
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pastor Alexandro Rangga, OFM, direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM) Papua, mengatakan, dalam beberapa pekan terakhir beredar informasi mengenai pengungsian massal warga distrik Oksop, kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, akibat situasi keamanan yang tidak kondusif. Pengungsian massal terjadi sejak 4 Desember 2024 lalu.
Kata Pastor Rangga, informasi tersebut didapatkan dari berbagai sumber, termasuk laporan langsung dari masyarakat yang mengungsi, tokoh agama setempat, serta hasil investigasi lapangan yang dilakukan tim gabungan Keuskupan Jayapura dan JPIC OFM Papua.
“Pernyataan resmi dari Satgas Humas Ops Damai Cartenz 2025 yang menyatakan bahwa tidak ada pengungsian massal di distrik Oksop bertentangan dengan data dan informasi yang kami peroleh di lapangan. Perbedaan narasi ini menimbulkan keprihatinan mendalam, mengingat dampak signifikan yang dialami oleh ratusan warga yang terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka,” kata Pastor Alex.
Dalam siaran pers tertanggal 17 Januari 2025, JPIC OFM Papua mengaku bersama Gereja Katolik Keuskupan Jayapura merasa terpanggil untuk mengklarifikasi pernyataan resmi dari Satgas Humas Ops Damai Cartenz 2025 yang membantah adanya gelombang pengungsi di distrik Oksop.
Kasatgas Humas Ops Damai Cartenz 2025, Kombes Pol. Yusuf Sutejo, sebagaimana dilansir harian Cenderawasih Pos edisi Kamis (16/1/2025), menyatakan, “Informasi yang beredar di media sosial mengenai pengungsian masyarakat di distrik Oskop, kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, adalah hoaks. Narasi tersebut adalah dokumentasi lama yang tidak menggambarkan situasi saat ini. Sejumlah warga yang sempat mengungsi telah kembali ke kampung mereka dan menjalankan aktivitas normal di empat kampung. Sementara kampung Mimin masih ada dalam pengawasan aparat keamanan.”
Narasi tersebut menurut Pastor Rangga, berbeda dengan temuan di lapangan.
Dijelaskan, pada akhir November 2024, warga dari lima kampung di distrik Oksop melaporkan adanya peningkatan aktivitas militer di wilayah mereka. Ketakutan akan terjadinya konflik bersenjata mendorong masyarakat untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman, yaitu distrik Oksibil. Hingga kini, diperkirakan sekitar 327 orang mengungsi, dengan sebagian besar lainnya memilih untuk bersembunyi di hutan.
“Terdapat data rinci mengenai jumlah pengungsi, termasuk berdasarkan gender, usia, dan asal kampung. Namun, demi keselamatan para pengungsi, data tersebut tidak dapat kami bagikan ke publik,” katanya.
Berdasarkan kesaksian para pengungsi, lanjut Pastor Rangga, kehadiran militer di distrik Oksop telah menimbulkan rasa takut dan ketidakamanan di kalangan masyarakat.
Beberapa tindakan yang dilakukan oleh pihak militer, seperti pendirian posko di dalam gereja dan penggunaan fasilitas masyarakat tanpa izin, semakin memperburuk situasi.”
Pastor Rangga mengutip kesaksian SA, pengungsi dari kampung Atenar, “Sekitar jam 8 pagi (28 November 2024) masyarakat melihat mereka [tentara] ada di hutan. Tiga orang masyarakat inisiatif ke TKP mendatangi ‘ebonki’ (sebutan dalam bahasa daerah untuk orang yang bersenjata) itu di dalam hutan, kemudian mereka keluar kembali. ‘Ebonki’ merasa aman di tempat itu, maka mereka bergerak ke bawah perumahan masyarakat sekitar jam 9 malam, Mereka bagi tiga pleton pertama ke arah kampung Oksop, kedua sampai ke kampung Atenar, tetapi mereka turun lagi ke bagian kolam bawah, tetapi karena mereka lihat tidak nyaman, mereka kembali ke kantor distrik Oksop dan kantor distrik dijadikan sebagai pos Tentara.”
