Oleh: Andreas Harsono
*) Aktivis HAM dan Penulis
Jika Anda mengunjungi Perpustakaan Nasional Indonesia—yang merupakan rumah bagi 7,7 juta buku—dan melakukan pencarian dengan kata kunci “Papua Barat”, “Irian Jaya” atau hanya “Papua”, Anda akan menemukan sejumlah kecil dalam bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia: hanya 1.192 judul. Koleksi kecil ini tak hanya mencerminkan betapa sulitnya membaca dan memahami persoalan di Papua Barat, tapi juga betapa berhasilnya negara Indonesia dalam membatasi penelitian independen mengenai degradasi lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan penderitaan masyarakat adat Papua.
Sejak akhir tahun 1960an, pemerintah Indonesia telah membatasi jurnalis asing dan pemantau hak asasi manusia internasional untuk mengunjungi wilayah yang militeristik ini, menurut Pieter Drooglever dalam bukunya, An Act of Free Choice: Decolonization and the Right to Self-Determination in West Papua, yang tersedia di Perpustakaan Nasional.
Pada tahun 1999, parlemen Belanda minta agar Institut Sejarah Belanda di Den Haag membuat tinjauan mengenai dekolonisasi Papua Barat, dengan harapan bahwa jatuhnya Soeharto, yang telah menjadi presiden selama tiga dekade, akan membuka dialog antara Indonesia dan Papua Barat.
Drooglever, seorang sejarawan, ditunjuk untuk lakukan penelitian. Ia memeriksa arsip di Belanda, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-bangsa dan Australia, namun tak diberi akses ke Arsip Nasional di Jakarta. Ia juga mewawancarai orang Papua dan Indonesia yang pernah terlibat masa transisi pemindahan kekuasaan pada 1960an.
Drooglever menerbitkan bukunya, setebal 807 halaman dalam bahasa Belanda, 27 tahun kemudian, pada tahun 2005. Terjemahan bahasa Inggris diterbitkan pada tahun 2009 dan terjemahan bahasa Indonesia muncul pada tahun 2010.
Drooglever berharap bukunya dapat membantu warga Indonesia mencari solusi damai di Papua Barat, seperti yang terjadi di Timor Leste pada tahun 1999 melalui referendum yang diselenggarakan oleh PBB, dan di Aceh pada tahun 2004, dengan perjanjian yang ditandatangani di Helsinki, yang memberikan otonomi pada wilayah tersebut. Keinginan Drooglever belum terkabul.
Dalam An Act of Free Choice, Drooglever menulis bahwa Kerajaan Belanda, pada tahun 1950an, telah mencoba mendirikan pemerintahan fungsional di Dutch New Guinea yang dilengkapi dengan sekolah, rumah sakit, keamanan, jalan raya dan fasilitas lainnya.
Mereka belajar dari kegagalan mereka di Hindia Belanda, yang proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, serta melawan kembalinya Belanda dan menjadi Republik Indonesia yang berdaulat pada tahun 1949.
Kerajaan Belanda mendirikan pemerintahan di New Guinea dengan dua sarjana Belanda yang berpendidikan doktoral, serta pernah meneliti soal Papua Barat, sebagai gubernur.
Meskipun beberapa elite Papua pada awalnya menyambut baik gagasan integrasi dengan Indonesia, mereka berubah pikiran antara tahun 1950an dan 1960an ketika mereka menyaksikan negara tetangga tersebut bertransformasi dari republik baru yang progresif menjadi negara agresif yang didominasi militer. Persiapan menjadi negara berdaulat dimulai, dengan dukungan dari Belanda, agar Papua Barat pada akhirnya mandiri.
Namun Indonesia menyerbu Papua Barat pada tahun 1962; Belanda lantas ditekan oleh Amerika Serikat untuk berunding dan menandatangani Perjanjian New York setahun kemudian. Perjanjian ini mengatur adanya pemungutan suara, yang diawasi oleh PBB, yang memungkinkan warga Papua memutuskan apakah mereka ingin bergabung dengan Indonesia atau tidak.
Namun, seperti yang dijelaskan Drooglever dalam bab berjudul Under Jakarta’s Thumb, United Nations Temporary Executive Authority, organisasi PBB khusus Papua Barat, terus-menerus dimanipulasi, ditekan, dan dibodohi oleh Indonesia.
Lambertus Nicodemus Palar, yang saat itu menjabat sebagai perwakilan Indonesia di PBB, New York, mengakui bahwa Soebandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia, tak menginginkan adanya referendum.
Ketika terjadi pergantian kekuasaan di Jakarta, Presiden Sukarno diganti Jenderal Soeharto, pemerintah Indonesia menyelenggarakan apa yang disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice), ketika hanya sekitar 1.000 delegasi yang dipilih pemerintah Indonesia memberikan suara, semuanya memilih integrasi dengan Indonesia.
Sebagian besar orang asli Papua mengatakan hak mereka untuk memilih diingkari dan terus menuntut adanya referendum, bila bukan, negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia.
