Oleh : Andreas Harsono
*) Aktivis HAM dan Penulis
Dan perangkat keras bukanlah satu-satunya hal yang hilang dari Papua Barat. Karma menunjukkan bahwa, pada tahun 1970an dan 1980an, militer dan polisi Indonesia menangkap dan menahan banyak anggota elite Papua, menuduh mereka melakukan makar dengan menjadi “separatis” dan mengambil alih bisnis dan tanah mereka.
Ia berargumen bahwa rasisme yang sistematis adalah masalah mendasar Indonesia di Papua Barat: orang asli Papua, yang berkulit lebih gelap dan berambut keriting, terlihat berbeda. Orang Indonesia sering mengejek orang Papua, menyebut mereka “monyet” untuk menyiratkan bahwa mereka tertinggal dalam evolusi atau menggambarkan orang Papua sebagai orang yang malas, primitif, atau berbau busuk.
Bahkan flora dan fauna di Papua Barat telah terpinggirkan dan terlantar. Buku Sophie Chao, In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua, memperhatikan tanaman kelapa sawit, yang baru-baru ini diperkenalkan ke Papua Barat. Banyak etnis Marind, suku asli di Merauke di selatan Papua Barat, menganggap tanaman ini “asing dan invasif”.
Selain perampasan lahan dan pelanggaran hak asasi manusia di sekitar perkebunan kelapa sawit, Chao menemukan bahwa “tanaman asing” ini juga menghancurkan hewan asli dan habitat lokal mereka.
Di Merauke, tempat Chao melakukan penelitian antropologisnya, jumlah penduduk Papua kurang dari 40 persen dari total populasi. Ia menulis “… angka kematian tinggi, angka harapan hidup pada laki-laki adalah 35 tahun dan perempuan 38 tahun, dan angka infeksi HIV merupakan yang tertinggi kedua di Indonesia.”
Ia juga berargumentasi bahwa penggunaan kelapa sawit telah meningkatkan konflik bersenjata di Papua Barat secara besar-besaran.
Selain mengimpor tanaman non-pribumi ini, pemerintah Indonesia juga mendorong transmigrasi skala besar sejak tahun 1970an, dengan memberikan subsidi kepada pemukim dan memicu konflik antar masyarakat.
Banyak orang Papua yang mempersenjatai diri dengan busur dan anak panah untuk mempertahankan tanahnya. Kelompok militan belakangan juga memperoleh senjata api, sebagian besar dari pasar gelap, dan pasokan berasal dari petugas keamanan Indonesia.
Walaupun beberapa pihak mungkin mendapat keuntungan besar dari perkebunan kelapa sawit, masuknya industri ini telah melanggengkan masalah yang sudah lama ada di Papua Barat.
Teka-teki Papua Barat bukan hanya persoalan Indonesia; ia juga masalah hukum internasional. Dalam Morning Star Rising: The Politics of Decolonization in West Papua, Camellia Webb-Gannon mempertanyakan alasan internasional untuk mengintegrasikan Papua Barat dengan Indonesia pada tahun 1969.
Uti possidetis juris adalah sebuah prinsip dalam hukum internasional yang mengatakan bahwa negara berdaulat yang baru seyogyanya dibentuk dengan mempertahankan perbatasan internal yang mereka miliki sebagai koloni sebelum kemerdekaan.
Prinsip tersebut diartikan bahwa Hindia Belanda, termasuk Papua Barat, akan menjadi Indonesia. Namun alasan ini masih menimbulkan masalah.
Webb-Gannon mengutip argumen Akihisa Matsuno, sarjana hubungan internasional yang menentang prinsip uti possidetis juris dengan menunjuk pada referendum Januari 2011 yang menjadikan Sudan Selatan menjadi negara merdeka, lepas dari Sudan. Terdapat perbedaan etnis, bahasa, agama dan sosial antara Sudan Utara dan Selatan, dan kerajaan Inggris memerintah keduanya juga sebagai dua koloni yang terpisah.
Sejarah Sudan menunjukkan bahwa kurangnya integrasi, baik secara alami maupun historis, antar wilayah yang dikuasai oleh kekuatan kolonial yang sama, dapat digunakan untuk membenarkan pembentukan negara-negara yang terpisah. Batasan kolonial, seperti semua konstruksi buatan manusia lainnya, tidaklah mutlak yang dibayangkan.
Pengalaman Sudan bisa menjadi pelajaran bagi Papua Barat. Seperti yang diterangkan Drooglever dalam bukunya, Papua Barat memiliki sejarah pendudukan yang berbeda dari wilayah lain di Indonesia. Pendudukan Belanda di Papua Barat berlangsung lebih singkat dan seluruh pulau tersebut dibebaskan oleh militer Amerika Serikat pada tahun 1944.
Ada juga perbedaan agama: tidak seperti daerah lain di Indonesia, di mana Islam adalah agama dominan, agama Kristen memiliki pengaruh yang lebih besar di Papua Barat.
