JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Hari ulang Tahun Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang ke-23 tahun 2024 baru saja dirayakan pada November 2024. Perayaan itu dirayakan oleh sejumlah pemangku kepentingan, terutam pemerintah daerah dan sejumlah elemen lainnya.
Sementara, masyarakat Papua belum begitu menerima Otsus sebagai sebuah berkah bagi kesejahteraan dirinya di tanah Papua, walaupun Otsus itu sudah berlaku selama 23 tahun.
Dengan melihat dinamika pemberlakuan Otsus yang ada, terutama dalam rangka Hut Otsus yang ke-23 Tahun 2024, Advokat dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Kota Jayapura memberikan sejumlah pendapat dan catatan.
Dr. Semmy Latunussa, mengatakan UU Otsus No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus yang kemudian dirubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008, kemudian ditetapkan sebagai UU dengan UU No. 35 Tahun 2008, dan terakhir dengan perubahan kedua UU No. 2 Tahun 2021 merupakan undang-undang setengah hati kolaborasi oknum daerah dengan oknum pusat.
Kata Dr. Latunussa, itulah yang menjadi polemik hingga saat ini, yang terus didiskusikan sepanjang keberadaanya dan tidak pernah ada habisnya.
“Semua ini karena adanya kepentingan akan ruang dan waktu untuk menghasilkan uang,” tegas Dr. Latunussa dalam pernyataannya yang diterima suarapapua.com, Senin (25/11/2024).
Contohnya kata dia dimana Pasal 1 Hurup (t) UU No. 21 Tahun 2001 tidak pernah dirubah dan akan menjadi polemik hukum sepanjang masa, padahal semua orang tahu bahwa yang dimaksud dengan Orang Asli [Papua] adalah tidak ada campuran, tulen, dan murni, dan dalam konteks orang Papua, merupakan penduduk pribumi yang berwarna gelap dan berambut keriting.
“Karena itu jika hal ini tidak diubah, maka jangankan orang Indonesia, orang China pun atau orang Amerika pun lama-lama memenuhi pemerintahan di Papua. Hanya bermodalkan sejumlah uang, bikin pengakuan adat, dan jadi peserta Pemilu.”
Kata dia oleh karena itu Foker LSM perna mengundang LBH Papua berbicara soal draft UU Otsus di tahun 2000.
“[Waktu itu] saya yang pertama menyarankan jika menyangkut keuangan sebaiknya diberikan kepada setiap kepala perbulan untuk seluruh penduduk asli Papua, agar dapat dinikmati secara langsung, tanpa menunggu dihabiskan oleh oknum pusat [Jakarta] dan daerah.”
“Kemudian sisanya diberikan berupa pembangunan fasilitas umum yang tidak bermanfaat sama sekali bagi kesejahteraan rakyat,” tukasnya.
Penyataan itu disampaikan Dr. Latunussa karena realita yang ada bahwa uang trilyunan yang dikucurkan setiap tahun ke Papua, namun mama-mama Papua masih terus berjuang hingga akhir hidupnya!
Kemudian anak-anak dari mama-mama Papua terus melakukan aksi demo menentang masalah Otsus yang tidak jelas. Yang mana antara harapan dan kenyataan tetap bertolak belakang dan tidak pernah bertemu di satu titik yang menimbulkan senyum sumringah mama-mama Papua, plus seluruh mahasiswa dan penduduk asli Papua.
“Tapi setidaknya hingga hari ini kita semua masih dapat mengucapkan syukur atas hadirnya Otsus Papua yang masih menyatukan kita semua di ‘Surga Kecil’ [tanah Papua] yang jatuh di bumi ini.”
Serupa disampaikan Advokat JKH Roembiak, yang mana katanya, ketika ditilik dari namanya Otonomi Khusus, maka sudah tentu ada Kewenangan Khusus yang telah akan diberikan berdasarkan UU dimaksud.