Meskipun gerakan kemerdekaan sebagian besar berlangsung damai, ada beberapa kelompok bersenjata yang sudah lama berdiri.
Saat ini, Papua Barat masih menjadi provinsi yang paling terbelakang dan paling miskin di Indonesia, dan pelanggaran hak asasi manusia masih banyak terjadi.
Buku lain yang tersedia di Perpustakaan Nasional adalah Updating Papua Road Map, buku terbitan 2019, yang merupakan update dari buku yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2009.
Para penulis buku ini mengecam pendekatan keamanan pemerintah Indonesia di Papua Barat, dan mendesak mereka untuk berdialog dengan berbagai kelompok Papua Barat. Muridan Widjojo, peneliti utama LIPI, menyatakan, “Dialog tidak membunuh siapa pun, dan jika gagal, selalu dapat dicoba lagi.”
Para kontributor Updating Papua Road Map memaparkan empat masalah utama di Papua Barat, dimulai dari marginalisasi orang asli Papua. Pendatang dari Indonesia—khususnya dari wilayah padat penduduk Pulau Jawa— membuat orang asli Papua sebagai minoritas di tanah mereka sendiri.
Program pembangunan tak hanya gagal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Papua dalam hal pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi, namun juga menyebabkan kerusakan lingkungan.
Selain itu, pihak berwenang Indonesia telah menutup mata terhadap kekerasan yang dilakukan negara terhadap orang asli Papua, dan gagal menghukum para pelaku atau memulihkan hak-hak para korban.
Saat ini terdapat ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan orang Papua terhadap pemerintah Indonesia.
Para penyusun Papua Road Map membujuk pemerintah Indonesia untuk menyetujui “Dialog Damai Papua” yang melibatkan peneliti LIPI dan beberapa tokoh Papua. Prosesnya dimulai tahun 2010 dan dipimpin oleh Widjojo dan Neles Tebay, seorang intelektual Papua dan pastor Katolik; mereka melakukan perjalanan dari satu kabupaten ke kabupaten lain di seluruh Papua Barat.
Upaya ini mencapai puncaknya pada konferensi publik pada bulan Juli 2011, di mana seorang menteri senior keamanan Indonesia menyampaikan pidato utama yang menyambut gagasan dialog. Ratusan pemimpin Papua dari berbagai suku—pria dan perempuan, tua dan muda—berpartisipasi dalam acara yang berlangsung selama seminggu tersebut.
Konferensi tersebut diakhiri dengan terpilihnya lima pemimpin Papua, semuanya tinggal di pengasingan, untuk memimpin dialog dengan Indonesia. Kelimanya secara terbuka menganjurkan kemerdekaan dari Indonesia.
Tidak mengherankan, hal ini membuat marah para pejabat Indonesia, terutama setelah lima tokoh penting yang diperoleh dari konferensi tersebut berkontribusi pada pembentukan Gerakan Bersatu untuk Pembebasan Papua Barat yang berbasis di Vanuatu pada tahun 2014.
Buku mendiang Filep Karma, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, belum ditemukan di Perpustakaan Nasional.
Karma mungkin adalah tahanan politik paling terkenal di Papua Barat. Dia pertama kali ditangkap pada bulan Juli 1998 dan dipenjara selama hampir dua tahun karena memimpin protes di Pulau Biak di mana pasukan keamanan Indonesia menembak mati lebih dari 150 warga Papua. Dia kemudian dibebaskan setelah menerima amnesti Presiden Abdurrahman Wahid.
Pada tahun 2004, ia kembali memimpin protes damai di Jayapura dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena “makar.” Ia dibebaskan pada November 2015 dan tenggelam saat melakukan mencari ikan pada November 2022.
Dalam bukunya, Karma mengenang bagaimana bisnis Papua berkembang pesat di Jayapura sebelum integrasi dengan Indonesia. Jayapura—yang saat itu sudah menjadi kota terbesar di Papua Barat—memiliki lebih dari dua puluh bioskop.
“Jayapura seperti Hong Kong,” Siegfried Zöllner, seorang misionaris Jerman, menulis dalam memoarnya tentang kesan pertamanya terhadap kota tersebut pada tahun 1961.
Jayapura dijarah oleh tentara Indonesia yang menyerbu saat mereka tiba pada tahun 1962; Karma menemukan lemari baja, yang masih terdapat stempel rumah sakit Jayapura, di sebuah rumah sakit Surabaya di Jawa Timur beberapa tahun kemudian.
Lima buku, yang diresensi Andreas Harsono, menerangkan sejarah penderitaan Papua Barat;
– An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua – Oneworld Academic: 2009
– Updating Papua Road Map – Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2017
– Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua –Deiyai, Jayapura: 2014
– Morning Star Rising: The Politics of Decolonization in West Papua – University of Hawaii Press: 2021
– In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua – Duke University Press: 2022
Andreas Harsono meliput Indonesia untuk Human Rights Watch sejak tahun 2008. Dia ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi di Jakarta pada 1995, dan Yayasan Pantau, sebuah organisasi pelatihan jurnalisme, pada 2003. Sebagai pendukung kebebasan pers, Harsono ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994.