Oleh: Yefta Lengka*
*) Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Wamena, Papua Pegunungan
Pengungsi di Tanah Papua bukan hal baru bagi orang Papua. Sebab sejak awal Indonesia menggencarkan operasi militer dalam rangka pencaplokan Tanah Papua bagian darinya, orang Papua telah mengungsi kemana-mana hingga keluar negeri. Bahkan ribuan orang Papua meninggal di tengah hutan akibat operasi militer.
Sejak dulu pemerintah Indonesia tidak pernah berupaya memulangkan dan memulihkan keadaan para pengungsi akibat operasi militer di Tanah Papua. Ini sebenarnya situasi yang buruk. Kondisi yang rusak. Situasi ini mengerikan. Keadaan yang hancur, dan tidak normal.
Akhir-akhir ini pengungsi Nduga, Pegunungan Bintang, dan Maybrat terjadi di tengah masa transisi pemerintahan. Jakarta memainkan peran dalam memasang pemangku kepentingan di setiap daerah pada masa transisi pemerintahan untuk memuluskan rencana jahatnya yang membanjiri pengungsian orang Papua.
Penempatan Para Penjabat Tak Paham Kondisi Daerah
Transisi pemerintahan terjadi dalam rangka melaksanakan tahapan pemilihan kepala daerah baru dalam pemerintahan itu sendiri. Di Tanah Papua, khususnya wilayah daerah otonom baru (DOB), beberapa penjabat gubernur ditunjuk tanpa memastikan yang bersangkutan mengetahui sejarah, kehidupan sosial budaya, dan lain sebagainya. Hal ini memberikan peluang kepada pihak lain yang memiliki kepentingan untuk masuk dengan bebas dan leluasa. Bahkan beberapa penjabat gubernur atau penjabat bupati ditunjuk dari latarbelakang TNI dan Polri.
Rentetan konflik yang terjadi antara TPNPB dan TNI-Polri telah memakan korban yang tidak sedikit. Selain itu, puluhan ribu orang Papua mengungsi ke hutan dan kota. Rentetan konflik tersebut terjadi di masa transisi pemerintahan di Tanah Papua.
Hampir semua penjabat bupati dan penjabat gubernur tidak memiliki niat baik untuk menghentikan konflik serta memulangkan para pengungsi ke tempat asal mereka. Pertanyaannya yang paling mendasar adalah para penjabat bupati dan penjabat gubernur ini ada untuk siapa?
Memang untuk urusan keamanan negara tidak bisa dicampur oleh pemerintah daerah. Tetapi yang menjadi korban adalah rakyat sipil yang tidak berdosa terhadap negara. Dalam konteks Tanah Papua, urusan keamanan selalu tanpa koordinasi dengan pemerintah provinsi dan daerah, termasuk Gereja, LSM, dan lembaga hak asasi manusia (HAM).
Tetapi dari dulu, sejak tahun 1963 hingga kini tahun 2025, pendekatan militer tidak pernah dapat menyelesaikan persoalan Papua. Melainkan justru menimbulkan banyak korban dan persoalan berlapis. Banyak anggota TNI dan Polri yang telah gugur. Banyak anggota TPNPB yang gugur. Lebih dari itu adalah warga sipil orang asli Papua dan orang non Papua juga menjadi korban.
Para Pengungsi Diabaikan Negara
Fakta sampai saat ini, negara tidak mampu, bahkan mengabaikan para mengungsi di seluruh Papua.
Warga Nduga mengungsi sejak akhir tahun 2018, disusul dengan beberapa kabupaten lain di Tanah Papua. Seperti Intan Jaya, Pegunungan Bintang di Kiwirok, Yahukimo, Maybrat, dan lain sebagainya.
Saat menulis artikel ini, saya ingat buku karya tuan Filep Karma berjudul “Seakan Kitorang Setengah Binatang”.
Hendropriyono juga berkata bahwa pindahkan saja 2 juta orang Papua ke Manado, Sulawesi dan beberapa tempat lainnya supaya ras Melanesia hilang.
