JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Catatan kritis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua pada peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia, 10 Desember 2024, menuding pemerintah pusat biang keladi dalam penciptaan situasi darurat HAM bahkan pelanggaran hak masyarakat adat Papua pasca pemekaran daerah otonom baru (DOB) di Tanah Papua.
“Kebijakan pemerintah Indonesai dengan penerapan DOB sudah menciptakan darurat HAM dan hak masyarakat adat Papua bahkan dihancurkan, melanggar aturan sendiri. Sedangkan kewajiban negara dalah memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sebagai satu tanggung jawab negara di sektor sipil dan politik. Tetapi itu tidak terjadi, kenyataannya justru sebaliknya sebagaimana dialami oleh masyarakat adat di seluruh Tanah Papua,” ujar Emanuel Gobay, direktur LBH Papua, Selasa (10/12/2024).
Diuraikan, kewenangan provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 4 Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
“Pemerintah pusat lebih fokus menjalankan kewenangan bidang politik luar negeri dan pertahanan keamanan serta kebijakan daerah otonom baru di Papua yang ditolak oleh mayoritas masyarakat Papua tanpa menjalankan kewajiban perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 di Tanah Papua,” tulisnya dalam siaran pers nomor 016/SP-LBH-Papua/XII/2024.
Setelah dua tahun penerapan DOB yang dipaksakan pemerintah dengan cara membentuk provinsi Papua Selatan, provinsi Papua Barat Daya, provinsi Papua Pegunungan, dan provinsi Papua Tengah, rupanya hanya menjadikan jalan baru terjadinya kasus pelanggaran HAM dan hak masyarakat adat Papua di segala sektor baik di sektor sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya di seluruh Tanah Papua yang menunjukan Papua menjadi darurat pelanggaran HAM dan hak masyarakat adat Papua sebagaimana terlihat dalam kasus pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang melanggar hak masyakat adat Papua.
Lanjut dikritisi, fakta tidak dijalankannya kewajiban perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara di sektor sipil dan politik terlihat dalam kasus pembubaran aksi demonstrasi secara damai menggunakan prinsip-prinsip demokrasi sesuai Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum di beberapa kota besar di Tanah Papua seperti di Merauke, Jayapura dan Manokwari dengan pendekatan represif.
Selain itu, masih tingginya stigma kepada Komite Nasional Papua Barat (KNPB) hingga semua aktivitas kebebasan ekspresinya selalu berbuntut pembubaran dengan pendekatan represif dan kriminalisasi aktivisnya sebagaimana terjadi dalam kasus penetapan tersangka terhadap dua aktivis KNPB pasca aksi di Expo 16 Agustus 2024 dan pembubaran dan penetapan tersangka atas tiga aktivis KNPB pasca aksi di Lingkaran Abepura 15 November 2024 yang menunjukan fakta pelanggaran Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi pokok dan standar HAM dalam tugas Kepolisian.
Selain itu, dalam konteks penyelesaian persoalan politik antara Indonesia dan Papua yang diwujudkan melalui politik pertahanan keamanan dengan cara pendropan pasukan tanpa mengikuti ketentuan Pasal 17-20 Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah memicu terjadinya konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPNPB yang berkepanjangan, sehingga menimbulkan pelanggaran HAM sebagaimana terlihat dalam kasus pengungsian di berbagai daerah di Tanah Papua.
Seperti terjadi di kabupaten Intan Jaya ada 2.000 orang masyarakat sipil Papua mengungsi ke Gereja pada Januari 2024, di kabupaten Paniai ada 500 orang mengungsi ke Gereja yang terjadi Januari 2024, dan di kabupaten Pegunungan Bintang ada 84 orang warga sipil Papua (Balita 54 jiwa, ibu hamil 5 jiwa, Lansia 23 jiwa dan pasien berat 2 orang) mengungsi pada Desember 2024, namun tidak ditangani Palang Merah Indonesia (PMI) yang bertugas menangani pengungsi akibat konflik bersenjata sesuai prinsip Konvensi Jenewa yang telah disahkan dalam Undang-undang nomor 59 tahun 1958 tentang ikut serta negara Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 yang menjadi dasar pembentukan Undang-undang nomor 1 tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
Juga meningkatnya kasus penembakan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga sipil di kabupaten Puncak yang terjadi Maret 2024, kasus penangkapan dan penyiksaan terhadap anak di kabupaten Yahukimo yang terjadi Februari 2024, kasus penembakan terhadap Tobias Silak dan Naro Dapla oleh oknum anggota Satgas Damai Cartens Sekla pada 20 Agustus 2024 di Dekai kabupaten Yahukimo.