“Namun pertanyaannya benarkah kewenangan khusus itu sudah diberikan? Pasal 4 UU Otsus tentang kewenangan tidak merinci kewenangan khusus apa yang dimaksud tetapi mengcopy paste pasal 7 UU No 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, tentang kewenangan daerah,” jelasnya dalam pernyataan itu.
Roembiak mengatakan, pada Pasal 74 Otsus mengatakan bahwa semua perundangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU Otsus. Setiap Pasal dalam Otsus terkait kewenangan selalu berakhir dengan kalimat ditetapkan dengan peraturan daerah.
Tetapi pertanyaannya mengapa bukan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Karena menurutnyam, di dalam UU Otsus hanya ada 1 Pasal yang bunyinya ditetapkan dengan PP yaitu Pasal 19 ayat (4) tentang MRP, selebihnya tidak ada.
“Oleh sebab itu saya lalu bertanya pada diri sendiri, kalau demikian PP 106 tahun 2021 itu dasarnya apa? Ketika membuat Perdasi/Perdasus maka nafasnya bermuara ke UU yang berlaku sebagaimana bunyi pasal 74.”
Sehingga tidak ada satupun kebijakan khusus berdasarkan Pasal 4 yang dapat dilaksanakan sesuai Otsus. Karena Pasal 74 menggiring kepada semua UU yang berlaku di Indonesia, dimana semua Perdasi/Perdasus tentang apa saja tetap tunduk pada UU Nasional yang berlaku di Republik, entah tentang pendidikan, kesehatan, pertambangan, perikanan dan lainnya,” tukas Roembiak.
Sementara, Advokat Gustaf Kawer lebih menyoroti sejarah dan substansi hadirnya UU Otsus.
Menurut Kawer, sejarah integrasi/aneksasi Papua ke Indonesia dilakukan melalui penentuan pendapat rakyat atau Pepera pada 1969. Namun, pelaksanaan Pepera dianggap kontroversial oleh masyarakat Papua dan komunitas internasional. Hal ini memicu ketidakpuasan dan tuntutan dari masyarakat Papua untuk ingin merdeka dan diperlakukan khusus.
Hal lain adalah ketimpangan ekonomi dan sosial, dimana meskipun Papua kaya akan sumber daya alam, masyarakat asli Papua sering kali merasa tidak mendapatkan manfaat yang adil dari hasil eksploitasi sumber daya tersebut.
“Ketimpangan ekonomi antara Papua dan wilayah lain di Indonesia menjadi salah satu pemicu utama aspirasi untuk mendapatkan perlakuan khusus,” kata Kawer.
Selain itu katanya terkait ketidakadilan dan diskriminasi oleh pusat, termasuk diskriminasi diberbagai sektor. Katanya, orang Papua mengganggap pemerintah pusat mengabaikan pelestarian identitas budaya dan aspirasi politik untuk referendum.
Termasuk katanya pemberian Otsus ke Papua disebabkan adanya tekanan dunia internasional karena adanya dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua yang tinggi. Termasuk upaya meningkatkan kesejahteraan demi meredam konflik separatisme yang berlangsung lama.
Sayangnya kata dia dalam pemberlakuan Otsus di Papua, walaupun pemerintah daerah telah diberikan kewenangan khusus, implementasinya menghadapi berbagai tantangan.
“Termasuk masalah efektivitas, korupsi, dan ketidakpuasan masyarakat yang hingga dalam kurun waktu 23 tahun ini. Yang mana membuat Otsus hadir tanpa makna dan perubahan bagi masyarakat Papua.”
Sementara, Advokat Helmi berpendapat bahwa Otsus Papua dapat dilihat dari 2 sisi. Bagi Jakarta, Otsus Papua adalah sesuatu yang bagus untuk memulihkan kepercayaan masyarakat orang asli Papua. Namun bagi sebagian masyarakat OAP, Otsus sejak awal memilikki motif yang kurang baik, meskipun sebagian elit politik Papua menerima sebagai upaya menentukan posisi tawar.
