso, Keerom, 26 Juni 1956. Willem Kiryar menyelesaikan pendidikan di jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura tahun 1982. Sejak berstatus mahasiswa Uncen (1978-1982), ia bergabung dengan Mambesak.
Puluhan tahun berlalu. Kabar duka pun datang. Budayawan sekaligus seniman legendaris Papua itu berpulang ke rumah abadi dalam usia 67 tahun. Bapak Willem pergi tinggalkan karya besarnya bersama grup musik Mambesak.
***
Igir Al Qatiri, penulis dan sastrawan Papua, mengisahkan awal perjumpaan dengan Willem Kiryar. Ia menulis dalam satu catatan apik pada 19 Mei 2020.
Berikut catatan reflektif Igir.
Mungkin di bawah langit Papua ini, diriku salah satu makhluk yang diberkati oleh cahaya kasih keberuntungan dalam takdir. Karena diriku pernah berjumpa dengan tokoh-tokoh hebat Tanah Papua yang berkecimpung di dunia musik. Dimana mereka menyerahkan hidup mereka tanpa sarat bagi perubahan Tanah Papua lewat karya-karya mereka sekalipun nyawa mereka menjadi taruhan.
Aku pernah berjumpa secara langsung dengan hampir semua mayoritas personel Black Brothers (BB). Dimana diriku mendengar semua cerita mereka secara saksama dan diriku terpenjara di dalam kagum.
Begitu juga diriku sempat bertemu dengan beberapa orang saja dari personel Mambesak maupun istri mereka. Tetapi perbedaan yang kudapati dari keduanya sangat berbeda. Menurutku, hanya orang-orang ganjil yang dapat menentang badai dan bertahan. Atau hanya mereka yang memiliki hati untuk Papua yang tak gentar terbunuh di medan perang.
Kalau dirimu tak memiliki senjata, maka sebaiknya jangan pernah melemparkan diri anda ke medan perang. Kata-kata perumpamaan itu yang dapat kugambarkan tentang situasi yang menikam jiwaku tak terduga yang kudapati saat berjumpa dengan mereka.
Kira-kira 5 tahun yang lalu, diriku berjumpa dengan bapak Willem Kiryar. Salah satu personel Mambesak dari album pertama hingga kelima. Saat itu diriku bersama Edmon Pattipeilohy dan mantan kekasihku pergi ke Keerom untuk berjumpa dengannya. Setelah melewati proses yang panjang dan berliku, akhirnya kami mendapati rumah beliau.
Sungguh malang ternyata ketika kami bertiga sampai ke rumahnya beliau sudah di atas motor bersama istrinya hendak ke kebun. Dengan matanya yang tajam seolah hendak menelanjangi kami.
Ketika diriku bertanya, apakah betul ini rumah bapak Willy Kiryar? Beliau langsung secara spontan menjawab dari atas motor, “Kalian ini siapa? Kalian mahasiswa kah? Kalau kalian mahasiswa, dari fakultas mana? Kalian wartawan kah? Kalau kalian wartawan, mana kartu pers? Kalau kalian intel, kalian intel mana, Polri atau TNI?”. Seperti itulah ekspresi beliau saat pertama kali berjumpa.
Karena kami tiada menyangka akan disambut seperti itu, pada akhirnya kami bertiga kelabakan dalam menjawabnya. Dengan sedikit terbata, diriku memperkenalkan nama.
Setelah mendengar namaku, beliau agak termenung sejenak lantas kembali memberondong kami dengan pertanyaan, “Apakah betul kamu Igir Al Qatiri? Soalnya saya beberapa kali melihat dalam diskusi di TV Papua, kalau rambutnya panjang, tidak sepertimu.”
Saat itu diriku lantas terdiam, tetapi mantan kekasihku meyakininya. “Betul bapak, ini kaka Igir. Rambutnya sudah dipotong.” Rupanya mantan kekasihku berhasil meyakinkannya.
Bapak Willy Kiryar lantas mengatakan kepada istrinya untuk segera berangkat saja ke kebun sendiri, karena ia hendak bertemu dengan kami. Dengan penuh cinta dan kasih sayang, beliau mengajak kami ke rumahnya.
Dalam beberapa langkah menuju rumahnya, ia mengatakan kepadaku dengan nada yang tegas berapi-api, “Igir, di Papua besar ini bukan cuma Black Brothers saja yang ada. Mambesak pun juga ada. Kamu ingat itu. Kami juga punya sejarah besar bagi dunia musik di Tanah Papua, terutama musik etnik Papua. Kamu harus menulisnya juga.”