Untuk mengakhiri persoalan politik antara Indonesia dengan Papua, disarankan agar perlu dipikirkan alternaitif lain seperti yang pernah dilakukan pemerintah dalam kasus penyelesaian politik antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau dalam kasus penyelesaian persoalan politik antara Indonesia dengan Fretelin (Timor Timur) untuk mengurangi lonjakan jumlah pengungsi akibat konflik bersenjata di Papua dan meningkatnya kasus impunitas di Tanah Papua.
Di sektor ekonomi, pemerintah pusat dan provinsi serta kabupaten/kota lebih memberikan ruang lebar kepada perusahaan baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta dengan praktek pemberian izin kepada berbagai perusahaan bahkan negara melalui Kementerian terkait sibuk melakukan lelang eksploitasi SDA Papua kepada berbagai perusahaan, tetapi pemerintah mengabaikan perjuangan buruh di Papua sebagaimana kasus 8.300 buruh PT Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja (Moker) dari 1 Mei 2017 sampai Desember 2024 yang belum kunjung diselesaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
Ini tak termasuk mayoritas buruh perusahaan sawit di Tanah Papua yang status ketenagakerjaannya sebagai buruh harian lepas (BHL), sehingga hanya menerima upah per hari kerja. Dalam sebulan upahnya sangat dibawah upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Dengan kondisi status BHL juga membuat hak-hak buruh yang dijamin dalam BPJS tak terkaver yang menyulitkan mereka mendapatkan hak-haknya. Kondisi itu makin terpelihara akibat Dinas Ketenagakerjaan provinsi maupun kabupaten/kota mengabaikan tugasnya untuk mendesak perusahaan membentuk serikat pekerja. Pihak perusahaan mendaftarkan seluruh buruh sebagai anggota BPJS dan membayarkan upah sesuai upah minimum seturut kebijakan provinsi dan kabupaten/kota.
Sikap Dinas Ketenagakerjaan yang memberikan ruang lebar bagi manajemen perusahaan dengan seenaknya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sewenang-wenang terhadap buruhnya sebagaimana dialami beberapa buruh PT Rimba Matoa Lestari dan buruh PT Pos Indonesia Cabang Jayapura, bahkan dengan cara kriminalisasi buruh selanjutnya menetapkan PHK dengan dalil mangkir sebagaimana dialami buruh PT Tandan Sawita Papua dan buruh PT Rimba Matoa Lestari yang dikriminalisasi dengan kasus penggelapan dan disidangkan di PN Jayapura.
Selain itu, adapula kasus perburuhan atau ketenagakerjaan yang telah diputuskan agar perusahaan mengembalikan buruh untuk bekerja kembali dalam mediasi dan tertera dalam risalah mediasi yang dibuat Dinas Ketenagakerjaan provinsi atau kabupaten, tapi perusahaan tetap mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan dalam keputusan hakim abaikan putusan mediasi terkait perintahkan buruh dipekerjakan kembali dan menerima gugatan perusahaan, sehingga buruh di PHK menggunakan putusan hakim pengadilan hubungan industrial sebagaimana dialami beberapa buruh PT Freeport Indonesia yang terjadi di tahun 2024 menunjukan kesan bahwa hakim menjadi tangan panjang perusahaan karena mengabaikan ketentuan pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK sebagaimana diatur pada Pasal 151 ayat (1) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Melalui situasi diskriminasi dalam perlakukan terhadap perusahaan yang dispesialkan sementara buruh yang diabaikan pemerintah pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Papua yang didukung dengan Undang-undang cipta kerja secara langsung dapat memberikan gambaran bahwa buruh di Papua akan dikuras tenaganya demi peningkatan modal pemilik saham dalam perusahaan dan negara melalui pajak dengan status bukan sebagai pekerja tetap atau buruh tetap dan dapat diperlakukan seenaknya oleh perusahaan yang akan didukung hakim pengadilan hubungan industrial maupun pihak kepolisian dalam kasus kriminalisasi buruh yang dilakukan manajemen perusahaan.