Dalam prakteknya kata dia sejak diundangkan UU No.21/2001 hingga revisi UU No.2/2021, berjalan optimal sesuai dengan apa yang diharapkan sejak awal.
“Dimana faktor politik kebijakan Pemerintah Pusat yang paling dominan mempengaruhi tidak optimalnya Otsus Papua. Ditambah lagi dengan kelakuan oknum-oknum elit politik di Jakarta yang mengatasnamakan kepentingan OAP dan juga elit-elit di Papua yang terkesan hanya mementingkan urusan pribadi dan kelompoknya untuk mndapat kekuasaan. Sehingga mereka lupa pada aspek faedah dari Otsus Papua.”
Oleh sebab itu katanya intinya faedah dari Otsus Papua belum optimal dilaksanakan tetapi perlu ada upaya sungguh-sunggu dari elit-elit di Jakarta untuk memperhatikan sejumlah hal yang berkaitan dengan kebijakan afirmatif yang kadangkala dalam prakteknya tidak sesuai.
“Sehingga perlu diperhatikan dan dilakukan revisi terbatas beberapa pasal di dalam UU Otsus itu, kalau ada niat baik dan keseriusan dari elit-elit politik di Jakarta. Ini dilakukan agar kepentingan OAP bisa nyaman dan bahagia hidup di negerinya sendiri.”
Advokat Billy Marcelino Maniagasi malah mempertanyakan keberadaan Otsus di Papua. Katanya untuk siapa selama 23 Tahun Otsus di Papua.
“Sudah 23 tahun Otsus berlaku di Papua. Sebuah kebijakan yang lahir dengan tujuan mulia, yakni untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi seluruh penduduk yang hidup di atas tanah Papua. Namun perenungan ini membawa kita pada pertanyaan mendasar, Otsus itu sebenarnya untuk siapa?” tukas Maniagasi.
Ia mengatakan, Otsus hadir dengan tujuan melindungi tanah, air, dan budaya Orang Asli Papua. Namun, faktanya menunjukkan orang Papua kehilangan ketiganya dan kehilangan hak di atas tanah mereka sendiri.
Sumber daya alam yang melimpah sering kali dikuasai oleh pihak-pihak yang bukan (orang) asli Papua, sementara orang Papua sendiri hanya menjadi penonton di tanah kelahiran mereka.
Ia mengeaskan bahwa Otsus seharusnya menjadi berkat bagi seluruh penduduk Papua, tanpa terkecuali. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak manfaat Otsus lebih dirasakan oleh mereka yang datang dari luar Papua.
Perjuangan dan harapan yang tercermin dalam Otsus seolah menjadi air terjun yang deras, namun Orang Papua hanya menjadi botol kosong di pinggirnya. Orang luar Papua berlomba-lomba menjadi selang, drum, bahkan bendungan yang menampung berkat tersebut.
“Perenungan ini mengingatkan kita bahwa Otsus seharusnya tidak hanya menjadi kebijakan yang memberikan manfaat bagi pemerintah atau pihak-pihak tertentu saja, tetapi juga harus benar-benar dirasakan oleh Orang Asli Papua. Perjuangan untuk melindungi tanah, air, dan budaya harus terus dilakukan agar Orang Papua tidak lagi merasa kehilangan hak di atas tanah mereka sendiri,” tukasnya.
“Oleh sebab itu di Hut Otsus yang ke-23 ini, mari kita bersama-sama merenung dan berkomitmen untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh penduduk Papua. Hanya dengan demikian, Otsus dapat benar-benar membawa perubahan yang berarti bagi tanah dan masyarakat Papua.”
Ia lalu akhiri dengan mengutib ayat Firman Tuhan dari Injil Yohanes 8:32 (TB) “Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”