Apakah negara Indonesia melihat orang Papua bukan sebagai manusia? Apakah negara melihat orang Papua sebagai kriminal, perampok, penjahat, teroris, dan lain-lain yang membahayakan negara, sehingga dibiarkan begitu saja? Ataukah negara menganggap orang Papua sebagai manusia bodoh, primitif, terbelakang, dan lainnya hingga tidak perlu diurus. Dan dianggap membuang-buang waktu, energi dan biaya? Dengan demikian, negara menganggap orang Papua (pengungsi) tidak perlu diurus?
Jika demikian, maka negara perlu melakukan perundingan dengan orang Papua untuk memutuskan mata rantai dan stigma tersebut. Perundingan harus dilakukan secara damai, demokratis yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.
Pemerintah Daerah Juga Mengabaikan Pengungsi
DOB di Tanah Papua dibentuk dalam rangka upaya meningkatkan percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam pembentukan negara, provinsi dan kabupaten, subjek pembangunan adalah setiap individu dari masyarakat itu sendiri. Di setiap negara, indikator pembangunan adalah membangun manusia. Jika manusia tidak dibangun, maka itu bukan pembangunan.
Kendati demikian, pemerintah provinsi Papua Pegunungan dan pemerintah kabupaten Pegunungan Bintang tidak melihat orang Papua (pengungsi) sebagai target pembangunan. Ini masalah. Mereka bukan pengungsi dari negara lain. Mereka bukan pelaku kejahatan. Mereka adalah korban. Mereka seharusnya mendapatkan hak yang sama di negara ini.
Para pengungsi dengan sengaja diusir dengan kekuatan aparat keamanan dari tempat tinggal mereka. Para pengungsi ini bukan tamu. Mereka bukan teroris. Mereka bukan penjahat. Mereka adalah tuan tanah yang ada dan tempati daerah itu sejak sebelum pemerintah Indonesia berdiri.
Ini semua terjadi pada masa transisi pemerintahan di Tanah Papua. Saya pikir sebenarnya transisi pemerintahan tidak memberikan goncangan atas jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah provinsi dan kabupaten mesti turun ke masing-masing kamp pengungsian, baik di hutan maupun di daerah perkotaan demi memberikan harapan dan jaminan hidup.
Mereka Harus Pulang ke Tempat Asal
Orang Papua yang sedang mengungsi di setiap daerah harus kembali ke dusun mereka, sebab otonomi khusus (Otsus) telah memecahbelah orang Papua berdasarkan setiap marga dan keturunan. Dengan demikian, warisan tanah dan hutan telah diturunkan kepada masing-masing diantara mereka (pengungsi). Oleh sebabnya, mereka harus pulang untuk menjaga dan menikmati dusun (hutan dan tanah).
Pemerintah mesti memberikan jaminan keamanan bagi orang Papua di lokasi pengungsian. Sebab pemerintah ada karena masyarakat. Termasuk mereka yang tengah mengungsi.
Pemerintah harus mampu menjadi fasilitator untuk memulangkan para pengungsi dari dan ke tempat asal mereka. Pemerintah tidak boleh kekurangan cara. Banyak NGO yang bisa diajak kerja sama, termasuk para pegiat HAM dan kemanusiaan.
Ketidakpedulian terhadap situasi pengungsian seperti ini justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan negara Republik Indonesia di Tanah Papua. Karena banyak yang meninggal di pengungsian, lahir di kamp pengungsian, sakit di lokasi pengungsian, lapar, dingin, dan lain sebagainya. Selain itu, hak pendidikan, hak kesehatan, hak kebebasan, kenyamanan dan lainnya dibunuh oleh aparatus negara.
Mengabaikan pengungsi orang Papua sama halnya dengan menanamkan benih kebencian terhadap pemerintah Republik Indonesia. (*)
Tanah Huwula, 26 Januari 2025