Di sektor sosial, melalui kebijakan politik pertahanan keamanan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang diartikan dengan pendropan pasukan tanpa mengikuti ketentuan Pasal 17 – 20 Undang-undang nomor 34 tahun 2004 yang telah memicu terjadinya konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPNPB telah melahirkan pengungsian internal yang mayoritas anak-anak akhirnya terpaksa putus sekolah karena tak terfasilitasi sebagaimana dialami anak-anak pengungsi dari kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak, Maybrat dan sebagainya.
Selain itu, hingga kini ada ribuan bahkan ratusan ribu guru honorer di seluruh Tanah Papua sedang berjuang agar pemerintah mengangkatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun belum dijawab seperti dialami beberapa guru honorer di beberapa kabupaten dan kota di seluruh Papua. Akibatnya sampai hari ini semakin menunjukan kondisi pemenuhan hak atas pendidikan yang sangat memprihatinkan.
Sedangkan demi pengembangan kepentingan ekonomi politik dalam pengolahan sumber daya alam Papua menggunakan pendekatan skema PSN pangan dan energi di kabupaten Merauke dilakukan tanpa memiliki AMDAL dan izin lingkungan yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan setiap usaha dan atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Pengolahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup menjadi bukti sedang dan akan terjadi pelanggaran hak atas lingkungan yang sehat bagi masyarakat sekitarnya.
Dengan fakta PSN pangan dan energi di Merauke akan mengalihkan hutan adat Papua dan lahan gambut Papua di Merauke menjadi lahan sawah dan kebun tebu, maka jelas-jelas menunjukan bukti bahwa PSN akan melahirkan banjir yang membahayakan masyarakat sekitar dan tentunya akan semakin meningkatkan pemanasan bumi.
Pengembangan kepentingan ekonomi politik dalam pengolahan sumber daya alam Papua dengan skema PSN di seluruh Papua (Merauke, Boven Digoel, Sorong, Keerom, Bintuni dan Fakfak) dilakukan dengan cara mengabaikan ketentuan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat (Baca: Pasal 18b ayat (2) UUD 1945) dan ketentuan “Pemerintah provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan” (Baca: Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 2 tahun 2021), sehingga berdampak pada terjadinya pelanggaran hak masyarakat adat.
Antara lain hak atas hutan adat, hak atas pembangunan, hak atas spiritual dan kebudayaan, hak atas lingkungan hidup, hak untuk menyelenggarakan pemerintahan adat, hak atas kekayaan intelektual, dan hak atas wilayah kelola kawasan perairan.
Selain itu, hak atas tanah adat dan hak atas SDA sebagaimana diatur pada Pasal 14, 15 dan 16 Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua nomor 5 tahun 2022 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di provinsi Papua sebagaimana dialami oleh masyarakat adat Marind khususnya marga Gebze, marga Moiwend, marga Balagaize, marga Kwipalo yang beberapa waktu lalu melakukan aksi protes menggunakan busana tradisional di Merauke hingga ke Jakarta.
Melalui fakta seluruh masyarakat adat Papua khususnya masyarakat adat Marind khususnya marga Gebze, Moiwend, Balagaize dan Kwipalo selama ini memenuhi kebutuhan pokok (makan, tempat tinggal dan pakaian) menggunakan pengetahuan tradisional dari wilayah adat miliknya, sehingga dengan melihat fakta kepentingan ekonomi politik dalam pengolahan SDA Papua dengan skema PSN di Merauke yang telah mengalihfungsikan hutan adat dan lahan gambut menjadi lahan sawah dan kebun tebu akan mengarahkan terjadinya tindakan “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; dan/atau menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya” sebagaimana diatur pada Pasal 8 huruf b dan huruf c Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM atau tindakan genosida.
Sesuai tujuan pendirian 5 Batalion yaitu Yonif 801/Kesatria Yuddha Kentswuri bermarkas di kabupaten Keerom, Papua, Yonif 802/Wimane Mande bermarkas di kabupaten Sarmi, Papua, Yonif 803/Nduka Adiyatma Yuddha bermarkas di kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, Yonif 804/Dharma Bakti Asasta Yuddha bermarkas di kabupaten Merauke, Papua Selatan, dan Yonif 805/Kesatria Satia Waninginap bermarkas di kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, sebagai penyangga daerah rawan di lima daerah Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah melalui PSN di seluruh Tanah Papua, maka secara langsung menunjukkan bukti TNI akan melakukan tugas diluar dari perintah Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 34 tahun 2004 dan jelas-jelas menunjukan fakta TNI melakukan tindakan yang dilarang yaitu prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis sebagaimama diatur pada Pasal 39 angka 3. Dan dengan melihat fakta PSN telah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan dan bahkan berdampak pada terjadinya dugaan tindakan genosida, sehingga dikhawatirkan semua pelanggaran hukum dan HAM itu akan dilakukan secara sistematik dan struktural oleh TNI yang ditugaskan untuk mendukung PSN di Tanah Papua.
