Gastrocolonialism Dalam Program Makan Bergizi Gratis di Tanah Papua

0
358

Oleh: Yefta Lengka*
*) Aktivis Kemanusiaan asal Wamena, Papua Pegunungan

A. Pendahuluan

Istilah Gastrocolonialism pertama kali dikemukakan oleh seorang akademisi, peneliti dan aktivis dari Guam, Craig Santos Perez ketika ia meneliti bagaimana sistem pangan dan kesehatan masyarakat di Hawaii terkikis oleh impor berskala besar atas makanan olahan murah berkualitas rendah yang dibuat perusahaan multinasional.

Secara sederhana dapat kita pahami bahwa Gastrocolonialism adalah fenomena ketika makanan yang diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk menggantikan sistem pangan tradisional dan pola makan masyarakat lokal dan dalam prosesnya memicu kekurangan.

Program makan bergizi gratis adalah program nasional yang dikampanyekan pasangan Prabowo-Gibran yang kala itu tengah berkampanye untuk menduduki jabatan orang nomor satu dan dua di negara Republik Indonesia.

ads

Setelah terpilih, Prabowo-Gibran saat ini tengah menjalankan misi Makan Bergizi Gratis (MBG) di seluruh Indonesia. Termasuk Tanah Papua.

Di beberapa daerah di Tanah Papua Program, program makan siang gratis dijalankan langsung oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Polri bersama pihak sekolah.

B. Gastrocolonialism di Papua

Yang terjadi di Hawaii, juga terjadi di Tanah Papua. Pada Oktober 2024, ada sala satu anggota TNI viral di akun TikTok yang sedang menukar mie instan dengan sayur-mayur milik warga lokal di Tanah Papua. Video unggahan tersebut menjadi viral dan penontonnya hampir 15 juta orang.

Dalam video tersebut, aparat TNI menulis: “Mama ini datang dari kampung sebelah dengan keempat anaknya untuk menukar tomat dengan mie instan”. Dan video tersebut dibanjiri banyak pujian.

Tak hanya itu, fakta lainnya adalah pemerintah Indonesia selalu memberikan uang, berass miskin (Raskin), bantuan dalam bentuk bama (minyak, garam, beras, mie instan, sarden, dan lain sebagainya) pada acara-acara dan dalam situasi-situasi tertentu kepada orang Papua. Dengan demikian, pemerintah menciptakan ketergantungan dalam diri orang Papua.

Pada acara gereja, acara adat, bencana alam, bencana sosial, konflik sosial dan lain sebagainya, pemerintah selalu menghadapi orang Papua dengan mengedepankan bama kemasan. Bukan bama lokal.

Dengan demikian, perubahan etos kerja orang Papua menurun secara drastis. Orang Papua tak bisa lagi untuk hidup produktif. Artinya, orang tak lagi menggarap lahan (tanah) untuk hidup. Jadi, dengan sendirinya, pola makan lokal tersingkir dan digantikan dengan makanan kemasan.

Baca Juga:  Dari Aneka Obrolan Melahirkan Alternatif Aksi Perlawanan Bangsa Papua Perdana di Jakarta

C. Program MBG di Tanah Papua adalah bentuk Gastrocolonialism?

Ya. Program makan bergizi gratis di Tanah Papua dan Indonesia adalah bentuk Gastrocolonialism negara terhadap rakyat Indonesia. Khususnya di Tanah Papua.

Dengan adanya program makan siang gratis, Gastrocolonialism telah menjadi nyata secara terang-benderang.

Bentuk Gastrocolonialism dapat kita lihat melalui makanan dan minuman yang diberikan kepada anak-anak Papua di setiap sekolah. Para guru dan aparat keamanan menjadi aktor dalam mempersiapkan makanan dan minuman bagi anak-anak sekolah. Dimana, makanan yang diberikan berupa nasi, mie instan, ayam kulkas, tempe, tahu, teh kotak, ultra milk, dan lain sebagainya.

Dari beberapa berita yang diunggah, banyak aparat keamanan yang menggunakan seragam dan senjata lengkap di sekolah, dimana anak-anak tersebut sedang makan. Ini adalah kondisi faktual di Tanah Papua.

Sebenarnya orang tua anak di Tanah Papua lebih paham dan tahu bagaimana memberikan makanan yang baik dan benar untuk anaknya. Sebab, makanan yang baik dan benar memiliki pengaruh dalam perkembangan otak dan IQ anak. Termasuk daya tangkap anak.

Dengan demikian, program MBG adalah Gastrocolonialism di Tanah Papua secara terang-terangan dan terstruktur.

D. Gastrocolonialism Tumbuh Subur di Tanah Papua

Gastrocolonialism atau penjajahan pangan tumbuh subur tanpa diperhatikan oleh para pengambil kebijakan.

Pertanyaannya, dari beberapa uraian diatas adalah “apakah orang Papua miskin?” Jawabannya adalah tidak!

Orang Papua kaya. Orang Papua memiliki tanah yang subur. Orang Papua pemilik emas. Orang Papua pemilik gas. Orang Papua pemilik minyak bumi. Orang Papua pemilik logam. Orang Papua memiliki segalanya yang disediakan oleh Sang Pencipta.

Jadi, mengapa orang Papua disebut miskin? Sebenarnya orang Papua dimiskinkan oleh pemerintah Indonesia! Sekali lagi orang Papua dimiskinkan di atas alam yang kaya.

