SORONG, SUARAPAPUA.com — Berita baik untuk masyarakat adat di Indonesia dan khusus Tanah Papua. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat masuk sebagai RUU prioritas pada 2025 nanti. DPR RI akan memberikan pengakuan secara hukum terhadap eksistensi masyarakat hukum adat.
DPR RI menetapkan RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2025.
Dilansir Tempo.co edisi Rabu (20/11/2024), Martin Manurung, anggota Badan Legislasi (Baleg), optimisi RUU Masyarakat Hukum Adat disahkan tahun depan. Ia menilai regulasi tersebut akan memberikan pengakuan secara hukum terhadap eksistensi masyarakat adat.
“Kami dari Fraksi Partai NasDem menilai RUU ini mendesak untuk disahkan. Karena harus ada aturan yang dapat memberikan pengakuan, perlindungan, pemberdayaan, jaminan dan kepastian hukum bagi masyarakat adat,” ujarnya.
Martin menjelaskan, RUU Masyarakat Adat akan dibahas di Baleg DPR RI.
Kata dia, dalam pembahasan nanti melibatkan pihak terkait seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan kelompok masyarakat sipil yang fokus mengawal persoalan masyarakat adat.
Pihaknya mengapresiasi keterlibatan fraksi dan juga Baleg yang menjadikan pengusul RUU Masyarakat Hukum Adat. Hal tersebut menandakan keseriusan DPR merampungkan RUU Masyarakat Hukum Adat dan disahkan menjadi Undang-undang.
“Kami optimis RUU Masyarakat Hukum Adat akan selesai tahun depan,” tambahnya.
Menurut Martin, RUU Masyarakat Adat akan mengacu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 tahun 2012. Putusan tersebut merupakan hasil dari uji materi terhadap UU Kehutanan. Dalam putusan itu MK menghapus frasa “Negara” dalam rumusan pasal 1 UU Kehutanan yang mengatur tentang pengertian hutan adat. Hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
“Dalam menyusun naskah akademik, kami akan memperhatikan putusan MK tersebut,” kata Manurung.
Daniel Johan, anggota Baleg Fraksi PKB, mendukung dan menyatakan salah satu proritas fraksi PKB tahun ini adalah pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. Ia minta agar publik terus mengawalnya.
Sementara itu, Ok Sidin, ketua umum Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI), menegaskan, tak ada alasan bagi DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU Hukum Masyarakat karena RRU tersebut merupakan perintah konstitusi.
“Tidak ada alasan DPR dan pemerintah menahan RRU Masyarakat Adat. RUU ini mendesak untuk segera disahkan karena selama ini banyak sengketa pertanahan yang tidak terselesaikan,” tegas Sikin.
Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, menyebutkan salah satu substansi RRU Masyarakat Adat adalah pengakuan atas hutan adat dan ruang hidup masyarakat adat. Ia menilai selama ini konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan dan pemerintah karena tidak ada pengakuan secara hukum atas hutan dan wilayah hukum adat.
“Oleh sebab itu, kami mendesak DPR dan pemerintah tidak lagi menunda pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. RUU adalah amanat konsistusi dan akan melindungi hak-hak masyarakat adat serta memberikan kapastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan,” ujarnya dilansir Tempo.
Abdon Nababan, mantan Sekjen Aman, mengatakan, kehadiran RUU Masyarakat Adat sudah mendesak untuk memastikan kewajiban konstitusional negara untuk mengakui, menghormati, dan melindungi keberadaan masyarakat adat dan hak asasi yang melekat padanya.
Lanjut Abdon, kehadiran RUU juga untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi 70 juta masyarakat adat juga secara nyata akan mencipatakan perdamaian dan memperkuat solidaritas kita sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh karena itu, ia berpesan kepada masyarakat adat untuk ikut kawal bersama agar proses pembahasan RUU Masyarakat adat di DPR RI berjalan lancar sampai pengesahan di tahun 2025.
“Mari kita kawal bersama-sama agar proses pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR RI berjalan lancar sampai disahkan pada tahun 2025 nanti,” kata anggota Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat itu kepada Suara Papua, Rabu (20/11/20224).
Nasib RUU Masyarakat Hukum Adat tak jelas selama belasan tahun ‘takandas’ di Senayan sejak pertama diusulkan tahun 2010 lalu. Sudah tiga kali periode DPR yakni dari 2010 hingga 2024, RUU ini masuk dalam daftar Prolegnas, namun tak pernah disahkan. []