Gugatan dari tokoh masyarakat adat Aywu Hendrikus Woro melawan pemerintah provinsi Papua atas penerbitan surat rekomendasi kepada PT Indo Asiana Lestari yang ditolak oleh Mahkama Agung Republik Indonesia serta melaihat pengalaman kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang diputuskan bebas oleh hakim pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar menunjukan bukti bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki niat untuk memberikan hak atas keadilan kepada mayarakat adat Papua korban pelanggaran hak masyarakat adat sebagaimana perintah ketentuan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 di Tanah Papua.
Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa setelah dua tahun proyek DOB ala Jakarta di Papua telah menjadi jalan raya terjadinya pelanggaran HAM dan hak masyarakat adat di Tanah Papua demi mewujudkan kepentingan ekonomi politik atas pengolahan SDA Papua yang dilakukan pemerintah pusat bekerja sama dengan perusahaan diback-up TNI sesuai kebijakan perkawinan antara kepentingan pertahanan keamanan wilayah Papua dengan kepentingan ekonomi politik pengolahan SDA Papua yang telah disatukan dalam PSN yang didukung oleh lima Batalion di Tanah Papua yang merupakan kewenangan pemerintah pusat sesuai Pasal 4 Undang-undang nomor 2 tahun 2021.
Dengan demikian, secara langsung telah menunjukan bukti bahwa praktek kewenangan pemerintah puat di Tanah Papua pasca penerapan proyek DOB menciptakan kondisi darurat HAM dan hak masyarakat adat Papua.
Pernyataan Sikap
Oleh karena itu, pada perayaan hari HAM sedunia, LBH Papua menggunakan kewenangan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia (Pasal 100 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM) menyampaikan beberapa sikap.
- Presiden Republik Indonesia, gubernur dan bupati/walikota se-Tanah Papua segera wujudkan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sesuai Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 di Tanah Papua.
- Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib melindungi hak masyarakat adat Papua dari ancaman PSN dengan pendekatan militer di Tanah Papua.
- Ketua DPR RI dan DPD RI segera mengkaji ulang kebijakan pertanahan keamanan dan kebijakan ekonomi politik pengolahan SDA Papua dalam PSN yang telah melanggar HAM dan hak masyarakat adat Papua.
- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia segera cabut proyek PSN di Merauke yang dijalankan tanpa AMDAL yang telah melanggar HAM dan hak masyarakat adat Papua serta akan meningkatkan krisis iklim dunia.
- Menteri HAM Republik Indonesia segera mengusulkan kebijakan penyelesaian persoalan politik antara Indonesia dan Papua sesuai pengalaman Aceh atau pengalaman Timor Timur untuk mengakhiri konflik bersenjata yang melahirkan gelombang pengungsian warga masyarakat sipil di Tanah Papua.
- Panglima TNI segera bubarkan 5 Batalion penyangga daerah rawan di lima daerah Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah dalam PSN di seluruh Tanah Papua sebagai bentuk pemenuhan ketentuan prajurit tidak terlibat kegiatan bisnis.
- Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia segera selesaikan persoalan 8.300 buruh PT Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja sejak 1 Mei 2017 hingga Desember 2024.
- Kapolri segera perintahkan Kapolda Papua beserta penyidiknya segera tangkap dan proses hukum oleh oknum anggota Satgas Damai Cartens Sekla pelaku penembak Tobias Silak dan Naro Dapla di Dekai, kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan.
- Kapolda di seluruh Tanah Papua wajib melindungi kebebasan berekspresi di Tanah Papua sesuai perintah Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan Perkap nomor 8 tahun 2009.
“Pemerintah harus buka mata hati menyikapi berbagai fakta mengerikan di seluruh Tanah Papua,” ujar direktur LBH Papua. []