Oleh: Yathius Fredlly Wenda*
*) Penulis adalah Pemuda Gereja asal Lanny Jaya, Papua Pegunungan
Demi merefleksikan dampak besar yang secara tidak disadari sudah dan sedang dialami umat Tuhan, tulisan ini saya buat untuk didiskusikan bersama. Bahwa, dampak politik praktis yang terjadi di Tanah Papua saat ini telah menjadi salah satu topik pembahasan yang nadanya sangat memprihatinkan. Pemerintah Indonesia melalui kebijakan yang diterapkan di Tanah Papua, seringkali tidak mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan agama masyarakat di daerah.
Seiring dengan perkembangan politik, umat Kristen, khususnya jemaat Gereja Baptis di Tanah Papua, mengalami tantangan besar dalam menjalankan ibadah mereka. Tidak dapat dibantah bahwa dalam kenyataannya, masyarakat Papua seringkali terjebak dalam dinamika politik praktis yang tidak mengenal waktu ibadah, bahkan di hari-hari besar keagamaan.
Sebagai gambaran, di wilayah provinsi Papua Pegunungan, seringkali aktivitas politik berlangsung bersamaan dengan waktu ibadah. Hal itu jelas mengurangi perhatian dan kehadiran umat dalam kebaktian di Gereja.
Contoh Kasus
Salah satu contoh kasus di Tiom, kabupaten Lanny Jaya. Nyata yang terjadi pada tanggal 10 November 2024 di Guripaga, Tiom, tempat pertama kali Injil masuk di kawasan ini. Hari tersebut seharusnya menjadi hari yang sakral, namun kenyataannya kehadiran masyarakat di ibadah jauh lebih sedikit dibandingkan kehadiran mereka di agenda politik praktis yang bertujuan memenuhi kepentingan politik masing-masing.
Hal ini mencerminkan betapa terjajahnya masyarakat Papua, di mana mereka terlibat dalam agenda politik yang menghancurkan moral dan etika mereka. Banyak yang tidak menyadari bahwa keadaan ini adalah dampak dari kebijakan yang diterapkan secara sistematis dan terstruktur oleh negara, yang mengabaikan nilai-nilai keagamaan dan budaya lokal.
Lemahnya Pendidikan Politik
Satu hal yang sangat miris adalah pendidikan politik di Tanah Papua yang sangat minim dan tidak dibangun dengan baik. Banyaknya generasi muda terjerumus ke dalam politik praktis tanpa memahami dasar etika dan moral, menunjukkan kurangnya pendidikan politik yang seharusnya bisa membentuk karakter bangsa.
Dalam kesehariannya, tokoh-tokoh agama dan orang-orang tua telah berusaha memberikan nasehat dan himbauan. Tetapi, suara mereka seringkali tertahan dan tidak didengar.
Keprihatinan Terhadap Pengaruh Politik Praktis
Hal yang lebih memprihatinkan adalah bagaimana politik praktis mengikis nilai-nilai Kristen, yang semestinya menjadi pegangan hidup umat di Tanah Papua. Gereja yang seharusnya menjadi tempat ibadah dan pembinaan spiritual justru terpinggirkan karena agenda politik yang semakin mendominasi.
Politisi dan kelompok kepentingan seringkali mengabaikan waktu-waktu ibadah yang seharusnya dihormati, bahkan mengintervensi kebebasan umat Kristen untuk beribadah dengan damai.
Harapan untuk Perubahan
Dengan menyadari dampak dari politik praktis yang menghancurkan, saya berharap masyarakat Papua bisa lebih kritis dan bijaksana dalam menghadapi situasi ini. Jangan sampai kita terjebak dalam agenda politik yang bukan hanya merugikan, tetapi juga merusak nilai-nilai luhur yang telah kita miliki sejak dulu.
Semoga umat Kristen di Tanah Papua, khususnya jemaat Baptis, bisa kembali fokus pada hal-hal yang lebih utama —yakni memperkuat iman dan kesatuan dalam kebersamaan, bukan terpecah akibat politik sesaat.
Semoga perubahan akan segera datang, dan kita semua bisa berjalan berdampingan menuju masa depan yang lebih baik. (*)
Tepogi Yiginua, Lanny Jaya, 21 Desember 2024