NABIRE, SUARAPAPUA.com — Masyarakat bersama pemilik hak ulayat dengan tegas menolak rencana pembangunan pos rayon militer (Ramil) di Kilometer 64 jalan pemerintah poros Nabire-Mulia, distrik Dipa, kabupaten Nabire, Papua Tengah.
Penolakan disampaikan menanggapi surat perintah Komandan Kodim 1705/Nabire nomor Sprin 306/XI/2024 tanggal 19 November 2024 tentang melaksanakan tim aju pendirian Posramil di Km 64 jalan Trans Nabire-Ilaga, kabupaten Nabire, provinsi Papua Tengah.
Musa Boma, salah satu tokoh pemuda Papua di provinsi Papua Tengah, menyatakan sepakat dengan sikap tolak masyarakat terhadap rencana bangun pos militer di jalan trans karena di wilayah tersebut aman dan tidak urgen dibutuhkan. Lagi pula pemilik ulayat tidak memberikan izin.
Oleh karena itu, Boma minta kepada institusi TNI batalkan rencana tersebut. Selain itu, rakyat Topo, Dipa, Menou dan Siriwo di kilo meter 100 patuh pada kesepakatan bersama semua pihak bahwa mulai dari tapal batas di Bukit Rindu sampai dusun Wotai dan dusun Digihoumaida merupakan tanah adat suku Mee.
“Wilayah ini tanah adat. Ada pemiliknya. Itu bukan tempat untuk bangun pos militer. Jadi, dengan tegas kami menolak rencana Kodim mau bangun pos militer itu,” ujarnya kepada wartawan di Nabire, Sabtu (18/1/2025) sore.
Boma mengatakan, tidak ada alasan mendasar untuk hadirkan satu pos militer di tengah hutan. Masyarakat setempat juga tidak pernah mengaspirasikan hal tersebut.
“Mulai dari distrik Topo sampai Mapia tidak ada sarang teroris. Wilayah ini selalu aman. Tetapi, Kodim Nabire minta lokasi untuk bangun pos itu ada apa? Sebenarnya di wilayah Topo, Dipa, Menou, Siriwo dan Mapia tidak perlu tambah pos militer. Saya sebagai salah satu tokoh pemuda bingung dengan pandangan militer ini,” tuturnya.
Ditegaskan, mulai dari Bukit Rindu sampai Mapia merupakan tanah adat yang artinya bukan tempat bangun pos militer lagi.
“Pihak militer tidak bisa tawar menawar dengan tanah adat. Itu bukan barang jualan yang seenak masuk beli untuk tempati. Tidak ada yang jual tanah. Tidak boleh ada tawar menawar,” tegas Musa Boma.
Senada ditegaskan Yeti Tagi, salah satu pemuda dari wilayah Mapia.
Yeti Tagi menyatakan tidak akan melepas lokasi untuk bangun pos militer.
“Di sepanjang wilayah ini aman-aman saja, tidak pernah ada kasus dan sangat tidak layak bangun pos militer di atas tanah adat kami,” ujarnya.
Kata Yeti, pemilik hak ulayat bersama empat kepala distrik dan kepala suku serta para kepala dusun tidak boleh ada sikap terima dengan rencana tersebut.
“Masyarakat sudah tolak, jadi bapak-bapak juga jangan menyatakan ya, tetapi harus tolak. Karena kalau pos militer dibangun atas dasar persetujuan bapak-bapak berarti apapun yang akan terjadi nantinya akan berat pertanggungjawabannya. Sudah ada sikap tegas, jadi siapapun tidak boleh ada yang klaim dan izinkan lokasi,” tandasnya.
Sebelumnya, masyarakat distrik Dipa bersama pemilik ulayat telah menyatakan menolak rencana bangun pos militer di sana.
Sikap penolakan disampaikan melalui surat yang isinya tidak mendapatkan izin dari pemiliki hak ulayat.
Untuk menindaklanjutinya, masalah tersebut diadukan ke Polres Nabire dengan tujuan memfasilitasi pertemuan penyampaian aspirasi masyarakat.
Selain masyarakat distrik Dipa, kepala-kepala suku wilayah Tota Mapia, dan pemerintah 5 distrik, juga DPRD, DPRP dan MRP provinsi Papua Tengah diminta hadir dalam pertemuan tersebut untuk menyampaikan pendapat terhadap rencana pembukaan pos militer di Km 64. []