JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua menilai, pemerintah cenderung melihat Tanah Papua sebagai lahan kosong dan cocok untuk dijadikan lokasi mega proyek. Padahal, dari sejumlah mega proyek pemerintah lakukan sebelumnya di Merauke, Papua Selatan, dianggap gagal dan memberikan dampak buruk bagi masyarakat dan hutan adat di wilayah setempat.
WALHI Papua bahkan mengecam kebijakan pemerintah pusat yang kini tengah membangun perkebunan tebu dan industri etanol di kabupaten Merauke. Kebijakan yang diambil pemerintah dianggap sebagai bentuk kekerasan negara terhadap masyarakat pemilik ulayat, karena kebijakan yang diambil cenderung top down.
“Kebijakan proyek perkebunan itu sebenarnya mau menunjukkan bahwa pemerintah tidak menghargai masyarakat adat di kabupaten Merauke, karena kebijakannya top down, tanpa persetujuan masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat,” kata Maikel Primus Peuki, direktur eksekutif WALHI Papua, baru-baru ini.
Peuki menyebut proyek strategis nasional (PSN) dari pemerintah di Tanah Papua membuat masyarakat adat korban, juga kehilangan sumber kehidupan yang didapat dari alam.
“Kebijakan PSN ini mengorbankan masyarakat adat. Mega proyek di Merauke dan sekitarnya seperti Merauke Integrated Rice Estate (MIRE), Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE) dan food estate menunjukkan kegagalan pemerintah yang cukup besar dan itu merugikan negara dan masyarakat adat Papua yang telah kehilangan sumber-sumber kehidupan,” ujarnya.
Lanjut dikemukakan, mega proyek pangan di kabupaten Merauke akan membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan. Hal ini berangkat dari pengalaman proyek MIRE dan MIFEE yang gagal hingga menimbulkan dampak kerugian sangat besar bagi masyarakat adat pemilik tanah dan kerusakan hutan di wilayah Papua Selatan.
Maikel menyatakan proyek perkebunan tebu tidak menunjukkan gambaran positif ke depan, baik keuntungan negara, dimana pasarnya, keuntungan masyarakat termasuk perhitungan pendapatan nantinya untuk Pemprov Papua Selatan dan pemerintah kabupaten Merauke.
“Justru yang terjadi nanti masyarakat punya lahan yang begitu besar, hutan Papua Selatan semakin hari semakin dibabat terus, dan itu sangat merugikan masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung dengan hutan dan alam,” tegasnya.
Terkait pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia tentang tak perlu lagi kajian sosio-ekologi terkait proyek pangan di Merauke, Peuki menilai pendekatan dari pemerintah justru sangat arogan dan brutal tanpa memikirkan aspek lain.
“Pemerintah cenderung melihat Papua ini sebagai tanah kosong. Dianggap sebagai lahan untuk mereka bisa menjadikan apa-apa tanpa melihat orang asli Papua atau masyarakat adat itu sebagai pemilik dan pewaris dalam wilayah yang dimaksud,” tuturnya.
Bahkan, kata Peuki, ini menunjukkan kejahatan negara dan kebijakannya tanpa arah yang jelas karena tak melalui prosedur yang wajib ditempuh pemerintah dan perusahaan.
“Menyimak komentar dari menteri Bahlil Lahadalia, saya pikir itu sangat keliru. Pernyataannya tidak menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pengayom, pelindung dan pedoman bagi masyarakat. Sehingga menurut kami, pemerintah pusat telah melanggar mekanisme investasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri,” tegasnya.
Maikel akui WALHI Papua dalam beberapa kesempatan telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah se-Tanah Papua, termasuk kabupaten Merauke untuk berhenti memberikan izin lokasi kepada perusahaan-perusahaan baru.
“Karena sepanjang pengalaman investasi yang ada di Tanah Papua, tidak ada satu pun masyarakat adat Papua sebagai tuan dusun itu Sejahtera. Justru mereka kehilangan sumber daya alam, hutan mereka dibabat, kayu-kayu mereka diambil. Masyarakat hidup dalam penindasan dan kemiskinan akut,” kata Peuki.
WALHI Papua juga merekomendasikan pemerintah pusat untuk mengakui keberadaan masyarakat adat Papua sebagai penyangga, penjaga, pelindung dan pewaris yang melestarikan hutan berkelanjutan di Tanah Papua. Sebab hutan dan tanah bagi masyarakat adat Papua ibarat seorang ibu yang menjadi sumber hidup dan kehidupan.
“Kami juga merekomendasikan kepada pemerintah daerah se Tanah Papua, khususnya Pemprov Papua Selatan dan Pemkab Merauke untuk segera membuat peraturan daerah tentang hak ulayat dan hukum masyarakat adat. Perlu regulasi di daerah yang memproteksi hak-hak mereka,” lanjut Maikel.
“Juga perlu dilakukan pencadangan hutan di kabupaten Merauke dan sekitarnya, karena hutan di wilayah selatan dibabat habis oleh investasi yang terjadi masif di sana.”
Peuki menambahkan, investasi yang masuk ke kabupaten Merauke dan sekitarnya akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar. Apalagi belum lama ini masyarakat Papua dihebohkan dengan peristiwa banjir di kampung Salor Indah, distrik Kurik dan distrik Elikobel, kabupaten Merauke. []