Singkat kata, hari itu saya dapat menggambarkan kalau mungkin para personel Mambesak dibesarkan dalam arogansi aparat yang berlebihan kala itu kepada mereka. Sehingga mereka benar-benar sangat tak percaya dengan orang asing yang baru mereka temui. Mungkin dengan cara itu mereka melindungi diri dan keluarga. Bahkan hari itu di perjumpaan pertama kami membawa pinang 1 oki/mayang pun tak disentuh olehnya. Ketika kami hendak berpamitan pulang, beliau menyuruh kami untuk membawa kembali pinang serta daun teh, gula, dan kopi.
Itu di pertemuan pertama. Setelah itu di pertemuan-pertemuan selanjutnya, setiap kali kami hendak pulang selalu saja beliau menangis dan berdoa meminta kami untuk segera datang lagi menengoknya.
Bahkan sambil menangis, beliau menepuk bahuku dan berkata, “Kalau dirimu ingin umur yang panjang agar dapat terus berkarya bagi Tanah Papua, kamu harus jaga makan, jaga minum, jaga pinang, dan jaga rokok serta hati-hati dengan perempuan. Ingat di Papua banyak orang jahat yang iri. Apabila kamu berseberangan pemikiran dengan pemerintah. Kalau mereka gagal mendapatkanmu, mereka akan menggunakan keluargamu sendiri untuk membunuhmu.”
Nasehat seperti ini sebelumnya pernah kudengar ketika diriku diundang memberi kuliah umum di Unipa Manokwari. Usai kegiatan itu, kusempatkan diri untuk mencari salah satu personel Mambesak, bapak Thontje Wolas Krenak. Beliau selaku koordinator tari di Mambesak. Seperti biasanya beliau cenderung skeptis terhadap orang yang baru ditemuinya. Tetapi ketika kami sudah berbincang beberapa lama, beliau sangat akrab. Bahkan saking mencairnya komunikasi kami tentang mimpi-mimpi indah bagi Tanah Papua, kami sampai lupa waktu. Kami bertemu jam 19.00 malam sampai jam 3.00 subuh baru kami berpisah.
Di akhir perpisahan, bapak Wolas berdoa dan memberi nasehat yang sama pula dengan bapak Willy Kiryar.
Bahkan diriku masih sangat ingat pengakuan bapak Willy Kiryar, bahwa ia menguasai 7 bahasa dari negara yang berbeda dan 4 bahasa daerah Papua. Kini beliau sudah tak ada. Pemerintah Keerom benar-benar menyia-nyiakan kecerdasannya, sehingga beliau memilih kembali ke PNG.
Atas nama kebingungan, mari kita udik untuk kebodohan yang kehilangan makna di atas Tanah Papua.
Oh mengerikan!
Dan aku selalu berduka kala mengingat dirinya.
“Duka adalah tempat di mana air mata berbicara tentang kejujuran. Sedangkan kebodohan adalah duka panjang yang tiada bertepi di atas lautan ilmu pengetahuan. Dimana cinta dan kasih sayang atas nama perubahan begitu enggan mendekatinya.”
Itu sepenggal pengalamanku yang kudapati dari perbedaan antara para personel BB dan Mambesak.
***
Lagu “Mu man minggil” sangat populer di telinga orang Papua. Setidaknya sejak era 80-an. Rangkaian kata-kata dalam lagu ini Willem Kiryar susun setelah saksikan langsung fakta miris di negeri leluhurnya, Keerom.
‘Mu man minggil’ artinya jalan ke tanah leluhur.
Ia ciptakan lagu lawas itu pada tahun 1976. Saat rekaman lagu-lagu Mambesar volume 4, lagu ini dinyanyikan langsung penciptanya sendiri dengan diiringi alunan musik dari Arnold Ap.
Berikut syairnya:
Mu man minggil kai bekei smet wat
Yus yata timtom fofuso
Nu manggi uwel nek waukhu
Semfat yemse takhul yen
Nase nase aya kwas.
(Jalan ke tanah leluhurku tidak dirawat,
Sudah ditumbuhi oleh semak belukar,
Ibarat anak yatim piatu yang tidak punya mama bapak).
Sempat meninggalkan kampung halamannya, hijrah ke negara tetangga: PNG. Beberapa kali pergi pulang, hingga akhirnya kembali ke kampung dan menetap sejak beberapa tahun lalu. Meninggal dari kampung halaman sendiri, meninggalkan karya besar buat orang asli Papua.
Kami mengenangmu, bapak Wilem Kiryar. Selamat jalan ke rumah Sang Pencipta…. []