Orang Papua diberikan berbagai bantuan. Orang Papua dipetakan dalam daerah otonom baru (DOB). Orang Papua disibukkan dalam politik dengan iming-iming harta dan jabatan. Dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Makan Siang Gratis Dengan Minuman dan Makanan Kemasan Merusak Daya Tangkap Anak

Nah, semuanya ini dilakukan untuk menciptakan ketergantungan orang Papua terhadap produk pemerintah. Pada akhirnya, tidak ada produktivitas masyarakat adat untuk menghidupi makanan lokal.

Salah satu contoh adalah program lumbung pangan nasional atau National Food State. Program ini memiliki potensi besar untuk mematikan pangan lokal di Tanah Papua. Termasuk program strategis Nasional (PSN) di Merauke. Dan, kelapa sawit yang mengorbankan ekosistem hutan. Semua ini bertujuan untuk mematikan pangan lokal orang Papua dan alam Papua.

Semua itu menuju pada ketergantungan pada produk nasional. Dan, produk lokal tersingkir secara perlahan.

E. Penolakan Program MBG di Tanah Papua Masuk Akal dan Harus Diterima Dengan Positif Thinking

Emilianus Wakei menulis: “Program makan siang gratis mematikan daya tangkap anak-anak”. Artikel tersebut membahas tentang bahaya makanan dan minuman kemasan bagi anak-anak, terutama dalam masa pertumbuhan mereka. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa makanan dan minuman kemasan dapat merusak daya tangkap anak-anak dan menyebabkan gangguan kesehatan yang serius di kemudian hari.

Bahaya makanan dan minuman kemasan:

  1. Merusak sistem imun tubuh anak-anak.
  2. Mengganggu perkembangan otak dan kecerdasan anak.
  3. Meningkatkan resiko penyakit kronis, seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.
  4. Mengandung bahan kimia berbahaya, seperti pewarna, perasa, dan pengawet.

Rekomendasi:

  1. Orang tua harus memantau dan mengontrol konsumsi makanan dan minuman kemasan anak-anak.
  2. Makanan dan minuman alami, seperti buah, sayuran, dan protein hewani dan nabati, harus menjadi pilihan utama.
  3. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk mengurangi konsumsi makanan dan minuman kemasan, seperti melalui pendidikan kesehatan dan regulasi.

Sumber informasi:

  1. Penelitian ilmiah tentang bahaya makanan dan minuman kemasan.
  2. Organisasi kesehatan internasional, seperti WHO dan UNICEF.
  3. Artikel kesehatan dan gizi dari sumber terpercaya.

Yefta Lengka, aktivis kemanusiaan asal Wamena, menulis: “Indonesia membunuh masa depan anak-anak Papua dengan makan siang gratis”. Artikel tersebut membahas tentang program makan bergizi gratis yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia di Tanah Papua, dan bagaimana program ini dianggap tidak tepat dan bahkan merugikan masyarakat Papua.

Baca Juga:  Mengerjakan Apa yang Dicari, Mencari Apa yang Diimpikan

Yefta Lengka menyoroti beberapa poin kunci, antara lain:

  1. Program makan siang gratis tidak sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat Papua.
  2. Makanan yang diberikan tidak seimbang dan tidak cocok untuk anak-anak Papua.
  3. Program ini hanya memperburuk kondisi kesehatan dan pendidikan di Papua.
  4. Yang diuntungkan dari program ini bukanlah masyarakat Papua, melainkan pihak lain yang ingin mengambil keuntungan.

Rekomendasi:

  1. Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan kebutuhan dan budaya masyarakat Papua dalam membuat program.
  2. Program pendidikan dan kesehatan yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua harus diutamakan.
  3. Masyarakat Papua harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan program.

Selain itu, pada hari Senin (3/2/2025) kemarin, ratusan siswa di kabupaten Yahukimo melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk penolakan terhadap program makan bergizi gratis.  Dalam baliho yang dipegang oleh para siswa tertulis: “Tolak makan siang gratis. Kami butuh pendidikan gratis”.

Anak-anak tersebut merasa bahwa pendidikan lebih penting daripada makan siang gratis. Sebab, pendidikan akan mengubah pola makan yang lebih sehat dan bergizi bagi tubuh mereka.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari artikel ini saya simpulkan bahwa yang terjadi di atas Tanah Papua adalah bagian dari Gastrocolonialism atau penjajahan pangan. Gastrocolonialism di Tanah Papua terjadi secara masif, terstruktur, sistematis dan terang-terangan.

Melalui tulisan ini saya merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia:

  1. Segera hentikan program makan bergizi gratis di Tanah Papua dan melakukan evaluasi secara menyeluruh.
  2. Segera menggratiskan pendidikan di Tanah Papua, baik biaya pendaftaran, biaya operasional sekolah yang dibebankan kepada siswa, biaya baju/celana seragam sekolah, sediakan alat transportasi di setiap sekolah sesuai medan dan tempat di seluruh Tanah Papua, biaya laboratorium sekolah dan biaya lain-lain. Dan dana program makan bergizi gratis dialihkan ke pendidikan gratis.
  3. Mengehentikan makanan dan minuman kemasan yang dapat merusak jaringan otak dan kesehatan psikologis anak.
  4. Segera hidupkan kembali pangan lokal sebagai solusi atas Gastrocolonialism di seluruh Tanah Papua. (*)

Tanah Hubula, 4 Februari 2025

Artikel sebelumnyaTolak Program Makan Bergizi Gratis, Ratusan Pelajar di Yahukimo Tuntut Pendidikan Gratis
Artikel berikutnyaLBH Papua Desak Dugaan Gratifikasi Disnaker Papua dan PT FI Diusut Tuntas