Oleh: Victor Yeimo*
*) Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
Mereka datang dengan senyum, menyuntikkan bius ke dalam darah kita. Kita terbaring di ruang operasi, lalu dengan tangan terampil mereka memotong tubuh kita. Mata kita terbuka, jiwa kita tertutup. Hanya bisa melihat tanpa bisa merasakan dan tanpa bisa bergerak.
Begitulah bangsa Papua saat ini. Kita melihat, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, terperangkap dalam diam yang diciptakan oleh mereka yang memegang pisau kekuasaan. Kita terbuai dalam mimpi penjajah, tidur dalam ketidakpedulian, dan meskipun mata terbuka, jiwa kita terbelenggu dalam mati rasa.
Bangsa terjajah berjalan tanpa arah, diselimuti kesadaran kolonial yang mengalir dalam darahnya, percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja, sementara luka-luka penindasan terus menganga. Dan, tubuh kita diperlakukan seperti benda yang bisa dipotong-potong sesuai keinginan mereka.
Tanah kita yang dulunya penuh dengan kehidupan, kini menjadi medan operasi bagi mereka yang menganggap kita hanya sebagai subjek untuk dijarah. Setiap gerak, setiap keputusan, adalah bagian dari permainan mereka, dan kita hanya bisa mengamati, terikat dalam bisu. Tidak ada ruang untuk melawan, karena setiap perlawanan dibungkam dengan bius yang mereka tanamkan dalam pikiran kita.
Hari-hari kematian tiada henti. Tanah hutan isinya dijarah. Suara-suara dirampok dan dijual beli, dan semua kita anggap wajar, biasa, tanpa perlawanan. Mental tunduk dan pasrah meresap dalam tiap nadi, dan yang lain hanya bisa menangis dalam diam. Kami terperangkap dalam bayang-bayang, melangkah tanpa suara, menerima setiap luka tanpa tanya.
Cukup! Kita bukan objek bius dan operasi. Kita adalah penjaga tanah yang telah diwariskan, dan setiap inci tanah air ini bagian dari darah yang mengalir dalam tubuh kita. Mari kita goncang dinding kebisuan yang mereka bangun. Memecahkan rantai yang membelenggu pikiran kita.
Kita bukan bagian dari cerita yang mereka tulis. Kita bukan pion yang mereka gerakkan. Tanah ini, suara ini, tubuh kita, semuanya adalah milik kita, dan kita harus merebutnya kembali!. (*)
Gamei, awal 2025