
SORONG, SUARAPAPUA.com — Ketidakpedulian pemerintah berdampak pada masa depan anak-anak di distrik Kwesefo, kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Tak ada aktivitas pendidikan, anak-anak di kampung Batdey dan tiga kampung lainnya terpaksa tak bisa belajar. Umur bertambah pun mereka masih belum mengenal huruf.
Fransina Yesomkor, ketua Ikatan Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Yeban (IPPMY) se-distrik Kwesefo, kepada Suara Papua, Senin (20/1/2025), membeberkan, di kampung Batdey terdapat 151 anak dari umur enam tahun hingga 10 tahun tidak sekolah dan 33 remaja dan dewasa putus sekolah.
“Fakta ini kalau berlanjut terus, kasihan sekali masa depan adik-adik kami. Pemerintah kabupaten Tambrauw harus menyediakan gedung sekolah dan mendatangkan tenaga guru supaya ada kegiatan belajar mengajar,” ujarnya.
Kata Fransina Yesomkor, 151 anak tidak sekolah karena tidak ada tenaga guru di kampung Batdey, juga tiga kampung lainnya yaitu Jokbujoker, Syubi, dan Bao di distrik Kwesefo.
“Mereka umur tujuh tahun, ada yang sudah delapan tahun, dan sembilan tahun hingga 10 tahun, tetapi tidak sekolah karena tidak ada tenaga guru di empat kampung ini. Tidak ada aktivitas belajar mengajar di sana,” kata gadis dari kampung Jokbujoker itu.
Dampak dari itu, Fransina akui 33 anak remaja dan orang dewasa belum mengenal huruf dan sudah lewat usia wajib sekolah. Anak bisa akses sekolah di luar kampung karena ada keluarga di tempat tujuan sekolah dan orang tua mampu secara finansial, sehingga mereka dikirim untuk sekolah di Kwesefo, kota Sorong, Sausapor, dan Fef. Tetapi orang tua kurang mampu atau tidak punya keluarga di luar yang bisa dipercayakan untuk titip anak mereka, terpaksa hanya tumbuh besar di kampung tanpa mendapatkan pendidikan.
“Saya prihatin dengan kondisi pendidikan di kampung Batdey. Banyak anak yang sudah lewat usia wajib belajar. Banyak anak umur sekolah, tetapi tidak bisa sekolah. Semua itu karena tidak ada guru di sana. Tidak ada guru yang ditugaskan dari pemerintah daerah untuk mengajar di kampung. Tambah lagi, sudah tidak ada guru, tidak ada gedung sekolah dengan fasilitas memadai, akhirnya anak-anak bermain dari pagi sampai malam atau ikut orang tua ke kebun. Masyarakat yang kurang mampu dalam ekonomi dan lainnya tidak bisa sekolahkan anak-anak jauh darinya. Terpaksa anak-anak tumbuh besar di kampung tanpa mengenyam pendidikan dasar di kampung,” tutur Fransina.
Apolus Yewen, sekretaris IPPMY, membenarkan fakta tersebut.
Sebagai anak asli kampung Kwesefo, ia minta pemerintah kabupaten Tambrauw untuk memberikan pelatihan atau pendidikan bagi anak remaja atau orang dewasa yang sudah putus sekolah. Dengan itu mereka mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang bisa digunakan untuk mendapatkan pekerjaan dan lainnya.
Selain itu, Yewen mendesak pemerintah distrik agar ada kegiatan yang selalu dilakukan dengan melibatkan anak muda putus sekolah, sehingga mereka juga bisa ikut berproses dan belajar hal baru.
“Pemda sebagai penanggungjawab utama bekerjasama dengan pemerintah distrik Kwesefo harus membuat kegiatan atau pelatihan yang melibatkan mereka yang putus sekolah, sehingga dong juga bisa belajar hal baru dan mempunyai pengetahuan atau kemampuan agar bisa menjadi pribadi yang bisa mengubah hidupnya atau pun keluarganya,” kata Yewen.
Sony Alfons Yesnath juga minta Pemkab Tambrauw serius melihat masalah pendidikan di distrik Kwesefo, terutama tenaga guru yang masih sangat terbatas hingga mengakibatkan banyak anak di kampung tak bersekolah.
Minim tenaga guru dan ditambah juga kadang masih ada yang kurang aktif menjalankan tugasnya di kampung, mengakibatkan kemampuan membaca dan menulis anak-anak masih kurang lancar.
“Anak-anak di distrik Kwesefo banyak, apalagi empat kampung itu anak-anak usia sekolah banyak sekali. Pemerintah daerah coba sekali-kali angkut tenaga guru pake helikopter ke kampung untuk mengajar anak-anak di sana. Anak-anak yang orang tua mampu dong bisa sekolah. Kalo tidak, tinggal di kampung. Tenaga guru ditambah lagi supaya lain pergi mengajar di empat kampung biar anak-anak di sana bisa menikmati haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Itu tanggungjawab pemerintah, karena negara memberikan hak anak-anak untuk wajib belajar 12 tahun,” pinta Yesnath. []