Sebagian besar masyarakat Papua dalam buku Webb-Gannon adalah bagian dari diaspora Papua. Andy Ajamiseba, yang tinggal di Vanuatu dan anggota Black Brothers, sebuah band rock Papua, bicara tentang bagaimana orang Papua memandang diri mereka, “Masalahnya di sini adalah identifikasi diri sendiri, identitas kami—kami bukan orang Indonesia.
Mungkin kalau kami merdeka, keadaan perekonomian kami tidak sebaik di Indonesia, kami harus merangkak keluar, tapi kami ingin menjadi diri sendiri. Saya orang Papua. Dengan segala hormat kepada orang Indonesia… kita adalah dua orang yang berbeda: kami bukan orang Indonesia; mereka bukan orang Papua.”
Benny Wenda, pemimpin United Movement for the Liberation of West Papua yang tinggal di Oxford, Inggris, menyangkal bahwa kemerdekaan yang dicari orang Papua bersifat metafisik atau spiritual. Merujuk pada perjuangan Indonesia untuk merdeka melawan kolonialisme Belanda, Wenda mengatakan, “Jika [orang Indonesia] hanya menginginkan kebebasan secara spiritual, mengapa mereka melawan Belanda?”
Morning Star Rising menjelaskan bahwa tak seluruh masyarakat Papua bersatu dalam tujuan dan taktik untuk merdeka dari Indonesia. Perpecahan sering kali terjadi, termasuk perselisihan tahun 1976 dalam Organisasi Papua Merdeka di hutan Keerom, dekat perbatasan dengan Papua New Nugini.
Persengketaan —akibat kesalahpahaman soal hubungan luar negeri dan juga etnis—meletus antara Jacob Prai, salah satu tokoh OPM dan orang asli Keerom, serta Seth Rumkorem, ahli militer OPM dari etnis Biak.
Sesudah perselisihan, kedua pria tersebut mencari suaka di Eropa. OPM mengalami kemunduran dengan Rumkorem tinggal di Belanda dan Prai di Swedia.
Webb-Gannon juga menjelaskan bahwa praktik pemekaran, yaitu pembentukan daerah administratif dan anggaran baru di Papua Barat secara cepat oleh pemerintah Indonesia, juga menimbulkan perpecahan dalam masyarakat Papua. Pada Juni 2022, misalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia membagi Papua Barat, dari dua menjadi enam provinsi.
Langkah-langkah ini dipandang oleh banyak orang Papua sebagai taktik devide et impera, memecah belah dan menguasai, dimana sekelompok kecil orang Papua diberi kendali terbatas atas wilayah yang dimekarkan tersebut.
Namun gerakan Papua Barat berkisar pada, dan dapat mencapai, konsensus strategis secara berkala, termasuk dengan United Movement for the Liberation of West Papua, sebuah organisasi payung bagi beberapa faksi pro-kemerdekaan.
Webb-Gannon menulis, “Berusaha mencapai konsensus melalui perdebatan dan ketidaksepakatan seperti yang dilakukan orang Papua Barat adalah hal yang demokratis; hal ini juga merupakan karakteristik utama gaya politik Melanesia, yang mencerminkan struktur sosial Melanesia yang secara tradisional bersifat acephalous [tanpa pemimpin].”
Di alinea terakhir bukunya, Drooglever menulis, “Kemungkinan masa depan yang lebih baik bagi orang Papua bisa didapat dari ketertarikan Indonesia terhadap wilayah tersebut, karena Indonesia tak hanya memiliki tradisi pemerintahan militer dan otoriter, tapi juga interaksi yang berbudaya dan upaya untuk menyediakan pemerintahan yang baik. Kami hanya bisa berharap bahwa dua aspek terakhir akan lebih unggul.”
Perpustakaan Nasional mungkin tidak memiliki banyak buku tentang Papua Barat, namun buku-buku seperti lima buku yang diulas di sini menggambarkan sejarah tersiksanya orang Papua. Mereka mengungkap tipu daya dan kebingungan yang dilakukan para pemimpin Indonesia untuk mencegah kritik internasional atas pelanggaran yang mereka lakukan saat merebut wilayah yang kaya akan sumber daya alam ini. Orang Papua juga belajar dari kegagalan generasi tua; namun mereka terus mempertahankan hak-hak mereka dan melawan pemerintahan Indonesia yang menindas.
Lima buku, yang diresensi Andreas Harsono, menerangkan sejarah penderitaan Papua Barat
An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua –Oneworld Academic: 2009.
Updating Papua Road Map – Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2017
Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua – Deiyai, Jayapura: 2014
Morning Star Rising: The Politics of Decolonization in West Papua – University of Hawaii Press: 2021
In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua – Duke University Press: 2022
Andreas Harsono meliput Indonesia untuk Human Rights Watch sejak tahun 2008. Dia ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi di Jakarta pada 1995, dan Yayasan Pantau, sebuah organisasi pelatihan jurnalisme, pada 2003. Sebagai pendukung kebebasan pers, Harsono ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994.