
NABIRE, SUARAPAPUA.com — Rencana pembangunan Kodim di kampung Silatugapa, perbatasan distrik Homeyo dan distrik Sugapa, kabupaten Intan Jaya, serta pos Koramil di Kilometer 62 jalan pemerintahan, kabupaten Nabire, Papua Tengah, tetap ditolak karena dikhawatirkan akan memperparah situasi keamanan, mengingat banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama ini terjadi hingga tak pernah dituntaskan.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk “Masyarakat Adat: Investasi bisnis, pembangunan pos keamanan dan pengungsi internal” yang berlangsung di Kalibobo, Nabire, Papua Tengah, Kamis (23/1/2025) siang.
Dalam kegiatan Para-para bacarita Papua, nonton bareng dan diskusi itu mengemuka seruan penolakan dari masyarakat adat Intan Jaya terhadap kehadiran markas Kodim di tengah hutan. Apalagi pemilik ulayat tidak pernah melepaskan tanah adatnya kepada siapapun.
Dengan meningkatnya konflik bersenjata di kabupaten Intan Jaya yang berdampak langsung terhadap warga sipil, kehadiran aparat keamanan dianggap akan menambah panjang penderitaan hingga terusir dari kampung halaman seperti telah terjadi gelombang pengungsian ke beberapa kabupaten lain yakni Nabire, Mimika, bahkan sebagian memilih ke Jayapura.
Yones Douw, aktivis HAM Papua, berbicara dalam diskusi, mengungkapkan situasi buruk selalu dihadapi masyarakat sipil ketika pasukan bersenjata dikirim dalam jumlah banyak. Kadang dianggap sedang bertugas menjalankan pengamanan sebagaimana lazimnya, tetapi ternyata ada tujuan terselubung yakni mengamankan kepentingan ekonomi negara karena di daerah tersebut memiliki kekayaan alam tertentu.
“Faktanya kan begitu, seperti konflik di Intan Jaya itu karena ada potensi emas luar biasa di Blok Wabu. Pasukan TNI dan Polri kalau baku berhadapan dengan TPNPB itu tidak jadi soal, tetapi yang kita sayangkan itu masyarakat sipil yang selalu korban. Konflik senjata membuat masyarakat adat mengungsi. Dampaknya, masyarakat menjadi tidak punya apa-apa. Mereka kesusahan mendapatkan akses kesehatan, akses pendidikan dan ekonomi. Benar-benar hidup dalam situasi serba susah, apalagi sudah banyak korban berjatuhan,” tuturnya.
Situasi yang dihadapi masyarakat di kabupaten Intan Jaya, kata Yones, sungguh sangat memprihatinkan. Apalagi biasa dituduh sebagai pendukung atau simpatisan, biasa sediakan makan, sembunyikan kelompok TPNPB, terakhir nyawa tanpa proses hukum.
“Masyarakat keluar rumah untuk cari kayu saja diawasi militer, begitu juga kalau ambil air dan ketemu militer, pasti ditanya macam-macam, bahkan langsung dibawa ke pos militer dan dapat siksa. Kadang juga langsung tembak tempat. Sudah beberapa Hamba Tuhan yang begitu, ditembak mati.”
Dari situasi keamanan bagi warga sipil seperti itu, kata Yones, saat ini Papua sedang tidak baik-baik saja.
“Papua sekarang sudah darurat militer. Jangan berpikir kalau Papua sedang baik-baik saja. banyak fakta kalau Papua sudah situasinya gawat,” imbuhnya.
Menanggapi keadaan tersebut, Grup Aksi Amnesty Papua beraliansi dengan Front Peduli Masyarakat Adat Papua Tengah sebagai organisasi yang konsen dan peduli dengan isu hak-hak masyaraka adat dan hak asasi manusia Papua, menginisiasi kegiatan diskusi dan pemutaran film dokumenter dari Human Rights Monitor berjudul “Hangus Papua”, akhirnya merumuskan rekomendasi bermanfaat demi perubahan dari keadaan dan rencana kebijakan yang akan mengganggu keamanan hidup masyarakat adat di tanah airnya.
Dibeberkan, sejak beberapa tahun lalu upaya membangun Kodim sudah dimulai, tetapi mendapatkan penolakan dari pemilik hak ulayat. Namun diduga upaya itu berhasil setelah dilakukan berbagai pendekatan hingga teror kepada pemilik ulayat. Karena itu, menurut keterangan dari masyarakat adat Intan Jaya, pada beberapa waktu sebelum ini mendapatkan pelepasan dari orang-orang yang diwakilkan pihak keamanan. Hal tersebut tejadi di saat masyarakat adat tidak sedang baik-baik akibat konflik bersenjata.
Bukan hanya di Intan Jaya, bangun pos militer juga di Bibida, kabupaten Paniai, dan Kilometer 64 jalan pemerintah Nabire-Ilaga. Di kabupaten dan distrik se-Tanah Papua kemungkinan akan dibangun pos militer.
Lokasi untuk bangun pos militer di distrik Bibida diduga kuat diambil dengan cara meneror hingga menggunakan pihak lain sebagai perpanjangan tangan aparat keamanan untuk mempengaruhi pemilik ulayat tertentu untuk menyerahkan tanah adatnya. Hingga kini status lokasi itu belum ada keputusan bersama marga lain sebagai pemiliknya.
Wacana pembangunan pos militer dikonstruksi dengan beralasan pada permintaan masyarakat adat setempat. Menjaga keamanan menjadi alasan tunggal membangun pos keamanan. Alasan ini dibenarkan dari kejadian-kejadian konflik bersenjata tercipta dan diciptakan. Tetapi masyarakat membantah alasan tersebut dengan menjelaskan pos militer dibangun untuk mengawas aktivitas dan membatasi aktivitas bebas di atas tanah airnya.
Setelah ditelusuri, pembangunan pos militer diperuntukan bagi pengamanan bisnis-bisnis yang akan beroperasi di Tanah Papua, termasuk Intan Jaya.
Pembangunan dan penambahan aparat keamanan negara adalah bagian integral dari melihat dan menangani Papua harus dengan militer. Pendekatan militer menjadi pendekatan klasik negara tanpa evaluasi menyeluruh untuk diperbaiki praktek-praktek yang belum memberikan keamanan masyarakat sipil, dimana terdampak dari kehadiran militer di Tanah Papua, termasuk Intan Jaya.
Dalam diskusi ditegaskan, masyarakat adat akan kehilangan tanah adatnya, menambah angka korban berlapis. Dari sejumlah laporan menunjukan masyarakat adat Intan Jaya terganggu keamanannya, diintimidasi, diteror, dibatasi aktivitas, diawasi, disiksa, dibunuh, bahkan tubuhnya dibakar. []