JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Masyarakat adat suku Wambon dan Mandobo dari distrik Arimop, kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, mengaku tidak pernah melepas tanah adatnya ke siapapun. Pemberian izin atas wilayah masyarakat adat pemilik hak ulayat seluas puluhan haktare dipertanyakan karena dianggap kebijakan sepihak.
Untuk mempertanyakan sekaligus menyatakan sikap penolakannya, masyarakat adat 18 marga asal suku Wambon dan Mandobo mendatangi kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) serta Dinas Perumahan Kawasan Permukiman, Lingkungan Hidup dan Pertanahan kabupaten Boven Digoel, Senin (9/12/2024) lalu.
Aksi masyarakat adat 18 marga turut didampingi LBH Papua Pos Merauke.
Di hadapan pimpinan dan staf dari dua kantor dinas itu, masyarakat adat 18 marga menyampaikan dengan tegas pernyataan sikapnya yakni tidak setuju dengan kebijakan pemerintah kabupaten (Pemkab) Boven Digoel memberikan izin kepada perusahaan, PT Papua Berkat Pangan (PBP) seluas 34.092,18 haktare. Lokasinya mencakup beberapa distrik, yakni distrik Arimop, distrik Mandobo, distrik Jair, dan distrik Iniyandit.
Dalam keterangan tertulis ke Suara Papua, Sabtu (14/12/2024), mereka menegaskan, pemberian izin tersebut sepihak tanpa melibatkan masyarakat adat yakni 18 marga. Antara lain marga Amotey, Oklamop, Bujop, Teulop, Kanggin Malek, Ulat, Ukumarop, Makulop, Butiop, Bandiop, Guam, Agitop, Tawi, Wandengge, Gunumop, dan marga Generop.
Setelah ditelusuri, ternyata Pemkab Boven Digoel melalui DPMPTS telah menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan berusaha dengan nomor: 28052410219302005 yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian perizinan berusaha berbasis resiko oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia dengan nomor berusaha: 0301240051011 yang diterbitkan 3 Januari 2024.
Menyikapi hal itu, massa 18 marga mendesak Kementerian Investasi/Kepala BKPM RI dan DPMPTS segera menghentikan izin perkebunan berskala luas yang bakal berdampak langsung merusak lingkungan, hutan adat hingga menghilangkan kepemilikan marga atas tanah ulayat.
Mereka juga mengaku tidak ada keterbukaan informasi dari pemerintah terkait perizinan yang dikeluarkan di atas tanah adat mereka.
Selain itu, ada indikasi pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan sosialisasi dari perusahaan dilakukan secara tertutup dengan melibatkan orang-orang tertentu saja.
Oleh karenanya, masyarakat 18 marga mendesak negara melalui pemerintah dan daerah wajib untuk menghormati hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18B UUD 1945 dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan “Hutan adat bukan hutan negara”, Perdasus provinsi Papua nomor 23 tahun 2008 tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat adat atas tanah adat, serta Perdasus kabupaten Boven Digoel nomor 02 tahun 2023 tentang pengakuan, perlindungan dan penghormatan masyarakat hukum adat.
Selain adanya perlindungan, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarkat hukum adat yang diatur dalam regulasi, 18 marga juga menyatakan menolak segala bentuk investasi berskala makro dan menengah khususnya industri ekstraktif di wilayah adat mereka.
Alasannya, akibat kebijakan sepihak itu akan merusak tanah, hutan adat, nilai-nilai, norma-norma, sumber penghidupan dan identitas budaya suku Wambon dan Mandobo yang berdampak langsung hingga ke generasi selanjutnya. []