“Kemudian ada drum dan beberapa barang milik masyarakat mereka gunakan sebagai kelengkapan pos. Selain itu, mereka buat pos juga di kampung Mimin. Mereka bongkar gereja Efesus GIDI dan bikin tungku api. Semua fasilitas gereja itu mereka gunakan menjadi pos Tentara. Jadi, mereka bagi dua pos yaitu pos di kantor distrik Oksop dan pos kampung Mimin. Pos di kampung Mimin mereka punya gerakan beda, yang ada di kampung Mimin itu kami dengar bunyi tembakan setiap hari, siang dan malam bunyi tembakan. Kami tidak tahu yang mereka tembak lawannya atau tidak, kami di kampung Atenar dan Oksop juga dengar suara tembakan.”
Hingga 17 Januari 2025, berdasarkan laporan petugas pastoral Gereja Katolik Keuskupan Jayapura yang ada di lapangan, situasi keamanan di distrik Oksop belum kondusif. Masyarakat pengungsi masih enggan kembali ke kampung halaman mereka karena merasa ketakutan. Mereka secara tegas meminta agar pasukan gabungan ditarik mundur dari wilayah Oksop.
“Kehadiran pasukan dalam jumlah yang terus bertambah, seperti pengiriman pasukan tambahan pada tanggal 13-15 Januari 2025, justru semakin meningkatkan kecemasan masyarakat.”
Berdasarkan hasil investigasi lapangan, JPIC OFM Papua menemukan fakta adanya pengungsian massal. Ratusan warga dari lima kampung di distrik Oksop telah mengungsi ke distrik Oksibil dan lokasi lainnya akibat situasi yang tidak aman. Masyarakat merasa takut dan terancam keselamatannya akibat kehadiran aparat keamanan dalam jumlah besar dan tindakan-tindakan yang dianggap mengintimidasi.
Selain itu, ada kerusakan fasilitas umum. Beberapa fasilitas umum, seperti gereja, telah rusak akibat digunakan sebagai posko oleh aparat keamanan.
Banyak warga pengungsi memberikan kesaksian langsung mengenai pengalaman traumatis mereka saat harus meninggalkan kampung halaman.
Menanggapi situasi darurat ini, JPIC OFM Papua dan Keuskupan Jayapura mendesak pemerintah pusat segera membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki akar permasalahan konflik di distrik Oksop dan memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM.
Desakan kedua, menarik kembali pasukan militer dari distrik Oksop dan membuka ruang dialog untuk mencari solusi damai.
Selain itu, kepada pemerintah kabupaten Pegunungan Bintang didesak untuk menyediakan bantuan kemanusiaan yang memadai bagi para pengungsi, termasuk makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal sementara.
“Harus juga memastikan keamanan dan keselamatan para pengungsi serta masyarakat yang masih berada di wilayah konflik.”
Desakan juga disampaikan ke Komnas HAM agar terus memantau secara ketat situasi di distrik Oksop dan memberikan perlindungan kepada para korban pelanggaran HAM.
Media massa juga diharapkan memberikan liputan yang objektif dan berimbang tentang situasi di distrik Oksop, serta mendorong upaya perdamaian.
Penyataan sikap ini disebarkan untuk memberikan informasi yang benar dan berimbang kepada publik serta mendorong upaya perdamaian di distrik Oksop.
JPIC OFM Papua dan Keuskupan Jayapura mengajak semua pihak untuk bersatu padu dalam mencari solusi damai atas konflik yang terjadi di distrik Oksop.
“Kami percaya bahwa dialog dan negosiasi adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri kekerasan dan membangun perdamaian yang berkelanjutan di Tanah Papua,” tandasnya. []